Kalau Pemberontakan PKI 300 September adalah "rekayasa" pihak luar, apakah PEMBERONTAKAN PKI MADIUN tahun 1947 juga Rekayasa pihak luar ?? Pemberontakan PKI MADIUN jelas-jelas ULAH PKI, dan PKI adlah satu-satunya PARTAI yang sering melakukan PEMBERONTAKAN, ketika Bangsa Indonesia sedang menghadapi Diplomasi dengan BELANDA. Orang sering memutar-balik Fakta G30S PKI, tetapi lupa, bahwa sebelumnya PKI sudah pernah memberontak. PKI inilah yang memecah Perjuangan SYAREKAT ISLAM menghadapi penjajah sehingga muncul SI MERAH DAN SI PUTIH. PKI adalah PARTAI yang lebih sering "menusuk" sendiri bangsa Indonesia. Salam,
--- On Mon, 9/22/08, Umar Said <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Umar Said <[EMAIL PROTECTED]> Subject: [zamanku] Gerakan 30 September dan Amerika Serikat To: "Zamanku" <zamanku@yahoogroups.com> Date: Monday, September 22, 2008, 7:33 PM Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak. club.fr/index. htm Gerakan 30 September dan Amerika Serikat Buku sejarawan dari University of British Columbia (Kanada), John Roosa, “Dalih pembunuhan massa, GERAKAN 30 SEPEMBER DAN KUDETA SUHARTO “mengungkapkan secara bagus sekali, berbagai bahan dan latar belakang tentang peristiwa 65 yang berkaitan dengan masalah (antara lain): Bung Karno, Suharto, PKI, Amerika Serikat, Angkatan Darat, situasi internasional dll. Yang berikut di bawah ini adalah cuplikan dari buku itu, yang mengangkat -- dengan tajam dan jelas sekali – ketersangkutan kepentingan Amerika Serikat dengan jatuhnya Sukarno dan hancurnya PKI karena pengkhianatan Suharto bersama tentara di bawahnya. Dari cuplikan ini kelihatanlah secara gamblang bahwa pembangkangan Suharto terhadap Bung Karno dan dilumpuhkannya kekuatan kiri di Indonesia merupakan kejadian penting sekali di skala dunia pada waktu itu, yang menggembirakan para penguasa Amerika Serikat. Kalau dilihat perkembangan dalam negeri (di Indonesia) dan luar negeri (internasional) selama beberapa puluh tahun yang lalu sampai sekarang, maka nyatalah bahwa -pada garis besarnya -- politik Bung Karno yang anti-imperialisme (terutama AS) adalah benar. Sikap politik Bung Karno waktu itu, yang didukung oleh golongan kiri di Indonesia maupun di berbagai negeri Asia, Afrika dan Amerika Latin, ternyata sekarang dibenarkan oleh gerakan menentang neo-liberalisme dan politik AS dimana-mana. Dari situasi politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan di Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru di bawah Suharto juga menunjukkan bahwa persekutuan Suharto dengan Amerika Serikat dalam menggulingkan presiden Sukarno dan menghancurkan PKI (dengan dukungan dari sebagian golongan reaksioner, termasuk terutama sekali sebagian dari golongan Islam) adalah kesalahan besar. Ternyata dengan jelas sekali sekarang bahwa musuh dari bangsa atau rakyat Indonesia sejak dulu sama sekali bukanlah Bung Karno dan PKI, melainkan imperialisme AS dengan neo-liberalismenya. Cuplikan dari buku John Roosa tentang peran AS sekitar tahun-tahun 1965 memberikan bahan-bahan yang menarik bagi renungan kita bersama tentang kejahatan persekongkolan AS dengan tentara waktu itu. A. Umar Said == == == Cuplikan dari buku John Roosa bagian “Gerakan 30 September dan Amerika Serikat” : Gerakan 30 September merupakan peristiwa signifikan dan bukan hanya bagi Indonesia. Dutabesar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia pada 1965, Marshal Green, berpendapat bahwa G-30-S merupakan salah satu saat paling berbahaya bagi AS semasa perang dingin. Ia menafsirkan gerakan itu sebagai “usaha kudeta komunis “, yang jika berhasil, dapat mengubah Indonesia menjadi negara komunis yang bersekutu dengan Uni Soviet dan/atau Tiongkok. Dalam wawancara di televisi pada 1997 ia menyatakan, “Saya kira (G-30-S) ini merupakan peristiwa yang sangat penting di dunia, dan saya tak yakin pers dan masyarakat umum pernah menganggapnya demikian. Dan saya tidak beranggapan, bahwa saya berkata begitu semata-mata karena saya ada di sana waktu itu : Saya kira benar – bahwa inilah bangsa yang sekarang merupakan bangsa terbesar keempat di dunia ini.....akan menjadi komunis, dan memang nyaris demikian “. Serangan Suharto terhadap kaum komunis dan perebutan kekuasaan presiden yang dilancarkannya berakhir pada pembalikan sepenuhnya peruntungan AS di Indonesia. Hampir dalam semalam pemerintah Indonesia berubah dari kekuatan yang di tengah-tengah perang dingin dengan garang menyuarakan netralitas dan anti-imperialisme menjadi rekanan pendiam dan patuh kepada tatanan dunia AS. Sebelum G-30-S terjadi, kedutaan AS telah memulangkan hampir semua personil mereka dan menutup konsulat-konsulatny a di luar Jakarta, karena gelombang-gelombang demonstrasi militan yang dipimpin PKI. Presiden Sukarno kelihatannya menutup mata dan merestui aksi-aksi itu dengan tidak memberikan perlindungan keamanan yang cukup bagi konsulat-konsulat AS. Sementara serangan terhadap fasilitas-fasilitas pemerintah AS sudah begitu mengkhawatirkan, kaum buruh mengambil alih perkebunan-perkebun an dan sumber-sumber minyak milik perusahaan-perusaha an AS, dan pemerintah Indonesia mengancam akan menasionalisasi perusahaan-perusaha an tersebut. Sejumlah pejabat pemerintah AS sempat mempertimbangkan pemutusan hubungan diplomatik sama sekali. Tampaknya Washinghon harus melupakan Indonesia dan menganggapnya sebagai bagian dari dunia komunis. Sebuah laporan intelijen tingkat tinggi yang disiapkan awal September 1965 mengatakan bahwa, “Indonesia di bawah Sukarno dalam hal-hal penting tertentu sudah bertindak seperti sebuah negara komunis, dan lebih secara terbuka memusuhi AS ketimbang kebanyakan negara-negara komunis.” Laporan itu memperkirakan bahwa pemerintah Indonesia, dalam wakltu dua atau tiga tahun akan sepenuhnya didominasi PKI. Lepasnya Indonesia dari pengaurh AS akan menjadi kehilangan besar, yang jauh lebih mahal dari pada lepasnya Indocina. Dalam politik luar negeri AS setelah Perang Dunia kedua, Indonesia dianggap sebagai domino terbesar di Asia Tenggara, bukan hanya karena bobot demografis sebagai negeri berpenduduk terbesar kelima di dunia dan keluasan geograis sebagai kepulauan yang terbentang 3000 mil lebih dari timur ke barat, tapi juga karena sumber daya alamnya yang melimpah ruah. Indonesia adalah sumber minyak, timah, dan karet yang penting. Dengan investasi lebih banyak, Indonesia akan menjadi produsen bahan mentah yang lebih besar lagi, termasuk emas, perak, dan nikel. Seperti dikatakan sejarawan Gabriel Kolko, bahwa AS pada awal 1950-an “telah menyerahkan Indonesia di bawah pengaruh ekonomi Jepang” ; minyak, mineral, logam, dan tanaman pangan dari Indonesia akan menghidupi industrialisasi Jepang. “Keprihatinan utama “ AS adalah “keamanan Jepang, yang aksesnya ke negeri kepulauan dengan sumber alam kaya raya itu harus dijaga agar tetap aman berada di kubu AS. “ Penilaian Kolko disusun berdasarkan pernyataan kebijakan Dewan Keamanan Nasional tahun 1952 yang berjudul “United States Objectives and Courses of Action with Respect to Southeast Asia” (Tujuan dan Arah Tindakan Amerika Serikat untuk Asia Tenggara). Para pembuat kebijakan dalam pemerintahan Truman melihat kawasan ini dari segi sumber daya alam: “Asia Tenggara khususnya Malaya dan Indonesia, merupakan sumber utama dunia bagi karet alam dan timah dan produsen minyak bumi, serta komoditi lain yang penting secara strategis;”. Jatuhnya kawasan ini ke tangan komunis (atau, sejatinya kekuatan lokal mana pun yang ingin membatasi ekspor sumber daya alam tersebut ) akan menghambat industrialisasi Jepang, dan hal ini akan “sangat mempersulit upaya menghalangi Jepang untuk pada akhirnya menyesuaikan diri denngan komunis;” Pemerintah Eisenhower mengeluarkan pernyataan politik serupa tentang Asia Tenggara dua tahun kemudian, yang mengulangi bahasa memorandum terdahulu hampir kata demi kata. Washington menganggap kemungkinan jatuhnya pemerintah Indonesia di bawah kekuasaan komunis sebagai hari kiamat. Sikapnya mempertahankan garis melawan komunis di Indocina antara lain didorong keinginan melindungi Indonesia. Dalam logika teori domino, negeri-negeri Indocina yang relatif tidak begitu strategis harus diamankan dari komunisme agar negeri-negeri yang lebih penting di Asia Tenggara dapat dipagari dari pengaruhnya. Dalam pidatonya pada 1965 Richard Nixon membenarkan pemboman atas Vietnam Utara untuk melindungi “potensi mineral yang luar biasa” di Indonesia. Dua tahun kemudian ia menyebut Indonesia sebagai “anugerah terbesar di wilayah Asia Tenggara,” dan merupakan “timbunan sumber daya alam terkaya di kawasan itu. “ Pasukan darat yang mulai memasuki Vietnam sejak Maret 1965 akan menjadi tidak berguna jika kaum komunis menang di negeri yang lebih besar dan lebih strategis. Penguasaan Indonesia oleh PKI akan membuat intervensi di Vietnam sia-sia belaka. Pasukan Amerika Serikat sibuk bertempur di pintu gerbang, sementara musuh sudah berada di dalam, akan segera menduduki istana, dan menjarah rayah gudang-gudang simpanan. Dalam minggu-mlinggu sebelum G-30-S beraksi, para pembuat kebijakan di Washington saling mengingatkan diri, agar perang di Vietnam tidak sampai mengalihkan perhatian mereka dari situasi di Indonesia yang sama daruratnya. Pertemuan antara sekelompok kecil pejabat Departemen Luar Negeri dan Wakil Menteri Luar Negeri George Ball di akhir Agustus 1965 menegaskan bahwa Indonesia paling tidak sama penting dengan seluruh Indocina. Kelompok ini juga menegaskan bahwa pengambilalihan kekuasaan oleh sayap kiri di Indonesia sudah dekat. Menurut salah seorang pejabat yang hadir, William Bundy, kelompok tersebut percaya bahwa pengambilalihan kekuasaan seperti itu akan menimbulkan “effek menjepit sangat kuat bagi kedudukan negeri-negeri non-komunis di Asia Tenggara.” Dalam renungan reflektifnya, Robert McNamara, Menteri Pertahanan dalam pemerintahan Kennedy dan Johnson, mengatakan bahwa AS seharusnya mengurangi keterlibatannya di Indocina setelah pembasmian kaum komunis di Indonesia oleh Suharto. Begitu domino besar di Asia Tenggara sudah aman di tangan tentara Indonesia, para pembuat kebijakan AS harusnya menyadari bahwa Vietnam sebenarnya tidak sepenting seperti yang mereka pikirkan semula. “Kekalahan permanen “PKI di Indonesia, menurut pengakuannya sekarang, “telah mengurangi pertaruhan riil AS di Vietnam secara substansial”. Walaupun dalam sebuah memorandum 1967 Mc Namara telah menyebut penghancuran PKI sebagai alasan untuk menghentikan langkah AS meningkatkan perang, ia tidak mendorong dilakukannya pêninjauan kembali kebijakan AS secara menyeluruh. Perang pada gilirannya memperoleh logikanya sendiri, yang terpisah dari teori domino. Kendati memiliki pemahaman mengenai implikasi dari kejadian-kejadian di Indonesia, McNamara tetap terpaku dalam kerangka pikir yang menghendaki, pada satu pihak, kemenangan AS dalam perang Vietnam, atau pada fihak lain, suatu cara pengunduran diri dari Vietnam tanpa kehilangan muka bagi pemerintah AS. Para pembuat kebijakan gagal memahami bahwa setelah 1965 “hanya sedikit domino-domino yang tertinggal, dan kecil kemungkinannya mereka akan ikut roboh;” Walaupun tersisa oleh urusan Indocina pada 1965, Washington sangat gembira ketika tentara Suharto mengalahkan G-30-S dan merangsak menghantam kaum komunis. Ketidakberfihakan Sukarno dalam perang dingin dan kekuatan PKI yang semakin besar telah dibikin tamat dengan sekali pukul. Tentara Suharto melakukan apa yang tidak mampu dilakukan negara boneka AS di Vietnam Selatan meskipun telah dibantu dengan jutaan dollar dan ribuan pasukan AS, yaitu menghabisi gerakan komunis di negerinya. Dalam sepuluh hari setelah G-30-S meletus, wartawan New York Times Max Frankel sudah mencatat bahwa suasana Washington menjadi cerah. Artikel Max Frankel berjudul “U.S. is Heartened by Red Setback in Indonesia Coup” (AS Gembira karena Kekalahan Kaum Merah dalam Kudeta di Indonesia). Ia mengamati bahwa sekarang ada “harapan, padahal baru dua pekan lalu hanya ada keputusasaan mengenai negeri berpenduduk terbesar kelima di bumi itu, yang dengan 103 juta penduduknya di 4 000 pulau memiliki sumber daya melimpah tapi belum dimanfaatkan dan menduduki salah satu posisi strategis di Asia Tengaraa.” Ketika berita-berita pembantaian mulai berdatangan sepanjang berbulan-bulan berikutnya, harapan Washington justru membesar. Pada Juni 1966, seorang penulis editorial utama New York Times, James Reston, menyebut “transformasi biadab” di Indonesia sebagai ‘”secercah cahaya di Asia”. Laporan utama majalah Times menyebut naiknya Suharto sebagai “kabar terbaik bagi dunia Barat selama bertahun-tahun di Asia.” Wakil Menteri Muda Luar Negeri Alexis Johnson percaya bahwa “pembalikan gelombang pasang komunis di Indonesia yang besar itu” merupakan “peristiwa yang bersama perang Vietnam mungkin merupakan titik balik sejarah terpenting di Asia dalam dasa warsa ini.” Seperti dinyatakan Noam Chomsky dan Edward Herman, pembantaian di Indonesia merupakan “pembantaian bermaksud baik” dan ”terror yang konstruktif” karena melayani kepentingan politik luar negeri AS. Sementara Washington mengemukakan setiap pelanggaran hak asasi manusia di blok Soviet sebagai bukti kejahatan musuhnya dalam perang dingin, ia mengabaikan, memberi pembenaran, atau bahkan bersekongkol dalam kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah-pemerint ah yang bersekutu dengan AS. * * *