http://www.sinarharapan.co.id/berita/0809/27/opi03.html

Ritualisme dan Kepalsuan Beragama

Oleh
Thomas Koten



Paradoks, itulah judul yang diberikan terhadap kecenderungan kekinian dalam 
kehidupan keberagamaan. Dalam dunia filsafat, manusia selalu dilihat sebagai 
makhluk paradoksal, di mana nilai-nilai hidup terletak dalam kesatuan kedua hal 
yang berlawanan. Posisi kedua nilai itu seperti dikatakan AG van Melsen, "on 
the edge of contradiction". Sebagian dari manusia memaknai hidup dan memberi 
judul paradoks kemudian kecewa, tetapi sebagian lagi malah berkembang justru 
karena paradoks itu. Apa yang bisa dilihat dari fenomena paradoks dalam 
kehidupan keberagamaan di negeri yang kerap disebut sebagai negeri orang-orang 
beragama ini? 


Kehidupan keberagamaan masyarakat bangsa ini, memang tampak cukup bergairah. 
Tempat-tempat ibadah yang indah dan megah dibangun di mana-mana. Pengajian dan 
perayaan hari-hari besar agama tampak meriah, bahkan semakin gemerlap, kuliah 
subuh di televisi dan radio ditayangkan setiap hari. Tetapi, di balik itu, 
kepedihan ternyata terus menyergap wajah bangsa ini lantaran toleransi antara 
agama dalam hal pembangunan rumah-rumah ibadah masih terasa rendah. Bahkan, di 
sana-sini masih mencuatkan kecurigaan antarkelompok agama, sehingga 
kadang-kadang orang merasa belum tinggal secara nyaman bagai di rumah sendiri.


Di samping itu, di tataran elite terdapat fenomena lain yang terasa sulit 
dipahami dari perspektif apa pun, mengingat lingkaran kekuasaan dihuni cukup 
banyak "pendosa politik" yang "haus harta" dan "perselingkuhan" terhadap 
nilai-nilai moral yang justru di kalangan publik dikenal agamis. Secara 
keseluruhan, negeri ini pun masih menempati posisi teratas dalam peringkat 
korupsi. Maka, yang kita lihat, mencuatlah sebuah fenomena pembusukan moral 
bangsa yang pada dasarnya merupakan wujud sebuah paradoks keberagamaan. Dengan 
demikian, lahirlah pertanyaan, bagaimana kita bisa menarik korelasi positif 
antara tingkat kesalehan seseorang dengan perbuatan dosa yang dilakukan? Apa 
yang salah dengan kehidupan keberagamaan itu sendiri? 

Ritualistik
Ada fenomena kehidupan keberagamaan yang amat rancak yang dapat dikedepankan di 
sini, yaitu kehidupan keberagamaan kaum yang terperangkap dalam ritualisme 
keberagamaan belaka. Yang muncul adalah keberagamaan yang ritualistik, kurang 
memiliki roh dan semangat transformatif. Yang dalam kehidupan sehari-hari 
dijumpai orang beragama mengaku merasa sudah cukup saleh lantaran semua ritual 
keagamaan telah ditunaikan. 


Ibadah dan puasa sudah dijalani dengan sukses. Derma dan atau sakat dilakukan 
dengan ikhlas. Tetapi, ternyata bahwa kepatuhan seseorang dalam melakukan 
ibadah ritual dan aksi-aksi sosial keagamaan tidak pernah berdampak langsung 
terhadap peningkatan keimanan seseorang yang disertai pelaksana nilai-nilai 
moral yang terkandung dalam pesan ibadah itu sendiri.


Jika dikerling lebih saksama, ternyata di situlah letak persoalan, di mana di 
satu pihak nilai-nilai luhur agama tidak ditransformasikan ke dalam tindakan 
konkret, tetapi di lain pihak, perilaku sosial yang dilakoni seperti aksi 
filantropi (kedermaan) memberi bantuan dan pemberdayaan sangat jauh dari 
tujuan-tujuan luhur agama.  Nilai-nilai ilahi yang digariskan agama di samping 
tidak diimplementasikan, dibumikan atau ditransformasikan dalam hidup 
sehari-hari, juga kerap dijadikan aksesori belaka. Ritus keagamaan hanya 
dijadikan sebatas sin laundering, yang dianggap akan mencuci dosa-dosa yang 
diperbuat.


Agama dibangun dan dijalani untuk tujuan "pencucian diri" dan "pengampunan 
dosa". Diperuntukkan bagi kemaslahatan diri sendiri agar terbebas dari dosa dan 
"cacat moral". Sebagai contoh, seorang politikus yang berperilaku KKN dan 
membohongi rakyat beranggapan, dengan menjalankan syariat agama, ia akan 
terbebas dari dosa. Seorang koruptor kelas kakap, merasa dosanya berkurang 
setelah harta hasil korupsinya dibayarkan zakat atau didermakan di gereja. 
Seorang birokrat berasumsi bisa diampuni dosa-dosanya setelah aktif ikut 
beribadah di gereja, sukses berpuasa, terus-menerus salat malam, naik haji, dan 
rajin menyumbangkan hasil-hasil korupsinya ke lembaga-lembaga sosial. Artinya, 
tindakan sosial mereka dilakukan sebagai media penebusan dosa. Bobot dosa atau 
banyaknya kejahatan yang dilakukan jadi impas dalam kesujudan mengikuti ritual 
keagamaan yang disertai keyakinan tentang Tuhan Mahabaik, Mahapengasih dan 
Mahapenyayang yang selalu merangkul kembali hamba-hambanya yang bertobat.

Marx dan Freud
Maka, apa yang terjadi dalam hidup beragama adalah bahwa agama hanya dijadikan 
sebagai media ilusif. Ritual-ritual agama pun hanya dijadikan sebagai 
jalan-jalan solutif untuk bisa keluar dari perangkap krisis moral, sosial, 
politik, dan ekonomi. Agama lalu menjadi sesuatu yang fungsional belaka 
dan/atau hanya berperan pragmatis. Efeknya, segala kebobrokan moral bangsa dan 
lahirnya multikrisis dapat dikatakan sebagai tidak berfungsinya nilai-nilai 
profetik agama. Agama lalu dihakimi sebagai media suci nan agung yang gagal 
menghadirkan para pemeluknya dari segala kesulitan hidup. Agama lalu 
dipraktikkan seperti dalam teori Karl Marx dan Sigmund Freud.


Teori agama yang diajukan Karl Marx dan Sigmund Freud, adalah agama timbul 
karena hilangnya kepercayaan diri, goyahnya keseimbangan mental dan psikologis, 
rontoknya keyakinan dan memudarnya pengharapan hidup karena terus-menerus 
ditimpa penderitaan dan berbagai kesulitan hidup. Ajaran-ajaran agama hanya 
menawarkan hiburan-hiburan semu dan janji-janji surga. Atau, dalam istilah 
Marx, agama adalah opium rakyat.  Peran agama memang dapat diharapkan mampu 
menjadi seperangkat nilai etik-moral, di mana para pengikutnya mencari 
langkah-langkah solusi bagi segala problematika sosial. Agama juga harus 
dijadikan canggah bagi implementasi nilai-nilai kemanusiaan. 


Dalam hal ini, agama, bukan saja berorientasi mewujudkan kesalehan diri, tetapi 
juga kesalehan sosial dan mendorong penyelesaian krisis kemanusiaan. Yang 
diperlukan adalah kesanggupan para pemeluk agama untuk mengembalikan agama 
kepada esensi nilai substantif. Nilai-nilai moral agama harus dijadikan sebagai 
landasan dan pijakan hidup keberagamaan. Di sini, ajaran-ajaran suci dari Tuhan 
harus dibumikan dalam aksi sosial yang tulus-murni. 


Artinya, moralitas agama harus diinternalisasikan dan ditransformasikan dalam 
keseimbangan tiap tindakan moral-sosial dan ekonomi yang intergratif. Perilaku 
keberagamaan yang tidak diikuti semangat transformasi sosial-ekonomi sebagai 
implementasi moralitas agama, tidak lain merupakan realitas dari pengerdilan 
agama oleh para penganutnya. Untuk itu, yang dibutuhkan adalah aksi kedermaan 
tanpa maksud-maksud tertentu, seperti penebusan dosa atau penghapusan berbagai 
"cacat moral". Sebab, sebuah semangat etik-filantropi yang tidak tulus ikhlas, 
sama halnya dengan mendustai agama, sekaligus menyangkal nilai-nilai suci nan 
agung dan moralitas agama. n

Kirim email ke