---------- Forwarded message ----------
From: FA Suhardi Soetedja <[EMAIL PROTECTED]>
Date: 2008/9/29
Subject: [Bhinneka Tunggal Ika] BALI, NUSANTARA, BUDAYA, & RUU PORNO
To: Milis Bhinneka Tunggal Ika <[EMAIL PROTECTED]>,
media-kpkp <[EMAIL PROTECTED]>

*
* *BALI, NUSANTARA, BUDAYA, & RUU PORNO*

Anand Krishna*
Radar Bali, 29 September 2008

Penolakan Bali, Papua dan segenap masyarakat Indonesia yang memahami duduk
persoalan RUU Porno dan Agenda Arabisasi dibaliknya, sudah pasti ditolak
oleh mereka yang justru menginginkan Indonesia berubah menjadi foto-kopi
arab. Jelas. Lalu, bagaimana dengan Bali? Apakah Bali akan puas dengan,
misalnya diberi kue khusus, "Ya wis, Bali boleh bermaksiat ria..." Ya, masih
ingat kan pernyataan seorang gubernur dari seberang yang secara tegas dan
jelas mengaitkan Bali dengan kemaksiatan.

RUU PORNO - apa saja yang "dapat" membangkitkan gairah seksual, akan
dianggap porno. Pertanyaannya, gairah siapa? Siapa yang menentukan apa yang
dapat membangkitkan gairah?

Seorang pejabat tinggi kita tidak tahan melihat "pudel", "pusar" atau apa
pun sebutannya. Perempuan keturunan India yang masih memakai saree, bahkan
beberapa artis kita yang suka manggung dengan saree - bagaimana nasib
mereka? Bagaimana pula dengan warga keturunan Tionghoa yang kadang masih
ingin pakai Shanghai Dress dengan belahan di samping itu?

RUU PORNO adalah babak lanjutan dari beberapa undang-undang sebelumnya -
yang selama ini kita terima begitu saja. Alhasil, jumlah undang-undang yang
jelas bertentangan dengan budaya dan tradisi kita, makin bertambah.

Pertama, Keputusan Presiden Soekarno hanya beberapa bulan sebelum tragedi
September 1965. Dimana, beliau - barangkali karena tekanan politik pula -
menandatangai sebuah keputusan yang hingga hari ini pun masih menimbulkan
masalah. SKB yang membatasi kegiatan Ahmadiyah adalah contohnya. SKB itu
sepenuhnya berdasarkan kepres yang saya maksud.

Baik Kepres dan SKB - keduanya sudah jelas cacat hukum, inkonstitusional,
dan anti Pancasila, anti Bhinneka Tunggal Ika - karena membatasi hak segenap
warga untuk beragama sesuai dengan keyakinannya. Oh tidak..... Jangan
menyalahkan pemerintah. Jangan mencari kesalahan dalam SKB. Ahamdiyah tidak
dilarang, cuma......  Ya, ya, ya, kamu boleh hidup, tapi tolong ya jangan
bernapas. Huebatt!

Kedua, Undang-Undang Perkawinan kita, yang lagi-lagi merupakan kompromi
politik. Dua insan yang sama-sama warga negara Indonesia tidak boleh
berpacaran. Eh, salah... pacaran boleh, nikah pun boleh, asal kedua-duanya
menganut agama yang sama. Bila tidak, maka salah satu diantaranya mesti
mengalah. Ini adalah definisi kita tentang manusia dan kemanusiaan. Atribut
agama menjadi lebih penting dari pada identitas diri sebagai manusia.
Padahal, agama itu sendiri bertujuan untuk memanusiakan manusia.

Satu per satu, sebagaimana pernah diungkapkan oleh seorang mantan menteri,
undang-undang semacam ini akan diperkenalkan terus. Hingga, pada suatu
ketika kita menjadi fotokopi Saudi.

Kelompok fundamentalis di Saudi sengaja didanai untuk seterusnya mendanai
kelompok-kelompok sejenis di negeri ini. Kenapa? Karena, kerajaan Saudi dari
dulu memang tidak menghendaki kekacauan di rumahnya sendiri. Supaya
kelompok-kelompok radikal itu tidak mengkritisi monarki yang otoriter itu,
maka mereka diberi kesibukan lain.

Celakanya, beberapa partai politik telah menjadi agen mereka. Sekian banyak
ormas radikal sudah menjadi kaki-tangan mereka. Alhasil, hukum dan keadilan
dilecehkan. Hakim, Jaksa, dan Polisi takut sama gerombolan pengacau.

Tragedi 1 Juni di Lapangan Monas tak akan pernah terlupakan oleh mereka yang
menjadi korban. Warga Bali yang menderita geger otak, malah ditegur oleh
hakim, "jangan bohong, geger otak koq bisa memberikan kesaksian..."

Sayang, sayang sekali, bapak hakim yang mulia tidak memuliakan kedudukannya
sendiri. Ia tidak sempat berkonsultasi dengan seorang ahli saraf tentang
dampak dari geger otak. Seseorang bisa tiba-tiba saja mengalami sakit kepala
yang luar biasa dan mesti langsung menelan pil dan istirahat.

Para saksi dipukuli di ruang pengadilan, perempuan dilecehkan oleh preman
yang jelas-jelas menggunakan atribut agama. Bagaimana dengan anggota DPR,
MPR, termasuk para ketuanya, para pejabat, meneteri, Presiden, Wakil
Presiden - apa kata saudara-saudara tentang kejadian itu? Tak sepatah pun
kata terucap. Jangan tanya kenapa? Mereka sibuk mempersiapkan RUU PORNO.

Para penjahat yang merusak Bali, menciderai Bali, merugikan Bali, dan
menyandera seluruh bangsa dengan ulah mereka yang kurang ajar - masih tidak
dieksekusi. Nanti, kapan-kapan, barangkali setelah lebaran. Suratnya belum
turun, atau apa itu alasannya yang kurang jelas. Tapi RUU PORNO mesti
digoalkan sebelum hari raya..... Ada partai politik yang memintanya sebagai
hadiah lebaran.

Bagaimana dengan eksekusi para penjahat? Bagaimana dengan ulah gerombolan
para pengkhianat bangsa di ruang pengadilan? Bagaimana dengan tragedi Monas?
Ah, itu resiko demokrasi. Berapa banyak sih yang jadi korban? Ngak ada yang
tewas kan?

Indonesia berada di ambang kehancuran.
Bila Bapak Presiden yang mulia tidak segera turun tangan dan mengatasi
persoalan-persoalan ini - maka saya melihat masa depan yang sangat suram
bagi bangsa ini. Kita akan mewariskan Indonesia tanpa jati diri, tanpa harga
diri, tanpa identitas diri - kepada anak cucu kita.

*Aktivis Spiritual

Kirim email ke