Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan (dan tentunya masih sangat relevan).. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas. Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga. Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo. Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja : Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini. Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” (http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/12/18/LU/mbm.20061218.LU122614.id.html) di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman). Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”. Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya. Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja? Selamat kepada ibu berkeranjang belanja……. Dengan anggapan hanya sebagian kecil saja yang punya kesempatan membaca edisi cetak Tempo berikut saya himpun link-link ke 22 artikel tersebut. Selamat membaca http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html Salam hangat Salam pembebasan Andreas Iswinarto hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh seperti percakapan dan narasi kasih bunda jelang upik dan buyung tertidur percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah abadi walau bunda telah mangkat dari ruang dan waktu