http://www.radarbanjar.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=73496

      Sabtu, 18 Oktober 2008

       
      Belajar dari Proses Pemilu di AS
      Oleh: Tisnohadi Harimurti*



      Pada minggu terakhir bulan Agustus dan awal September lalu perhatian 
publik Amerika Serikat bahkan dunia terfokus pada pelaksanaan konvensi Partai 
Demokrat yang kemudian disusul dengan konvensi Partai Republik. Hingga sampai 
pada saat ini ketika proses pemilu telah memasuki tahapan kampanye banyak 
kejadian menarik yang perlu kita simak dan dapat diambil sebagai pelajaran yang 
berharga kita di Indonesia. 

      Dengan mencermati apa yang terjadi dalam ajang Pemilu di negeri Paman Sam 
tersebut dapat menjadi bahan untuk membandingkannya dengan praktek politik yang 
ada di negara kita sendiri yang juga sama-sama menerapkan demokrasi sejak era 
reformasi digulirkan tepat sepuluh tahun yang lalu. 


      Rasionalitas dalam berpolitik 

      Secara ideal politik selalu didasari oleh pertimbangan rasional. Di 
negara demokrasi semacam Amerika Serikat rasionalitas tersebut telah merasuk 
dari tingkat elite sampai pada tingkat massa akar rumput. Dengan demikian 
pilihan dan keputusan politik selalu didasari oleh pertimbangan matang, salah 
satunya adalah sejauh mana kompetensi dan kapabilitas tokoh yang akan 
dipilihnya dan terutama program, visi dan misi yang ditawarkan. 

      Rakyat Amerika Serikat dalam mempergunakan hak politiknya pada umumnya 
memiliki karakter yang demikian itu. Terpilihnya Obama sebagai capres yang 
notabene orang kulit hitam membuktikan bahwa unsur non rasional seperti 
pertimbangan rasial, asal daerah dan keturunan tidak begitu penting lagi. Ini 
sangat berbeda dengan kondisi pada dekade 60 an hingga 70 an dimana saat itu 
diskriminasi rasial masih kuat terasa dalam berbagai aspek kehidupan di Amerika 
Serikat. 

      Bagaimana di Indonesia? Rupanya pertimbangan yang "kurang" rasional dalam 
politik masih mewarnai kehidupan bernegara kita, terutama di kalangan 
masyarakat sendiri (seperti kondisi Amerika Serikat empat dekade yang lalu). 
Terdapat kecenderungan adanya ketentuan tidak tertulis yang menyatakan bahwa 
presiden Indonesia haruslah orang Jawa, sedang wapresnya terserah dari suku 
manapun. Memang harus diakui bahwa Jawa merupakan suku mayoritas di Indonesia, 
namun jika terdapat orang yang misalkan bukan dari etnis Jawa memiliki 
kapabilitas dan kompetensi yang memadai tentunya akan menjadi naïf jika harus 
dikesampingkan karena kebetulan ia bukan orang Jawa. 

      Demikian juga garis keturunan masih masih menjadi pertimbangan kuat untuk 
menentukan sebuah keputusan politik. Hal ini sangat kental terasa di daerah 
terutama saat pelaksanaan Pilkada. Calon kepala daerah yang di dalam dirinya 
mengalir darah kebangsawanan akan memiliki nilai jual lebih di kalangan rakyat, 
bahkan terdapat opini di kalangan masyarakat yang beranggapan bahwa keturunan 
bangsawan lebih layak dan lebih berhak untuk menjadi pemimpin karena di dalam 
dirinya terdapat pulung, wahyu, tuah dan lain sebagainya yang akan memberi 
kekuatan dalam kepemimpinannya. 

      Dengan demikian dalam penjaringan calon kepala daerah oleh partai politik 
masih diwarnai dengan pertimbangan keturunan dan dalam kampanye untuk 
menggalang dukungan selalu dikemukakan bahwa calon ini merupakan keturunan 
raja, bangsawan, kyai atau syeh tertentu. Kondisi ini dapat terjadi karena 
bagaimanapun juga sistem politik yang dibangun di manapun berada tidak dapat 
melepaskan keterkaitannya dengan seting sosial di mana sistem tersebut 
tersusun. 

      Sebagaimana di Indonesia bentuk hubungan sosial sebagian besar 
masyarakatnya masih diwarnai dengan struktur paternalistik. Ciri struktur 
paternalistik berupa susunan stratifikasi sosial yang elitis (mengkerucut) 
serta berorientasi ke atas dan menempatkan para keturunan bangsawan dalam 
posisi yang tinggi. Lain halnya di Amerika Serikat di mana stratifikasi 
sosialnya tercipta lebih banyak karena kompetisi sehingga kemampuan dan 
kompetensi seseorang sangat menentukan di mana posisinya di dalam stratifikasi 
sosial di masyarakat. 

      Pelaksanaan debat bagi calon presiden dan wakil presiden yang baru-baru 
ini dilaksanakan merupakan salah satu sarana bagi rakyat Amerika Serikat untuk 
mengukur kemampuan para capres dan cawapres sekaligus mengetahui visi, misi dan 
program masing-masing calon. Hal itulah yang menjadi pertimbangan rakyat AS 
untuk menentukan keputusan politiknya di hari pemilihan nanti. 

      Kedewasaan dalam berpolitik 

      Pada konvensi partai demokrat, Hillary Clinton, mantan saingan Barrack 
Obama dalam proses pemilihan calon presiden dari Partai yang telah delapan 
tahun menjadi oposisi di panggung politik AS tersebut menyampaikan pidatonya. 
Dari apa yang disampaikannya tersebut tampak jelas sikap kenegarawanan seorang 
politisi yang merupakan pemandangan langka di negara kita. Ia menyampaikan 
kepada seluruh simpatisan partai demokrat, terutama para pendukungnya untuk 
mengalihkan dukungan kepada Obama dan bersama-sama menggalang kekuatan 
menghadapi pemilu November nanti menghadapi calon presiden Mc Cain dari Partai 
Republik. 

      Hillary juga sama sekali tidak menunjukkan kekecewaannya atas pilihan 
Obama kepada Joe Biden untuk mendampinginya sebagai calon wakil presiden, 
sebuah posisi yang sebenarnya juga diinginkannya setelah ia gagal menjadi calon 
presiden. Rupanya Hillary sadar bahwa pilihan terhadap Biden merupakan strategi 
untuk menutupi kekurangan Obama dalam kemampuannya untuk menangani politik luar 
negeri. Biden adalah politisi yang sarat dengan pengalaman kebijakan luar 
negeri karena ia adalah ketua urusan luar negeri di senat. Melalui duet dengan 
Biden diharapkan mampu menjadi jawaban atas serangan Partai Republik selama ini 
yang menyatakan bahwa Obama adalah seseorang yang buta politik luar negeri dan 
jika terpilih akan mengurangi pengaruh Amerika dalam percaturan dunia. 

      Dukungan mantan ibu negara di era kepemimpinan presiden Clinton ini 
terhadap pencalonan Biden menunjukkan jiwa besar seorang negarawan dengan 
kesediannya untuk mengesampingkan keinginan atau kepentingan pribadinya demi 
kepentingan yang lebih besar. Secara rasional memang akan lebih menguntungkan 
jika Obama berpasangan dengan Biden daripada jika berpasangan dengan Hillary 
dan Hillary pasti sadar akan hal itu. Selain itu dalam momen tersebut kita 
dapat mencermati bentuk lain dari kedewasaan berpolitik yaitu walaupun pada 
awalnya diwarnai dengan persaingan dan perbedaan pendapat, apabila suatu 
keputusan sudah ditetapkan maka semua pihak yang pada awalnya bersaing dan 
bertentangan akan bersatu padu untuk menjalankan keputusan yang telah diambil 
dengan sebaik-baiknya. 

      Bagaimana di Indonesia ? Sejak reformasi bergulir dan dibukanya pintu 
demokrasi seluas-luasnya telah terlahir banyak politisi yang memenuhi 
gelanggang politik di tanah air. Namun di antara banyak politisi tersebut 
sangat jarang yang memiliki sifat kenegarawanan. Sebaliknya yang ada adalah 
politisi yang hanya pandai bersilat lidah tanpa ada kesesuaian antara kata dan 
perbuatan serta hanya mementingkan perut sendiri dengan mengesampingkan 
kepentingan rakyat banyak yang sebenarnya memberikan andil terbesar bagi mereka 
untuk dapat mencari nafkah dengan menjadi politisi. Terjadinya kasus korupsi 
dan asusila yang menimpa wakil rakyat, kasus korupsi para pejabat pusat dan 
daerah serta kisruh seputar Pilkada merupakan wujud nyata dan manifestasi 
kurangnya negarawan atau politisi yang bersifat negarawan di Indonesia. 


      Lalu Bagaimana ? 

      Pilihan kita untuk menjalankan demokrasi tidak akan mampu mencapai tujuan 
yang diharapkan jika dalam implemetasinya masih diwarnai oleh 
pertimbangan-pertimbangan yang kurang rasional serta tidak dilandasi sikap 
dewasa dalam berpolitik. 

      Dalam hal ini ada sesuatu yang perlu kita pelajari dari praktek demokrasi 
di Amerika Serikat termasuk dengan mencermati proses dan berbagai momen yang 
terjadi dalam tahapan pemilu di negara adidaya tersebut. Walaupun banyak 
kebijakan politik AS terasa tidak sesuai dengan prinsip demokrasi dan keadilan 
(terutama dalam kebijakan politik luar negeri) namun terdapat sesuatu hal yang 
perlu dicontoh, yaitu bagaimana kita bisa lebih rasional dan mampu mendewasakan 
diri dalam berdemokrasi serta bagaimana memunculkan politisi yang berwatak 
negarawan.*** 


      *) PNS Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten 
Banjar 

     

--------------------------------------------------------------------------
     

Kirim email ke