Bangka Pos
edisi: Sabtu, 25 Oktober 2008 WIB 

Otokritik Pengabdian Masyarakat
Penulis: Oleh: Ibrahim (Dosen Universitas Bangka Belitung)

Saya mulai otokritik ini dari sebuah narasi sederhana. Sebuah otokritik 
mendewasakan yang diwasiatkan untuk diri saya sendiri dan para kolega saya 
seprofesian. Adalah Dr Latif Wiyata, salah satu tutor pelatihan penulisan 
naskah ilmiah Dikti, yang menekankan pentingnya seorang dosen mengamalkan tri 
dharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan 
pengabdian masyarakat. Doktor antropologi yang menjadi dosen di Jurusan 
Sosiologi Universitas Jember tersebut memprihatinkan seorang dosen yang hanya 
bisa mengajar, tetapi tidak cakap dalam meneliti dan mengabdi kepada masyarakat.

Menurutnya, ruh seorang dosen terletak pada tiga dharma tersebut. Pak Latif 
berguyon "Jangan jadi dosen yang hanya bisa mengajar, tetapi sangat jarang 
beraktivitas di luar untuk pengabdian. Kalau pagi ke kampus, sore pulang ke 
rumah. Begitu saja seterusnya. Meleset dikit jemput anak atau mengantar istri", 
ucapnya sambil terkekeh.

Berikutnya, dalam sebuah seminar, saya berkesempatan diskusi dengan salah satu 
dosen STAIN SAS Babel. Penggalan katanya yang menarik kira-kira begini "Saya 
itu tidak setuju kalau seorang dosen mengajar terlalu banyak karena akan 
mematikan produktivitas. Dengan banyak berdiri di kelas, seorang dosen terlalu 
banyak mensia-siakan umurnya". 

Dua ilustrasi di atas mewakili kaum yang menekankan bahwa menjadi seorang dosen 
juga berarti menjadi seorang ilmuwan yang produktif menghasilkan karya ilmiah, 
juga berarti kontributif bagi pengembangan kualitas hidup masyarakat di 
sekitarnya melalui serangkaian pengabdian masyarakat, selain tugas minimal 
untuk disebut sebagai seorang dosen, yaitu mengajar. Masalahnya, kerapkali 
masyarakat akademika sangat susah membedakan antara pengabdian masyarakat 
dengan tugas pribadi. Kerumitan masalahnya akan semakin bertambah jika tidak 
ada surat penunjukan dari atasan. Mispersepsi ini berdampak pada satu term: 
"kecemburuan sosial". Sementara dosen A berasumsi membawa nama kampus, pada 
sisi lain dosen B justru mengatakan bahwa si A membawa misi untuk kepentingan 
profit pribadi.


Abdi


Suatu kali, saya terlibat perdebatan agak alot dengan salah seorang staf kampus 
yang menurut saya keliru menafsirkan definisi pengabdian masyarakat. Sang staf 
tidak menyetujui kategorisasi pengabdian yang saya definisikan. Beberapa contoh 
penunjukan yang saya ajukan dipilah-pilah secara tidak konsisten. Padahal jelas 
sekali bobot pekerjaan tersebut membawa misi pengabdian kampus bagi sosialitas 
masyarakat dan pemerintahan, disamping juga dalam rangka membesarkan kiprah 
kampus. Saya menyederhanakan istilah pengabdian dengan segala aktivitas yang 
mendapatkan penunjukan dari kampus secara formal, jabatan apapun yang 
menunjuknya. Teman saya yang lain malah secara ekstrim menyederhanakannya 
dengan istilah aktivitas apapun sepanjang masih ada kaitan dengan nama kampus, 
ditunjuk atau tidak secara formal. 

Saya kok berpikir bahwa bagi sebagian civitas akademika, pengabdian masyarakat 
hanya dilihat apakah sebuah pekerjaan dilakukan dengan imbalan atau tidak. Jika 
tidak memberikan keuntungan bagi yang menjalankan, maka pekerjaannya dapat 
didefinisikan sebagai bagian dari pengabdian, tetapi jika mendatangkan 
keuntungan finansial secara pribadi, maka pekerjaan tersebut bukan bagian dari 
pengabdian masyarakat. Padahal kata "abdi" seharusnya tidak disibukkan dengan 
perdebatan soal fulus. Sederhananya, jika kita bekerja, konsekuensinya adalah 
imbalan. Yang repot, jika kita tidak bekerja, tetapi menebarkan bibit 
"kecemburuan sosial". Walah-walah-walah. 

Lalu bagaimana jika seorang dosen dicap banyak proyek di luar dan mengabaikan 
pekerjaan utamanya di kampus? Saya menawarkan sebuah re-check baru, yaitu 
menguji kualitas pekerjaan dosen yang bersangkutan di kampus. Jika ia aktif di 
luar lalu mengabaikan secara massif tugasnya, ini keliru. Dosen bagaimanapun 
hanya dapat disebut sebagai dosen jika ia mengerjakan tugas utamanya, yaitu 
mengajar. Sekjur, kajur, wadek, dekan, warek, rektor, ketua, wakil ketua, dan 
jabatan struktural lainnya adalah jabatan tambahan yang diberikan kepadanya 
sebagai dosen. Jika dikembalikan pada definisi dosen, maka di dalamnya melekat 
3 dharma tersebut. Jika seseorang super sibuk melakukan aktivitas di luar, lalu 
sesekali ia harus merubah jadwal perkuliahan karena benturan agenda, saya pikir 
ini masih manusiawi. Toh, seseorang meninggalkan tugas mengajar tidak semata 
karena alasan aktivitas luar, tapi juga karena keperluan pribadi. Dan ini 
manusiawi sebagai makhluk Tuhan dan ini juga bisa mengenai siapa saja. Dosen 
juga manusia. 

Jauh sebelumnya, saya sempat termehek-mehek melihat sebuah adegan langka. 
Seorang mahasiswa "aktif" menghadap dosen yang kebetulan adalah decision maker. 
Si mahasiswa berkeluh kesah tentang soal aktivitas kemahasiswaan di kampusnya 
yang dinilai tidak produktif seraya mencontohkan kampus lain yang mahasiswanya 
sibuk untuk menjadi "agen perubahan". Dosen tersebut dengan entengnya menjawab: 

"Deng lah, tu ukan gawe kita. Tugas kite di kampus ne hanye belajar. Dak usah 
mikir jauh-jauh". Jujur saja saya shock. Harusnya dosen yang bersangkutan 
menawarkan alternatif kegiatan atau malah mengajak mahasiswanya untuk berpikir 
bersama-sama mengenai agenda yang patut dijadikan mata kegiatan. Saya 
menyimpulkan bahwa dosen demikian hanya mampu menjalankan fungsi sebagai guru 
sekolahan yang mengajar siswa untuk tetap patuh pada peraturan normatif, tidak 
cocok menjadi seorang dosen bagi mahasiswa yang khittah-nya adalah memfungsikan 
diri sebagai artikulator pembangunan bangsa. 


Bibit


Kampus adalah arena persemaian bagi para agen perubahan. Mahasiswa seharusnya 
mendapatkan godokan yang memadai agar dapat mengumpulkan modal sosial yang 
cukup untuk terjun ke dunia praksis. Bagi lembaga pendidikan keilmuan berkelas 
sarjana, urusan idealisasi menjadi jauh lebih penting ketimbang persoalan 
teknis. Pendekatan akademiknya berbeda dengan pendekatan dunia akademi yang 
menyelenggarakan pendidikan diploma. Pada satuan mahasiswa sarjana, mahasiswa 
didaulat untuk menyiapkan koper "das sein-seharusnya", bukan koper "das 
sollen-senyatanya". Jadilah mahasiswa merupakan agen unik yang harus senantiasa 
peka dalam keseharian.

Jika demikian, maka tugas pengabdian masyarakat tidak hanya berada di pundak 
dosen, tetapi juga mahasiswa. Mengapa sebab seorang mahasiswa yang akan 
diwisuda menggunakan toga kebesaran ala tim hakim, jaksa, dan pengacara? Itu 
lantaran mahasiswa akan menjadi penentu gelindingan bola keadilan. Bak 
perangkat pengadilan, mahasiswa yang akan diwisuda harus menjadi penegak 
keadilan di masyarakat kelak. Itulah sebabnya, pelatihan sebagai abdi 
masyarakat sudah harus diperankan oleh mahasiswa sejak masih kuliah. 

Lalu bagaimana jika dosen-nya hanya terbiasa mengajar alias jarang melakukan 
tugas pengabdian? Tunggu dulu, jangan-jangan dosen yang bersangkutan tidak 
faham dengan filosofi tri dharma perguruan tinggi. Atau justru dosen yang 
bersangkutan pada saat menjadi mahasiswa dulu merupakan salah satu dari 
mereka-mereka yang pasif? Jika demikian, jangan berharap mahasiswanya akan 
produktif jika diasuh oleh dosen yang juga tidak produktif dalam kekaryaan. 

Saya acungkan jempol pada satu orang kawan saya yang sebenarnya sudah cukup 
umuran, namun selalu menyatakan kesadaran bahwa ia memang kurang faham dalam 
dunia kampus dan oleh karenanya ia tidak sungkan bertanya jika bingung dan 
tidak sungkan meminta nasehat pada yang muda jika ia tidak mengerti. Tapi saya 
sungguh sedih pada sosok pendidik yang tidak pernah menyadari kekeliruan 
berkala yang dia buat, dan justru menanamkan aset kebencian dan ke-rese'-an 
tingkat tinggi pada mereka-mereka yang terus belajar berbenah untuk memperbaiki 
diri.

Bibit unggul ditanam di tanah yang subur, dikelola oleh yang tidak profesional 
hasilnya membahayakan. Apalagi jika bibit jelek, ditanam di tanah yang jelek, 
dan dikelola oleh orang yang tidak profesional, maka hasilnya akan 
hancur-hancuran. Bibit unggul harus ditanam di tanah yang subur dan dikelola 
oleh orang yang profesional, Insya Allah hasilnya akan mencapai summum 
bonum-kebaikan tertinggi ala Plato. 

Kirim email ke