http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008102823222711
Rabu, 29 Oktober 2008 OPINI Mencari Pemuda dalam Krisis Abdul Firman Ashaf Dosen FISIP Unila, Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad, Bandung Sejarah Indonesia adalah sejarah pemuda. Tesis Anderson perihal revolusi pemuda zaman kemerdekaan tidak pernah mati. Ben Anderson lebih percaya bahwa pemudalah motor penggerak revolusi Indonesia, bukan para elite (Pemuda Revolution, 1967). Cerita ini menjadi legenda sekaligus basis praksis peran politik pemuda. Generasi 66, 74, dan 98 merevitalisasi narasi tersebut menjadi sebuah mitos perlawanan yang tak pernah padam. Pemuda adalah simbol kekuatan pergantian rezim yang korup. Namun, agaknya narasi tersebut kini mesti dirumuskan kembali. Kini kita kembali mengalami krisis. Krisis global yang tidak mengenal batas. Pemerintahan yang dikelola dengan baik pun tak lepas dari dampak krisis. Di mana pemuda berada? Tepatkah jika dikatakan di masa lalu pemuda menunggangi krisis untuk aksi politik? Bagaimana jika krisis tersebut sangat mendalam sehingga justru membuat pemerintah membutuhkan dukungan luas masyarakat, tidak terkecuali para pemuda. Di mana spirit revolusi itu terpendam? Runtuhnya Sebuah Mitos Setidaknya ada dua momentum yang membuat mitos tersebut terkoreksi dengan sendirinya: Aspek struktural dan sosok pemuda. Pertama, mitos peran pemuda dalam perubahan sebenarnya mirip dengan gerakan sosial lain. Gerakan sosial terjebak logika perlawanan terhadap negara, alih-alih penguatan masyarakat. Pada akhirnya para pemuda mengembangkan retorika perlawanan yang melawan kecenderungan negara yang proteksionis, nasionalis, dan kecenderungan stabilisasi. Pola hubungan masyarakat sipil yang terepresentasi melalui pemuda yang muncul dalam gerakan-gerakan sosial dan mahasiswa terhadap negara masih berada dalam pola yang melihat negara dalam konteks gagasan kapitalisme negara. Padahal pada pengujung 90-an dan hingga kini gagasan yang dominan adalah neoliberalisme. Artinya, dalam beberapa hal, kekuatan-kekuatan neoliberal justru mempergunakan pemuda dalam gerakan sosial sebagai garda terdepan untuk melawan negara. Neoliberal justru mengambil keuntungan ditengah konflik antara masyarakat sipil dan negara. Karena desakan yang kuat, lama-kelamaan negara justru mereduksi peran diri sendiri dan selanjutnya melibatkan diri dalam sistem global yang percaya pada kekuatan pasar. Ada indikasi bahwa keberhasilan reformasi kebijakan negara menjadi kebijakan neoliberal kini, disadari atau tidak, adalah atas dukungan dan desakan advokasi dari sebagian kalangan pemuda dan gerakan sosial. Banyak kebijakan negara kini yang mengadopsi kebijakan neoliberal, misalnya, pemotongan subsidi negara dan pembebasan tarif produk pertanian, privatisasi perusahaan negara, perguruan tinggi, serta pelayanan kesehatan dan pendidikan. Artinya, tanpa disadari, pemuda dalam gerakan sosial justru menjadi "panitia" atas berlakunya kebijakan yang menyingkirkan dan memarginalkan kaum miskin. Alhasil, yang terjadi bukan penguatan masyarakat, melainkan justru tanpa terduga gerakan pemuda malah terjebak dan ditunggangi kekuatan-kekuatan neoliberal, yang memiliki musuh yang sama dengan para pemuda, yaitu negara yang proteksionis. Kebangkrutan neoliberal kini mestinya menjadi entry point bagi koreksi mendalam gerakan pemuda. Kedua, terlibatnya para pemuda secara mendalam dalam politik praktis. Gejala ini bukanlah hal baru. Generasi 66 merupakan eksponen utama Orde Baru. Angkatan 98 kembali mengulangnya, bahkan dalam bentuknya yang amat sukar dipahami akal sehat. Kasus Pius Lustrilanang, misalnya, bagaimana mungkin korban berdamai, bahkan jatuh cinta dengan penculiknya? Atau Budiman Sudjatmiko yang bergabung dengan PDI-P dan Dita Indah Sari yang turut membawa gerbongnya di Pepernas ke PBR. Apakah ini keliru? Tidak. Semata menunjukkan pola tetap bahwa gerakan pemuda sangatlah politis. Argumen bahwa ini semata meluaskan medan perjuangan dan melalui partai politiklah perubahan bisa dilakukan, dapat diterima. Banyak orang memiliki pengaruh (influence), tapi sedikit orang yang memiliki kekuasaan (power). Bergabung dengan partai membuat seseorang memiliki kekuasaan. Kecenderungan kekuasaan inilah yang membuat ide pemimpin muda mengemuka. Sukar untuk mengelak bahwa ide pemimpin muda sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai pemimpin instan. Mereka yang mengajukan diri sebagai pemimpin muda mengabaikan sejarah pemikiran kolektif publik, dari mana mereka berasal? Yang terjadi pemimpin instan adalah sosok-sosok yang gemar mengiklankan diri di media massa. Berharap publik mengenalnya, untuk kemudian memilihnya. Lalu, apa bedanya dengan pemimpin selebriti? Epilog Kedua momentum di atas dapat dijadikan pijakan untuk memformulasi kembali model gerakan yang mengarah pada rekonstruksi kebangsaan. Catatan yang bisa diberikan pada momentum pertama adalah dibutuhkan pergeseran dari peran "perlawanan" terhadap negara menuju peran "penyelamatan" bangsa. Perihal momentum yang kedua, kita bisa becermin bahwa jika lahirnya pemimpin muda sebagai keniscayaan, maka spirit tersebut bisa kita reguk dari para founding fathers yang maju ke arena politik dengan kekuatan intelektual. Jika meluaskan medan perjuangan untuk perubahan, mengapa tidak memilih menjadi intelektual yang bertujuan menginspirasi banyak orang? Siapa yang meragukan kekuatan gagasan? Di tengah krisis, publik membutuhkan inspirasi. Bukan semata membangun image di layar kaca, sekaligus membodohi publik. Ayo, siapa berminat jadi intelektual?
<<bening.gif>>