Refleksi: Bagaimana dengan agama? Bukankah dalam Deklarasi Universal PBB tentang HAM dinyatakan orang tidak boleh dibedakan atas dasar ras, etnis, agama etc?
http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008102823333219 Rabu, 29 Oktober 2008 DPR Setujui RUU Soal Ras dan Etnis JAKARTA (Lampost): Setelah pembahasannya terhambat selama 10 tahun, akhirnya RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis disahkan dalam rapat paripurna DPR di Gedung DPR Jakarta, Selasa (28-10). Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar itu, Ketua Pansus RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Murdaya Poo, mengatakan pada prinsipnya undang-undang ini mengatur agar semua orang mendapat perlakuan yang sama. "Manusia tidak bisa memilih akan jadi ras apa ketika dia dilahirkan, karena itu tidak boleh ada pembedaan." Undang-undang itu mengatur agar hak-hak sipil setiap orang dilindungi dan jika ada lembaga sipil atau publik yang terbukti membeda-bedakan orang berdasar pada etnis, pemimpin lembaga tersebut akan dipidanakan dengan ancaman hukuman yang lebih berat 1/3 dari ketentuan dalam KUHP. "Jadi semisal hukumannya 10 tahun penjara, akan ditambahkan menjadi 13 tahun," ujar Murdaya. Undang-undang itu sekaligus pula menghapus adanya dikotomi antara pribumi dan nonpribumi. Dia mencontohkan jika ada kelompok etnis Jawa yang ingin mengadakan sebuah acara di Provinsi NAD, gubernur atau pemerintah setempat tidak bisa melarangnya. Jika ada pelarangan atas acara itu, pemimpin daerah tersebut melanggar undang-undang dan bisa dikenakan sanksi. Mengomentari pengesahan RUU itu, Ketua DPR Agung Laksono pun menganggap hal itu sebagai kemajuan demokrasi di Indonesia mengingat belum banyak negara melakukan hal yang sama. "Ini bukti kemajuan demokrasi di negara kita. Karena penghapusan diskriminasi sudah diundangkan, bukan sekadar tradisi," ujar Ketua DPR Agung Laksono di Jakarta, kemarin. Menurut dia, setelah disahkan, undang-undang tersebut harus cepat disosialisasikan agar penghapusan diskriminasi ras dan etnis dapat diketahui seluruh rakyat Indonesia. "Saya kira harus segera disosialisasikan, tidak hanya berhenti pada undang-undang," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini. Undang-undang ini memberikan sanksi sepertiga lebih berat dari KUHP bagi suatu tindakan pidana yang bermotifkan kebencian terhadap ras dan etnis tertentu. Sambut Baik Di Lampung, adanya Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis disambut baik kalangan etnis Tionghoa setempat. Ketua Majelis Buddhayana Indonesia Swanarta, kemarin, menyambut baik adanya UU tersebut. Swanarta bersyukur atas perhatian pemerintah yang berusaha menghilangkan tindak diskriminasi. "Pemerintah sudah lebih memperhatikan golongan minoritas sehingga diharapkan tidak lagi terjadi perilaku-perilaku diskriminasi terhadap kehidupan beragama dan berbangsa," kata Swanarta. Dia menilai kini masih terjadi tindakan diskriminasi. Indonesia yang sangat pluralitas, terkadang masih belum mampu menjerat oknum-oknum yang bertindak diskriminasi. Pernyataan senada diungkapkan Ketua Muda-Mudi Wihara Banten Ludiyanto. Ludiyanto menyambut positif adanya UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Menurut dia, selama ini tindakan diskriminasi banyak yang tidak terungkap. Indonesia yang memegang asas kebhinnekaan ternyata belum sepenuhnya menerapkan sikap menghormati keberagaman. Terjadi kesenjangan sosial dengan etnis minoritas. Bangsa pribumi belum sepenuhnya berbaur dan dengan menyatu dengan kaum minoritas. Ludiyanto merasa bahagia dengan pengakuan pemerintah terhadap etnis minoritas, khususnya Tionghoa. Ketika Presiden Gusdur memimpin Indonesia, ia telah mengesahkan perayaan hari besar kaum Tionghoa. Adanya UU itu menegaskan pemerintah lebih peduli dan perhatian kepada etnis marginal, kata dia.n */U-2 *= PADLI JAKARTA (Lampost): Setelah pembahasannya terhambat selama 10 tahun, akhirnya RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis disahkan dalam rapat paripurna DPR di Gedung DPR Jakarta, Selasa (28-10). Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar itu, Ketua Pansus RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Murdaya Poo, mengatakan pada prinsipnya undang-undang ini mengatur agar semua orang mendapat perlakuan yang sama. "Manusia tidak bisa memilih akan jadi ras apa ketika dia dilahirkan, karena itu tidak boleh ada pembedaan." Undang-undang itu mengatur agar hak-hak sipil setiap orang dilindungi dan jika ada lembaga sipil atau publik yang terbukti membeda-bedakan orang berdasar pada etnis, pemimpin lembaga tersebut akan dipidanakan dengan ancaman hukuman yang lebih berat 1/3 dari ketentuan dalam KUHP. "Jadi semisal hukumannya 10 tahun penjara, akan ditambahkan menjadi 13 tahun," ujar Murdaya. Undang-undang itu sekaligus pula menghapus adanya dikotomi antara pribumi dan nonpribumi. Dia mencontohkan jika ada kelompok etnis Jawa yang ingin mengadakan sebuah acara di Provinsi NAD, gubernur atau pemerintah setempat tidak bisa melarangnya. Jika ada pelarangan atas acara itu, pemimpin daerah tersebut melanggar undang-undang dan bisa dikenakan sanksi. Mengomentari pengesahan RUU itu, Ketua DPR Agung Laksono pun menganggap hal itu sebagai kemajuan demokrasi di Indonesia mengingat belum banyak negara melakukan hal yang sama. "Ini bukti kemajuan demokrasi di negara kita. Karena penghapusan diskriminasi sudah diundangkan, bukan sekadar tradisi," ujar Ketua DPR Agung Laksono di Jakarta, kemarin. Menurut dia, setelah disahkan, undang-undang tersebut harus cepat disosialisasikan agar penghapusan diskriminasi ras dan etnis dapat diketahui seluruh rakyat Indonesia. "Saya kira harus segera disosialisasikan, tidak hanya berhenti pada undang-undang," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini. Undang-undang ini memberikan sanksi sepertiga lebih berat dari KUHP bagi suatu tindakan pidana yang bermotifkan kebencian terhadap ras dan etnis tertentu. Sambut Baik Di Lampung, adanya Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis disambut baik kalangan etnis Tionghoa setempat. Ketua Majelis Buddhayana Indonesia Swanarta, kemarin, menyambut baik adanya UU tersebut. Swanarta bersyukur atas perhatian pemerintah yang berusaha menghilangkan tindak diskriminasi. "Pemerintah sudah lebih memperhatikan golongan minoritas sehingga diharapkan tidak lagi terjadi perilaku-perilaku diskriminasi terhadap kehidupan beragama dan berbangsa," kata Swanarta. Dia menilai kini masih terjadi tindakan diskriminasi. Indonesia yang sangat pluralitas, terkadang masih belum mampu menjerat oknum-oknum yang bertindak diskriminasi. Pernyataan senada diungkapkan Ketua Muda-Mudi Wihara Banten Ludiyanto. Ludiyanto menyambut positif adanya UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Menurut dia, selama ini tindakan diskriminasi banyak yang tidak terungkap. Indonesia yang memegang asas kebhinnekaan ternyata belum sepenuhnya menerapkan sikap menghormati keberagaman. Terjadi kesenjangan sosial dengan etnis minoritas. Bangsa pribumi belum sepenuhnya berbaur dan dengan menyatu dengan kaum minoritas. Ludiyanto merasa bahagia dengan pengakuan pemerintah terhadap etnis minoritas, khususnya Tionghoa. Ketika Presiden Gusdur memimpin Indonesia, ia telah mengesahkan perayaan hari besar kaum Tionghoa. Adanya UU itu menegaskan pemerintah lebih peduli dan perhatian kepada etnis marginal, kata dia.n */U-2 *= PADLI
<<bening.gif>>