Pemastian keajegan dan konfirmasi kualitas pemahaman, pengertian dan
pengetahuan dalam proses pembelajaran dalam arti luas baik di tingkat
lembaga pendidikan dan pengguna atau dunia kerja memerlukan terobosan
kebijaksanaan.  Masalah -masalah yang berkaitan dengan hal ini
berupa penyakit sosial dari korupsi sampai ketidakseimbangan
hidup/kekacauan orientasi hidup disebabkan pembiaran ketidak ajegan
dalam pendidikan yang terakumulasi. Sebagai ilustrasi misalnya
pengajaran "membaca" dalam kehakikian akan kitab TUHAN  tekstual,
konten dan konteks aktuaklisasinya (contoh bahan ajar yang mengandung
aktifitas pemahaman material, immaterial dan spiritual) . Pengajarannya
jelas tidak dipahami secara utuh atau ada yang bahkan buta sama sekali.
Ini semua dibiarkan.Sertifikasi dan Ujian kompetensi dan kapasitas
materi bahan ajar dalam ujian yang bersifat massal yang meboroskan dan
mebmubazirkan dana dan daya timbul karena adanya inkosistensi kesadaran
untuk menempa diri  dan pembiaran adanya pihak-pihak yang gagal
memahami bahan ajar dalam proses pengajaran baik oleh peserta didik
maupun fasilitatornya sehari-hari di lembaganya, yang hasil yang
dinilai, relatitivitas kemampuannya secara numerikal dari tahun ke
tahun secara agregat merisaukan, tidak ada tindakan kuratif,
rehabilitatif. Mau diapakan angka-angka itu, apakah valid dan
mencerminkan keadaan yang sebenarnya menjadi pertanyaan besar. Dan
bisakah numerikal menghitung spiritualitas pembelajaran? Sekali lagi
pembiaran telah merajalela dan kegagalan pendidikan merupakan takdir
buruk atau neraka dunia dan akhirat. Sedangkan kesejatian usaha
prefentif terhadap kegagalan dalam sistem, prosedur dan metodologi yang
ada hanya bersifat tambal sulam. Mengembalikan pengajaran
filsafat/falsafah kepemimpinan sebagai dasar dari semua ilmu yang
diajarkan menjadi solusi yang dapat mendekonstruksi sekaligus
merekonstruksi pemahaman, pengetahuan dan pengertian  peserta
didik dalam lembaga pendidikan dari dasar sampai  universitas dan
masyarakat pembelajar secara umum.  Orang tua  yang baik
menyadari akumulasi kesalahan mereka dalam memimpin harus ditebus
generasi selanjutnya. Bukankah peninggalan terbaik adalah anak-anak
yang soleh. Doa mereka akan memberi safaat atau menolong orang tua
mereka. Jangan biarkan generasi "anak" tetap sama dalam kualitas
kepemimpinan seadanya alias koruptif, manipulatif dan konspiratif dalam
kebohongan dan menutupi kompetensi dan kapasitas yang terbatas dengan
personalitas dan lekatan-lekatan topeng dengan generasi terdahulu.
Jujurlah, karena itu dasar dari bangkitnya keimanan. Akumulasi
pembiaran ketidakajegan keimanan, keilmuan dan amal perbuatan dinilai
TUHAN. Hitungan atau hisab solusinya adalah seberapa besar keikhlasan
generasi pendahulu bersedia didoakan dan dibantu diakhirat oleh
anak-anak solehnya. Karena generasi anak-anak soleh itu telah bangkit
di Indonesia dan siap memimpin negara dengan selalu mendoakan
generasi-generasi terdahulu yang sudah terbukti secara empirik khilaf
dan bersalah. Generasi-anak-anak soleh ini memiliki keajegan iman, ilmu
dan amal dan tidak membiarkan generasinya  tidak paham, tahu,
mengerti hakikat kehidupan. Karena kesempatan berbagi ilmu dengan
generasi pendahulu memiliki kendala terutama energi untuk menyerap
komplikasi perhitungan /hisab kemanusiaan dan kealamsemestaan yang
secara alamiah dan sunatullah generasi pendahulu sudah berkurang/habis.
Energi itu masih dimiliki kami anak-anak soleh. Biarkan falsafah
kekekalan energi yang hanya ada pada jiwa yang tercerahkan akan
membantu generasi pendahulu yang khilaf dan penuh dosa dengan amal
saleh kami yang akan menenangkan jiwa kalian sebelum mizan TUHAN
berfungsi.



Harry Samputra Agus

Pemimpin generasi anak soleh Indonesia dan siap menjadi presiden RI 
mendatang....



      

Kirim email ke