----- Original Message ----- 
  From: Hari Das 
  To: [EMAIL PROTECTED] 
  Sent: Sunday, November 16, 2008 7:52 AM
  Subject: [media-jogja] PKS dan 'Kambing Dibedaki'


        Rabu, 12/11/2008 09:35 WIB
        PKS dan 'Kambing Dibedaki'
        Djoko Su'ud Sukahar – detikNews

        
http://www.detiknews.com/read/2008/11/12/093505/1035469/103/pks-dan-kambing-dibedaki
 

         

        Jakarta - Semerbak harum 'Cendana' tercium PKS. Partai ini 
mengangkatnya sebagai iklan politik. Potret Pak Harto dipampang. Dibubuhi 
predikat sebagai 'guru bangsa dan pahlawan'. Dari waktu ke waktu, ternyata Pak 
Harto itu tetap jadi pujaan. Pujaan untuk dipuja, juga pujaan untuk dihujat. 

        Pekan kemarin, potret almarhum Soeharto muncul. Kemunculannya melalui 
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), saat partai ini menyambut Hari Pahlawan. Sosok 
yang dimarjinalisasi keadaan itu dicuatkan bersama tokoh lain, KH Ahmad Dahlan, 
pendiri Muhammadiyah. 

        PKS 'menjual' tokoh-tokoh itu menjelang Pemilu. Partai ini tahu 
kebesaran nama tokoh yang dilahirkan di Yogyakarta itu amat mempengaruhi 
konstituen yang terpencar di banyak partai yang 'berbasis Muhammadiyah'. PKS 
juga sadar 'harumnya Cendana' melalui sosok Pak Harto belum pudar. Aura magis 
penguasa Orde Baru itu masih ampuh.

        Memang, Pak Harto tetap pujaan. Pujaan untuk dipuja maupun pujaan untuk 
dihujat. Itu karena dia 'dipersonifikasikan' sebagai 'kambing' dalam pameo. 
Kambing hitam untuk mewakili kepekatan masalalu. Dan 'kambing dibedaki' (putih) 
yang patut dielu-elu karena kebijakannya dianggap jenius dan futuris di masa 
lalu. 

        Saat Pak Harto masih 'timur', cap kambing itu laku keras. Pemerintah 
dan rakyat selalu menghubungkan segalanya dengan perilaku masalalu dan 'masa 
depan' laki-laki kelahiran Kemusuk itu. Masalalunya dianggap sebagai sebab 
keterpurukan negeri ini. Sedang 'masa depannya' menyimpan bara. Diprediksi 
bakal menyulut keributan. Menimbulkan geger kepati, membawa gonjang-ganjing 
negeri yang mulai tenang ini. 

        Saat Pak Harto dipanggil Yang Kuasa, ternyata segalanya aman 
terkendali. Ketakutan itu tak terbukti. Predikat di pundaknya pun lambat-laun 
terkubur. Nama Pak Harto lamat-lamat terdengar. Hanya sekali-kali disebut 
sebagai penyeling waktu. Trauma terhadap nama Pak Harto mendekati titik nadzir.

        Terkuburnya nama Pak Harto bukan sertamerta. Itu adalah konsekuensi 
logis dari langkah positif 'Keluarga Cendana' yang merasakan imbas isu 
destruktif itu. Mereka 'menjauhi' politik. Menutup segala aktivitas rasi ini. 
Dan menolak tiap ajakan dari pihak lain yang memberi kemungkinan itu.

        Akibat itu banyak politisi maupun partai politik yang kecewa. Mereka 
harus bertepuk sebelah tangan karena sirna melibatkan keluarga Cendana. Apalagi 
Partai Nusa Bangsa (PNB) yang diketuai Jamal Mirdad yang disebut-sebut dibiayai 
Mbak Tutut juga gagal dilahirkan.

        Sikap 'a-politik' yang dilakukan keluarga Cendana itu selangkah demi 
selangkah meredam 'kekisruhan internal' yang ditimbulkan pihak luar. Peredaman 
itu ikut 'menguburkan' nama Pak Harto dan memberlakukan 'hukum barzah'. Pak 
Harto pun mulai diingat kebaikannya, dilupakan kejelekannya. 

        PKS melakukan itu. Partai ini 'menggali' kuburan itu. Sang tokoh ini 
'dibangkitkan' kembali. Fotonya dipajang dan predikat yang sebelumnya 
dihembuskan untuk didukung dan dihujat disandingkan. Pro kontra pun kembali 
bermunculan.

        PKS memang cerdik dalam memilih isu untuk iklan politiknya. Ambivalensi 
sosok Pak Harto merupakan magnet. Gampang mengundang siapa saja menoleh. Tak 
perduli itu untuk mencibir atau tabik hormat. Tapi bagaimana dengan konstituen 
partai ini? Dan apa pula yang dimaui PKS dengan memajang gambar penguasa Orde 
Baru itu? 

        PKS adalah partai program. Partai macam ini punya resistensi tinggi. 
Dia fluktuatif, gampang naik dan gampang melorot. Jika program yang diimbangi 
sikap mulianya konsisten dijalankan bakal direspons positif. Namun jika program 
itu hanya sekadar slogan akan berbuah sebaliknya. 

        Program yang paling laku selama ini adalah mensettingnya sebagai 
'partai bersih'. Partai yang tidak korup dan anti korupsi. Partai yang selalu 
mendasarkan tindakannya sesuai amanat rakyat. 'Jualan' ini amat mengena. Suara 
partai ini naik di beberapa daerah, dan mampu mendudukkan kadernya sebagai 
gubernur, bupati maupun walikota dalam Pilkada. 

        Grafik kenaikan suara PKS serta kemenangannya itu jangan dianggap 
sebagai 'kekuatan'. Itu bukan 'kemenangan riil'. Sebab suara itu terbanyak 
datang dari 'luar kader partai'. 'Orang luar' itu memberikan suaranya karena 
'terhipnotis' program PKS. Mereka ingin korupsi diberantas, politisi dan partai 
tidak korup. Untuk itu, jika semua keinginan itu kelak terlaksana karena 
dipaksa undang-undang, itu sama artinya jualan PKS mulai tidak laku. Adakah 
karena alasan itu mengapa PKS kini 'menjual' Pak Harto?

        Sebagai partai program, PKS tak boleh berhenti berpikir. Dia harus 
terus mengekplorasi ide. Ide mengangkat Pak Harto sebagai 'guru bangsa dan 
pahlawan' bukan buruk. Sebab siapa saja tahu, tokoh ini dan keluarga Cendana 
punya massa luar biasa. Termasuk juga dana?(iy/iy)

       



   

Kirim email ke