http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008111622521416
Senin, 17 November 2008 Buruh dan Upah Minimum Oki Hajiansyah Wahab dan Juniardi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Unila Penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) maupun upah minimum provinsi (UMP) menjadi "ritual" tahunan. Tidak mengherankan jika terjadi tarik ulur antarpihak yang berkepentingan, baik buruh maupun asosiasi pengusaha. Di satu pihak, para pengusaha berupaya mempertahankan hak penguasaan atas wilayah otoritas bisnis, yaitu kelayakan biaya dan keuntungan produksi. Di pihak lain, para buruh berusaha mendapatkan hak atas kelayakan hidup sebagai manusia, yaitu upah yang secara normatif layak bagi diri dan keluarganya. Bagi kalangan buruh, kenaikan upah minimum tiap tahun amat dinantikan. Meskipun kenaikan yang diterima jauh dari harapan, setidaknya sedikit meringankan kesulitan hidup buruh di tengah tekanan hidup yang tinggi; sekalipun upah riil yang diterima buruh justru turun dan makin jauh dari standar hidup layak. Rendahnya upah buruh di Indonesia memang bukan isapan jempol belaka. Penelitian TURC menyebutkan pada 1997 upah minimum buruh mampu membeli 350 kg beras (dengan harga beras Rp700 rupiah per kilogram pada tahun itu), sedangkan upah minimum buruh 2008 hanya mampu untuk membeli beras sebanyak 160 kilogram beras (dengan asumsi harga berasRp 5.000 per kg di tahun ini). Ini bermakna upah riil buruh berkurang hampir 50 persen. Penelitian INDOC juga menyatakan upah buruh Indonesia kini sangat rendah, hanya berkisar 5% sampai 6% dari biaya produksi. Data yang diperoleh dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyatakan upah buruh hanya menghabiskan 25 persen dari total komponen pengeluaran perusahaan. Yang 60 persen adalah biaya produksi, 15 persen lain "uang siluman" yang terus-menerus dilakukan oknum aparat pemerintah (Ihsan Prasodjo: 2006). Jika dinalar lewat aturan baru, yakni SKB empat menteri, kenaikan upah minimum yang dinantikan buruh sesungguhnya tidak signifikan. Bagaimana mungkin kenaikan upah minimum tidak boleh melebihi angka pertumbuhan ekonomi, sedangkan angka pertumbuhan ekonomi nasional kini jauh di bawah angka inflasi apalagi angka KHL. Bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional 2008 yang diprediksikan hanya sekitar enam persen sementara angka inflasi berkisar 12 persen. Bisa dibayangkan betapa menderitanya kehidupan buruh ketika upah riil makin lama makin berkurang. Konsepsi Upah Minimum Dalam hubungan industrial, kedudukan upah minimum merupakan persoalan prinsipil. Upah minimum harus dilihat sebagai bagian sistem pengupahan secara menyeluruh. ILO dalam Report of the Meeting of Experts of 1967 menyatakan hal serupa. Upah minimum didefinisikan sebagai upah yang memperhitungkan kecukupan pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan hiburan bagi pekerja serta keluarganya sesuai dengan perkembangan ekonomi dan budaya tiap negara. Pada prinsipnya, sistem penetapan upah minimum dilakukan untuk mengurangi eksploitasi atas buruh. Ini sesungguhnya berisi kewajiban pemerintah memproteksi buruh. Intervensi dan peran pemerintah dalam hubungan industrial adalah bentuk penguatan terhadap posisi tawar yang memang tidak seimbang antara buruh ketika berhadapan dengan pengusaha. Setiap pekerja berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Upah minimum dipandang sebagai sumber penghasilan bersih (take home pay) sebagai jaring pengaman (safety net) KHL. Sebab itu, upah minimum diharapkan dapat memenuhi kebutuhan seorang buruh terhadap pendidikan, kesehatan, transportasi, dan rekreasi. Bahkan, bila dimungkinkan dapat disisihkan untuk menabung. Dalam tataran normatif, KHL merupakan standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik secara fisik maupun nonfisik dalam kurun waktu satu bulan. Terbitnya UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Permenaker No. 1/1999 jo Kepmenakertrans No. 226/2000 tentang Upah Minimum, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 17 2005 tentang tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak dan Keppres 107/2004 tentang Dewan Pengupahan tentunya diharapkan menjadi payung hukum bagi buruh agar mendapatkan keadilan dan menghindari eksploitasi terhadap buruh yang seringkali tidak berdaya karena berbagai keterbatasan. Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2005 dan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 mengamanatkan upah minimum harus berdasar pada KHL yang ditetapkan. Ketentuan ini diharapkan dapat menjadi pedoman penyelenggaraan jaminan sosial bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja yang digunakan sebagai payung hukum. Kasus Lampung Di Lampung, jika kita lihat laporan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Lampung tentang kebijaksanaan dan strategi pengupahan daerah Lampung tahun 2001, dari tahun 1995--2001 besaran UMK dan UMP tidak pernah mencapai angka penuh 100% dari KHL. Buruh di Kota Bandar Lampung tentu tidak akan lupa UMK tiga tahun terakhir tidak pernah mencapai 100% KHL sesuai dengan ketentuan Permenakertrans No. 17 dan UU Ketenagakerjaan No. 13. Tahun 2005 pemerintah menetapkan KHL untuk tahun 2006 sebesar Rp589.540. Kemudian, UMK yang ditetapkan Rp510 ribu atau hanya 86% dari KHL. Tahun 2006 pemerintah menetapkan KHL 2007 Rp632.888, UMK yang ditetapkan Rp560.500 atau 88,56% dari KHL. Selanjutnya KHL untuk tahun 2008 Rp775 ribu, UMK yang ditetapkan hanya Rp627.500. Upah minimum provinsi (UMP) tahun 2001 Rp240 ribu, 2004 Rp377.500, 2005 Rp405 ribu, dan 2007 Rp555 ribu. Tahun ini Dewan Pengupahan Kota (DPK) Bandar Lampung juga telah menentukan KHL Rp857.724. Angka ini lagi-lagi dinyatakan sebagai rumusan bersama hasil survei kebutuhan dari Dewan Pengupahan yang terdiri dari perwakilan pengusaha (Apindo), serikat pekerja (pekerja), perguruan tinggi (profesional), dan pemerintah (Disnaker). Setiap tahun memang ditetapkan KHL yang diklaim sebagai hasil survei bersama Dewan Pengupahan, tapi faktannya upah minimum yang ditetapkan tidak pernah mencerminkan KHL. Apakah tahun ini kejadian yang sama, akan kembali berulang? Kita tunggu! n
<<bening.gif>>