Kontroversi Iklan Politik Belakangan pemirsa televisi kita disuguhi beragam iklan politik. Dari sekian banyak iklan politik itu, survei menunjukkan hanya iklan politik Partai Gerindra yang terbukti mendapat simpati publik. Temuan Lembaga Survei Indonesia (LSI) terbaru (September, 2008) menunjukkan bahwa ”partainya” Letjen (Purn) Prabowo menempati urutan keenamdibawahpartai- partai lama semacam Golkar, PDIP, Demokrat, PKS,dan PKB.. Gerindra berhasil menaikkan elektabilitas partai hingga 3,2%,selisih satu poin lebih banyak dibandingkan partai lawas seperti PAN dan PPP. Gerindra’s Effect Ada pertanyaan besar yang patut diajukan, mengapa Gerindra begitu cepat melejit sebagai kekuatan elektoral baru? Sejumlahhipotesistelahdiambil untuk menjawab pertanyaan pertama. LSI mensinyalir munculnya gejala ”silent revolution”(revolusi diam-diam) yang menandai bergesernya peran partai politik dan munculnya dominasi media massa,terutama televisi,dalam menjangkau pemilih. Televisi muncul sebagaikekuatanbaruyanglebihmasif dalam menyampaikan informasi politik kepada masyarakat. Harus diakui, televisi mampu menyelinap ke ruang domestik keluarga dan memerantarai hubungan yang lebih bersifat impersonal. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan politik konvensional yang mensyaratkan kehadiran seseorang, interaksi melalui televisi lebih bersifat one-way traffic communication, lebih praktis dan tidak merepotkan pemilih. Gerindra dan Prabowo dengan sadar memilih strategi ”berjualan lewat udara” sebagai upaya awal meningkatkan popularitas partai.Melalui kekuatan finansial yang dahsyat,Gerindra dinilai berhasil memengaruhi pilihan politik masyarakat melalui frekuensi iklan-iklan politiknya. Above the Line ala PKS Skenario yang berbeda dilakukan oleh PKS.Partai ini terbukti mampu mengembangkan kapasitas organisasional, entah itu terlihat dari militansi kader, struktur partai yang menjangkau desa/kelurahan,hingga aneka ragam organisasi sayap (onderbow).PKS diakui banyak pihak sebagai partai yang lebih mengedepankan pada institutional building, ketimbang mengandalkan ketokohan. Strategi brandingPKS juga lebih banyak dilakukan melalui jalur ”pertempuran di darat” (dalam bahasa marketingdisebut below the line) ketimbang ”serangan di udara” (above the line). Jualan PKS dalam Pemilu 2004 dengan tagline bersih dan peduli juga lebih banyak dipengaruhi oleh keberhasilan PKS dalam melakukan blocking issue atas apa yang mereka lakukan di masyarakat. Dibanding dengan partai-partai lain,PKS dikenal sebagai partai yang paling bersih. Banyak anggota parlemen PKS di tingkat pusat hingga daerah yang mengembalikan dana gratifikasi ke pihak yang berwenang. Kader-kader PKS juga paling mobile dalam melakukan aksiaksi kerja sosial di wilayah-wilayah yang terkena bencana alam. Tetapi belakangan PKS tampak tergoda untuk menempuh strategi above the line. Temuan LSI menunjukkan bahwa nilai elektoral suatu partai juga dipengaruhi oleh seberapa besar akses mereka terhadap media televisi, agaknya memacu PKS untuk terlibat dalam pertempuran di udara.Hal ini terlihat dengan usaha PKS menayangkan serial iklan politik untuk menyambut hari Sumpah Pemuda,28 Oktober. PKS juga menayangkan iklan versi Hari Pahlawan yang kurang lebih sama dengan sebelumnya. Serial pertama menampilkan sosok pemuda, dengan background poster Bung Karno dan dominasi warna merah menyala.Pemuda ”metal”tadi mengutip ”sabda”Soekarno yang berbunyi: ”Aku bukan budak Moskow, bukan pula budak Amerika. Aku adalah budak bagi rakyatku sendiri.” Lalu diikuti dengan seorang guru perempuan berjilbab dengan gambar KH Ahmad Dahlan di papan tulis yang lagi-lagi menarasikan petuah pendiri Muhammadiyah itu, ”Pemimpin itu sedikit bicara,banyak kerja.” Serial iklan kedua PKS menampilkan seorang pemuda perlente yang mengutip kata-kata bijak dari tokoh Masyumi, Muhammad Natsir: ”Pemimpin itu harus jujur, berani, mengakui kekurangan, dan mau menerima kritik dan masukan.” Seri iklan ini diikuti dengan seorang santri tradisional yang menyadur petuah pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari: ”Pemimpin itu jangan hanya memberikan jargonjargon kosong.” Adapun iklan PKS versi Hari Pahlawan kurang lebih sama dengan versi Sumpah Pemuda. Bedanya, tokoh-tokoh yang diangkat dalam iklan lebih beragam. Selain Soekarno, KH Ahmad Dahlan,dan KH Hasyim Asy’ari, versi Hari Pahlawan juga mengangkat Soeharto, Jenderal Sudirman, Bung Hatta,dan Bung Tomo. Dilihat dari teknis pengemasan, sebenarnya iklan-iklan PKS tersebut biasa-biasa saja. Iklan yang diproduksi Ipang Wahid ini hanya berdurasi pendek,sekitar 30 detik.Sulit bagi seorang advertising strategist seperti Ipang untuk berkreasi. Terjebak Atas dasar itu,iklan-iklan PKS bisa dikategorikan ikonik dalam arti lebih banyak menampilkan figur-figur besar, meski bukan berasal dari tokoh-tokoh internal PKS. PKS terjebak dengan tren iklan-iklan politik yang dibuat oleh partai-partai di Indonesia pada umumnya yang mengeksploitasi faktor emosi ketimbang menjual isuisu atau kebijakan-kebijakan. Benar bahwa iklan-iklan PKS juga menarasikan kata-kata ”bertuah”, tapi tetap saja itu bukan merupakan platform atau respons PKS atas kebijakan atau isu-isu fundamental dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan lain-lain. Kutipan-kutipan tadi tetap dilekatkan pada figur-figur besar seperti Soekarno dan pendiri ormas keislaman besar di Indonesia. Faktor emosionalitas sangat dominan dalam propaganda politik karena jarang mempertimbangkan rasionalitas pemilih. Masalahnya, unsur emosionalitas iklan lebih besar tingkat resonansinya ke pemilih.Peter Bynum berkata, ”Emotion is basic. An emotional ad or story is always more interesting than a straightforward presentation of the fact.”Penulis buku The Modern Political Campaign, Ricard Scher,juga mengatakan,”…architects of modern campaign know that the victory is more like attained trough an appeal to the heart and emotions than to the brain.” Tak berlebihan bila iklan-iklan PKS pada akhirnya terjatuh pada pilihan untuk ”mengeksploitasi” emosionalitas pemilih. Pilihan untuk mengangkat tokoh-tokoh seperti Soekarno, Natsir,KH Ahmad Dahlan,dan KH Hasyim Asy’ari jelas menunjukkan tendensi politik PKS untuk memperbesar segmentasi konstituen PKS. PKS sadar bahwa target 20% suara dalam Pemilu 2009 nanti akan sulit tercapai tanpa mengambil segmen pemilih partai lain. Pilihan untuk menyasar target pemilih partai lain ini sah-sah saja,tapi bukan berarti tanpa risiko.PKS langsung menuai imbas dengan munculnya penolakan dari elite-elite NU dan Muhammadiyah yang menolak pendiri ormas mereka ”dipolitisasi”. Masalahnya lagi-lagi jika PKS hanya mengandalkan pangsa tradisionalnya maka target 20% suara dalam pemilu tahun depan hanya mimpi di siang bolong.(*) Burhanuddin Muhtadi,MA Analis Politik Charta Politika http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/190981/ Salam Abdul Rohim http://groups.google.com/group/peduli-jateng?hl=id