Natal
Yesus mungkin tidak benar-benar lahir pada 25 desember, tetapi hari natal, 
pohon terang dan lagu malam suci memberikan makna kepada mereka yang percaya.
SIAPA sebenarnya yang lahir di Betlehem 25 Desember hampir 2.000 tahun yang 
lalu itu? Kita tidak tahu. Barangkali tak seorang bayi pun, suci atau tak suci, 
lahir di hari itu. Sebagian orang yang meneliti perkara ini pernah menyimpulkan 
bahwa hari kelahiran Yesus ditentukan kemudian dan tidak ada hubungannya dengan 
catatan dan akurasi sejarah: bahkan tanggal yang sekarang menjadi Hari Natal 
itu pada mulanya ada kaitannya dengan ritual pra-Kristen di Eropa, demikian 
juga halnya pohon Natal, dan entah apa lagi.

Tapi pentingkah itu semua, barangkali juga tidak. Cerita tentang Tuhan, para 
nabi, cerita tentang mukjizat, tentang pengorbanan jiwa, cerita tentang 
pengalaman religius dan hidup sebelum dan sesudah dunia, semua itu terlampau 
dahsyat untuk para penelaah fakta historis yang ketil dan cerewet. Dengan kata 
lain, iman adalah satu hal, pengetahuan tentang yang benar dan tidak benar 
adalah hal lain. Pada mula dan pada akhirnya ini adalah perkara makna, bukan 
kebenaran. Yesus mungkin tidak benar-benar lahir di tanggal 25 Desember di 
tahun nol atau satu, tetapi Hari Natal dan pohon terang dan lagu Malam Suci 
memberikan makna kepada mereka yang percaya, dan, seperti dalam pelbagai cerita 
yang didengar dan diulang-ulang untuk anak- anak, dengan makna itu keajaiban 
bisa terjadi.

Makna, bukan kebenaran. Soren Kierkegaard, pemikir Kristen dari Denmark yang 
disebut sebagai salah satu pemula filsafat eksistensialisme itu, pernah 
mengatakan bahwa agama pada esensinya bukanlah bujukan kebenaran sebuah ajaran, 
melainkan komitmen kepada suatu pendirian yang pada hakikatnya absurd, bahkan 
yang melecehkan akal kita. Untuk ada dan berarti, untuk exists, kita harus 
percaya, kata Kierkegaard, kita harus meloncat dari keraguan kepada iman, dan 
harus percaya kepada sesuatu yang sebenarnya sungguh repot untuk dipercayai.

Bagi sebagian orang, pendirian Kierkegaard teramat keras dan wungkul seperti 
alam Skandinavia, dan heroik seperti para pelaut Vikings, tetapi pada dasarnya 
juga posisi seperti itu bisa disebut juga sebagai posisi yang gampangan sama 
halnya dengan tekad mengenakan kacamata kuda sepanjang perjalanan hidup. Sebab 
makna yang diberikan agama kepada seseorang sering tidak membutuhkan tekad dan 
sikap heroik seperti itu. Berjuta- juta orang mendapatkan makna dari agama 
karena ia menjadi anggota dari sebuah komunitas: suatu pengambilan sikap yang 
bersahaja, tetapi berarti. Bagaimanapun juga ada dalam setiap agama kecuali 
barangkali yang dihayati kaum sufi dasar yang kuat mendorong dirinya untuk 
menjadi sesuatu yang menyemarakkan komunitas, "a celebration of community", 
untuk meminjam istilah Ernest Gellner, seorang ahli antropologi terkemuka yang 
banyak menelaah masyarakat Islam di Timur Tengah.

Dalam ikut serta menyemarakkan kebersamaan itu memang yang penting bukanlah 
pengetahuan yang benar tentang suatu doktrin. Makna semata-mata lahir karena 
orang, di dalam beragama, merasa tenteram, bahkan gembira, dalam ada bersama 
orang-orang yang seiman. Mereka merasa bisa lebih memahami tentang hidup, 
tentang yang benar dan tidak benar, yang adil dan tidak adil, dalam ritual yang 
dijalankan bersama dan itu berarti menuruti tradisi yang tertulis ataupun tak 
tertulis, turun-menurun dan bukan karena Sabda yang sudah baku dan sejak mula 
telah selesai.

Dalam keadaan itu, mereka umumnya tak merasa perlu mampu membaca Kitab Suci, 
mereka tidak repot mempersoalkan mana ajaran yang "murni", mereka tidak 
bersusah payah menaati doktrin yang berada di atas dan terpisah dari jejak 
sejarah dan budaya bagaikan rumus ilmu pasti dan bahkan tidak perlu mera- sa 
punya "doktrin". Barangkali, karena itu, mereka juga tidak punya pretensi untuk 
menjalankan cara yang "benar secara hukum". Agaknya dari sinilah acara seperti 
Perayaan Natal lahir dan berkembang, dan orang tidak merasa risau bahwa semakin 
lama semakin pudar "warna lokal" Palestina karena semakin digantikan "warna 
lokal" Eropa: salju yang tebal, Sang Bunda dan Sang Bayi yang berkulit putih, 
lagu Jingle Bells....

Makna, bukan kebenaran. Yang mencemaskan ialah bahwa sering orang 
mencampuradukkan antara keduanya. Ketika yang bermakna bagi saya saya anggap 
sebagai kebenaran, saya pun akan cenderung hendak menjadikannya sebagai 
doktrin, yang tetap, baku, konsisten, dan universal seakan-akan apa yang 
spontan dan sebab itu tak bisa dipastikan harus dibasmi, seakan-akan yang 
"lain" sebab tak cocok dengan doktrin harus dihabisi. Mungkin tampak akan kuat, 
tetapi mungkin juga seperti bangunan baja yang tanpa kemeriahan, dingin, mati.

Goenawan Mohamad
 
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1994/01/01/CTP/mbm.19940101.CTP1528.id.html



   Salam
Abdul Rohim
http://groups.google.com/group/peduli-jateng?hl=id


      

Kirim email ke