Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak.club.fr/index.htm


Catatan A. Umar Said



                    Tentang  Muchdi dan konspirasi BIN





Pembebasan Muchdi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dari kasus
pembunuhan Munir merupakan bukti yang gamblang bahwa unsur-unsur Orde Baru
di kalangan berbagai lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan judikatif)
masih cukup kuat, dan bahwa reformasi yang sudah diusahakan selama  10 tahun
masih tersendat-sendat jalannya, bahkan ada yang macet sama sekali. Ini
adalah pertanda yang amat buruk sekali bagi kelanjutan kehidupan bangsa
Indonesia.



Pembebasan Muchdi juga membuktikan bahwa kalangan  pimpinan militer (yang
masih aktif maupun yang sudah pensiun) tetap mempunyai pengaruh  atau
kekuasaan yang tidak kecil di banyak kalangan, untuk bisa melakukan
intervensi, campurtangan, atau tekanan, atau konspirasi mengenai berbagai
urusan penting dalam kehidupan bangsa dan negara. Ini adalah juga indikasi
yang menunjukkan bahwa keterpurukan negara dan bangsa akan terus
berlangsung, selama kalangan pimpinan militer (terutama TNI-AD) masih bisa
meneruskan praktek-praktek negatif yang dilakukan selama 32 tahun Orde Baru
dan sesudahnya.



Kasus Muchdi, dan terlibatnya unsur-unsur Badan Intelijen Negara (BIN)
lainnya, dalam pembunuhan Munir, merupakan peristiwa yang memungkinkan
ter-ekspose-nya sebagian kecil sekali dari praktek-praktek buruk yang
dilakukan oleh kalangan pimpinan militer. Sebab, kalau di masa-masa yang
lalu banyak sekali (sekali lagi, banyak sekali !) kejahatan atau pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh militer tidak bisa dibongkar dan ditindak secara
hukum, maka kasus pembunuhan Munir oleh orang-orang penting di BIN telah
memungkinkan sejumlah ornop (organisasi non-pemerintah) atau LSM di dalam
negeri dan di luar negeri untuk angkat suara dan mengadakan perlawanan.



 “Test of history”-nya presiden SBY



Karena itu, walaupun Muchdi sekarang sudah dibebaskan dari perkara
pembunuhan Munir, belumlah bisa dikatakan bahwa kasusnya sudah sepenuhnya
selesai, atau bahwa citra pimpinan militer menjadi baik karenanya. Sebab,
sampai sekarang ini masih belum jelas apakah Muchdi akan betul-betul bebas
seterusnya, ataukah  perkaranya masih akan bisa disidangkan kembali. Sebab,
diberitakan bahwa Kejaksaan Agung sedang mengajukan kasasi atas keputusan
pembebasan oleh Pengadilan Jakarta Selatan ini.



Selain itu,  sedang ditunggu-tunggu oleh banyak orang sikap terakhir
presiden SBY mengenai persoalan  Muchdi ini. Sebab, presiden SBY pernah
mengeluarkan pernyataan yang memberikan harapan kepada banyak orang bahwa
persoalan Munir akan ditangani secara serius, antara lain dengan
mengeluarkan Kepres dan membentuk Tim Pencari Fakta. Presiden SBY juga
mengatakan bahwa persoalan Munir ini sebagai “test of history” (ujian dalam
sejarah). Sikap presiden SBY soal kasus Muchdi yang terlibat dalam
pembunuhan Munir ini pasti juga akan menjadi sorotan juga di luar negeri.
Karena, Komnas HAM PBB, dan parlemen di banyak negara juga sudah
mempersoalkan masalah pembunuhan Munir ini.



Seperti yang bisa kita saksikan bersama selama ini,  pembunuhan Munir yang
dilakukan oleh unsur-unsur BIN sudah menjadi bahan pembicaraan dan juga
aksi-aksi dalam berbagai bentuk dan cara oleh banyak LSM dan kalangan
masyarakat lainnya di Indonesia, termasuk di kalangan generasi muda dan
mahasiswa. Kepedulian yang begitu besar dari berbagai kalangan masyarakat
terhadap kasus Munir dan Muchdi ini merupakan perkembangan penting sekali
dalam perjuangan besar rakyat dalam membongkar berbagai pelanggaraan atau
kejahatan yang sudah banyak dilakukan oleh pimpinan militer, terutama dalam
masalah HAM. Pembongkaran kasus konspirasi BIN yang melibatkan Muchdi dan
Pollycarpus adalah salah satu langkah penting dalam  melawan berbagai
pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh pimpinan militer, yang sudah
dilakukan berpuluh-puluh tahun.



Konspirasi di kalangan BIN dalam pembunuhan Munir



Dari adanya sejumlah reaksi yang sudah kita ketahui dari media massa (dan
Internet) , jelaslah bahwa pembebasan Muchdi dari kasus pembunuhan Munir
tidak membikin citra militer (dalam hal ini TNI AD beserta BIN) menjadi
lebih baik dari sebelumnya. Walaupun hakim-hakim Pengadilan Negeri Jakarta
menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti tentang keterlibatan Muchdi dalam
soal peracunan Munir, tetapi proses penyelidikan yang dilakukan oleh Tim
Pencari Fakta dan juga pengamatan berbagai kalangan (kepolisian dan
kejaksaan) memberikan indikasi bahwa orang-orang penting BIN ikut dalam
konspirasi pembunuhan ini.



Adalah jelas sekali bahwa pembunuhan terhadap Munir, yang dilakukan dengan
perencanaan tingkat tinggi ini, bukanlah tindakan sembarangan dari seorang
atau orang-orang biasa saja. Banyak orang sudah menduga bahwa ada aparat
kekuasaan (dalam hal ini kalangan militer, khususnya kalangan TNI AD, dan
lebih khusus lagi kalangan BIN) yang melakukan pembunuhan. Sebab, di
masa-masa yang lalu juga sudah terjadi kejahatan atau pelanggaran yang
serupa, dimana digunakan kekerasan yang menyebabkan kematian banyak orang.



Berbagai kasus tindakan kekerasan di masa lalu



Di antara kejahatan atau pelanggaran itu  terjadi dalam kasus Petrus (tahun
1983), kasus Tanjungpriuk (tahun 1984), kasus Santa Cruz di Timor Timur
(1991), kasus Marsinah (tahun 1993), kasus Haur Koneng (1993), kasus Nipah
di Madura (tahun 1993), kasus Freeport (1996), kasus Abepura (Papua), kasus
wartawan Udin (tahun 1996), kasus 27 Juli –penyerbuan gedung PDI (1996),
kasus Trisakti (tahun 1998), kasus kerusuhan Mei (tahun 1998), kasus DOM
Aceh (dari 1989-1998), kasus Semanggi (November 1998),



Dalam kasus-kasus tersebut, banyak sekali digunakan kekerasan oleh aparat
kekuasaan, yang menyebabkan juga hilangnya nyawa orang.  Antara lain,
hilangnya 14 pemuda yang tergabung dalam PRD yang “dihilangkan” oleh militer
dalam tahun 1997-1998. Tetapi, kejahatan atau pelanggaran HAM oleh kalangan
aparat kekuasaan ini (tegasnya militer TNI AD) sebagian terbesar tidak bisa
dibongkar secara tuntas dan diselesaikan secara hukum.



Walaupun banyak indikasi yang ditemukan oleh banyak kalangan dalam
masyarakat bahwa banyak pelanggaran HAM atau kejahatan itu dilakukan oleh
kalangan militer, tetapi tidak ada tindakan yang bisa dilakukan untuk
menghukumnya. Dan keadaan yang semacam itu sudah berlangsung selama beberapa
puluh tahun, selama Orde Baru dan sesudahnya. Sekarang, praktek buruk yang
sudah dilakukan puluhan tahun itu terjadi lagi dalam bentuknya yang baru,
yaitu kasus Muchdi yang terlibat dalam konspirasi BIN dalam pembunuhan
Munir.



Kalau tidak ada (atau tidak banyak) yang bisa dilakukan terhadap  berbagai
kasus kejahatan atau pelanggaran HAM di masa yang lalu, yang melibatkan
tokoh-tokoh militer tingkat tinggi seperti (antara lain)  Wiranto, Prabowo,
Ali Murtopo, Sudomo, Hendropriyono, Faisal Tanjung, Sjafri Samsudin,
Sutiyoso, maka kasus pembunuhan Munir oleh unsur-unsur BIN (terutama Muchdi,
dan mungkin Hendropriyono juga) merupakan sebuah “jendela” dari mana orang
bisa mengintip sebagian dari kejahatan atau pelanggaran HAM yang sudah
dilakukan oleh kalangan militer, dan membongkarnya.



Tulisan dalam majalah Tempo 5 Januari 2009



Dalam pembongkaran kejahatan atau pelanggaran HAM terhadap Munir oleh
kalangan militer ini , peran dan sumbangan dari usaha susah payah oleh
banyak sekali LSM atau ornop di Indonesia dan di luar negeri, seperti
(antara lain) : KASUM, KONTRAS, IMPARSIAL, IKOHI,

HUMAN RIGHTS GROUP, LPR-KROB, dan banyak LBH-LBH (ma’af kepada organisasi
lainnya  yang tidak disebutkan di sini) adalah besar dan penting sekali.
Untuk sekedar mengetahui tentang sebagian sejarah kasus terlibatnya BIN
dalam kasus Munir ini harap dibaca tulisan (yang menarik) dalam majalah
Tempo tanggal 5 Januari 2009, yang juga disajikan dalam website A. Umar Said
(http://kontak.club.fr/index.htm) dalam kolom « Kumpulan berita kasus Munir
dan Muchdi ».



Sekarang, Muchdi sudah dibebaskan  (untuk sementara ?) dari perkara Munir,
namun aksi-aksi atau reaksi dari banyak kalangan masih terus dilancarkan.
Yang demikian ini  adalah baik sekali bagi kehidupan bangsa dan negara kita.
Sebab, ini berarti bahwa perjuangan bersama untuk melawan berbagai kejahatan
dan pelanggaran HAM oleh kalangan militer dapat diteruskan dengan
macam-macam cara dan jalan.  Pembebasan Muchdi adalah manifestasi dari masih
kuatnya peranan negatif kalangan pimpinan militer (TNI AD) dalam kehidupan
bangsa dan negara, walaupun rejim militer Orde Baru sudah runtuh (resminya
!) sejak 1998.



Agaknya, sudah bisa  diperkirakan bahwa pembebasan Muchdi oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan adalah akibat berbagai macam tekanan, intervensi,
pengaruh, bahkan mungkin ancaman (kasar dan halus) , yang dilakukan oleh
kalangan pimpinan TNI AD. Berbagai macam tekanan atau ancaman  bisa saja
dilakukan terhadap para hakim dan jaksa, tetapi juga terhadap saksi-saksi,
dan orang-orang lain yang bersangkutan dengan kasus Munir dan Muchdi. Ini
bisa kelihatan dari penarikan pernyataan dari begitu banyak saksi, yang
tadinya sudah mengakui berbagai fakta dan kejadian, seperti yang tertera
dalam berbagai Berita Acara Pemeriksaan.



Dari sudut pandang inilah maka kita bisa melihat pentingnya kasus Muchdi,
dan pentingnya perjuangan bersama dari seluruh kekuatan demokratis negeri
kita untuk menelanjanginya lebih lanjut. “Kemenangan”  Muchdi dalam kasus
Munir hanya akan memperbesar  kecongkakan (arogansi)  kalangan pimpinan
militer bahwa mereka akan tetap bisa terus melakukan berbagai kejahatan dan
pelanggaran tanpa mendapat hukuman apa pun.



Kasus Muchdi dan masalah Pemilu 2009


Menghadapi pemilu 2009, masalah Muchdi ini makin kelihatan penting untuk
kita telaah bersama dengan adanya kenyataan bahwa selain bekas komandan
Kopassus dan pimpinan BIN ia adalah juga pendiri partai Gerindra bersama
mantan Letnan Jenderal  Prabowo. Kalau Prabowo bertindak sebagai ketua
umumnya, maka mantan Mayor Jenderal Muchdi adalah wakil ketua umumnya.



Mantan Letnan Jenderal Prabowo dengan partai Gerindra-nya sudah aktif sekali
mengadakan berbagai kampanye dengan macam-macam cara, yang tentunya
memerlukan dana dan jaring-jaringan yang besar. Adalah penting untuk
diperhatikan bahwa dalam Gerindra ini berhimpun banyak sekali tokoh-tokoh
pensiunan militer di samping pendukung setia Orde Baru lainnya. Umpamanya,
adik tiri Suharto, Probosutedjo, dengan terang-terangan menyatakan
dukungannya kepada pencalonan Prabowo sebagai calon presiden. Probosutedjo
telah menyelenggarakan pertemuan (tanggal 8 Januari 09) dengan 100 ulama di
tempat kediamannya, ketika ia mengumumkan dukungannya terhadap Prabowo.



Dalam menelaah berbagai aspek kasus Muchdi yang berkaitan dengan pembunuhan
Munir, perlulah kiranya kita selalu ingat tentang peran militer (terutama
TNI AD) di bawah Suharto dalam merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno dan
mengkhianatinya sampai wafatnya dalam keadaan yang menyedihkan sekali.
Ditambah lagi dengan pembantaian jutaan orang kiri yang tidak bersalah, maka
sejarah TNI AD di bawah Suharto ini harus dicatat sebagai noda atau aib
besar dan sebagai dosa berat dalam halaman-halaman sejarah bangsa kita.



Sekarang ini, makin jelaslah  bagi banyak orang bahwa Orde Baru telah
menimbulkan  berbagai  kerusakan parah dalam bidang HAM, bidang politik,
bidang ketatanegaraan, bidang ekonomi, bidang sosial, dan dalam bidang moral
(antara lain dalam bentuk KKN).  Dan juga makin gamblanglah bagi banyak
orang bahwa dosa-dosa besar  kalangan militer (terutama pimpinan TNI AD)
dalam merusak persatuan rakyat Indonesia adalah besar sekali. Itulah
sebabnya, maka kita semuanya bisa mengamati bahwa sekarang ini makin sedikit
atau makin jarang  orang-orang yang berani terang-terangan masih memuji-muji
Suharto atau rejim Orde Baru. Alangkah besar bedanya dengan keadaan 10 tahun
yang lalu, ketika begitu banyak orang secara gegap-gempita selalu
mengelu-elukannya.



Dibutuhkan pemimpin yang berlainan dengan Suharto


Dari sudut pandang itu semualah kita bisa juga menelaah kasus Muchdi, kasus
partai Gerindra, dan  kasus Prabowo juga. Partai Gerindra yang didirikan
oleh Prabowo dan Muchdi akan merupakan partai ( seperti halnya Golkar) ,
yang tidak akan bisa membawa perubahan-perubahan besar yang dibutuhkan oleh
rakyat, terutama rakyat kecil. Seluruh riwayat hidup  letnan jenderal (pur)
Prabowo sudah menunjukkan bahwa ia bukanlah sosok yang pantas atau patut
menjadi presiden negara kita.



Negara dan bangsa kita yang sedang menghadapi situasi parah di berbagai
bidang sekarang ini sebagai akibat pemerintahan rejim militer Orde Baru
selama 32 tahun (ditambah 10 tahun pasca-Suharto) membutuhkan pemimpin yang
memiliki jiwa pro rakyat kecil, mempunyai visi politik yang mempersatukan
seluruh rakyat, yang mentrapkan sungguh-sungguh  Pancasila, yang memegang
teguh Bhinneka Tunggal Ika. Kita juga memerlukan seorang presiden yang
sosoknya berlainan sekali dari Suharto, Wiranto, Prabowo, Sutiyoso dan
orang-orang lain sejenis mereka.



Situasi  dalam negeri yang penuh dengan berbagai akibat yang menyedihkan
bagi orang banyak karena adanya krisis kapitalisme di dunia dan terjungkel
ambruknya “kedigdayaan”  imperialisme AS, memerlukan kepemimpinan seorang
tokoh yang memiliki visi atau gagasan-gagasan seperti yang dikandung dalam
berbagai ajaran revolusioner Bung Karno, untuk dijabarkan dalam kondisi
sekarang. Banyak isi ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno yang
anti-kapitalisme dan anti-imperialisme, seperti (antara lain) Berdikari,
Trisakti, Panca Azimat Revolusi, Resopim, Manipol-Usdek, Nasakom yang masih
ada relevansinya untuk kita pelajari bersama guna menghadapi situasi yang
sedang ditempuh oleh bangsa dan negara kita dewasa ini.



Paris, 12 Januari 2009



















No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG.
Version: 7.5.552 / Virus Database: 270.10.5/1886 - Release Date: 10/01/2009
18:01

Kirim email ke