Ranjau Demokrasi 


Oleh Max Regus Direktur Parhessia Institute Jakarta 
 
“Humanity in general is defamed by it’s predilection to violence.” (Peter 
Morral, 2006) K ELUHAN seputar persiapan pemilu yang tidak matang merupakan 
salah satu indikasi bagaimana rezim yang sedang berkuasa pada satu lakon 
politik saat ini secara tidak sadar melakukan ‘kriminalisasi demokrasi’. Amat 
keliru jika rezim ini yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu hanya 
sebatas menyelenggarakan pemilu tepat waktu. Seperti kegelisahan faktual saat 
ini. 
Tentu saja pemahaman semacam ini juga sangat dangkal. Kita sebenarnya 
berhadapan dengan kebutuhan menjatuhkan pilihan yang paling benar untuk masa 
depan generasi keindonesiaan yang lebih baik ketimbang generasi Mbak Mega, Pak 
Susilo, Pak Jusuf Kalla, Wiranto, atau siapa pun ‘orang tua’ yang merasa mampu 
memimpin Indonesia lima tahun ke depan. 
Pemilu yang kedodoran akan memunculkan kekuasaan yang semena-mena terhadap 
kepentingan rakyat. Para wakil rakyat hanya berkutat dengan urusan famili dan 
konco politik. Tak ada keberhasilan selain pukulan mematikan terhadap fondasi 
kebangsaan dan kenegaraan. Instrumen-instrumen politik kekuasaan melakukan 
kekerasan masif dengan modal kekuasaan yang ada di tangan mereka. 
Terpampang ketidaksesuaian antara misi politik dan perilaku koruptif para 
penguasa. Kekuatan-kekuatan poli- tik lama yang kembali menawarkan dagangan 
politik kepada rakyat. Itulah sesungguhnya ke kerasan politik yang dilancarkan 
secara tidak langsung kepada rakyat. 
Kekerasan yang tidak pernah dibicarakan dan ditangani se cara serius pada 
tingkat kebijakan politik telah melukai tubuh bangsa ini. Peter Morral dalam 
buku Murder and Society (2006) menegaskan betapa obsesi pada kekerasan telah 
menenggelamkan suatu komunitas politik pada kehancuran. Negara yang membiarkan 
penindasan politik kelas korporat pada rakyat yang tidak berdaya adalah salah 
satu simbolisme kekerasan paling sempurna dan menakutkan.

 
Benalu Pada banyak negara yang serius mengaitkan masa depan dengan logika 
demokrasi, terdapat sedikit kekuatan politik dominan yang amat menentukan arus 
kemajuan negara. Mereka dapat mempertanggungjawabkan dengan sangat baik bahwa 
dominasi di ruang politik selalu koheren keberanian menghadirkan kemajuan dan 
kemakmuran. Maturitas politik yang ditampilkan kekuatan politik mewujud dalam 
intensi untuk menggeluti dan memperjuangkan kebutuhan publik. 
Yang menjadi persoalan pelik di Indonesia adalah ‘sirkulasi’ politik yang 
menjemukan. Bahkan, kekuatan politik yang pernah gagal mengamankan visi 
keindonesiaan tetap mendapatkan tempat signi?kan dalam percaturan politik. Hal 
ini menjadi masalah demokrasi. Ada ruang partisipasi yang luas dan merdeka 
untuk semua kekuatan politik. Namun, demokrasi belum memiliki mekanisme yang 
kuat untuk menahan kiprah kekuatan politik yang gagal tadi. 
Bahkan mereka memiliki kekuatan yang diperlukan untuk menyusun strategi me 
menangkan pertarungan di tengah kehidupan politik ‘abnormal’ seperti se karang 
ini. Ketidak siapan KPU mengurus pemilu yang akan da tang hanya memberikan 
peluang kepada kekuatan politik yang mempunyai fasilitas dan kemampuan untuk 
‘bermain’ dalam keadaan apa pun. 
Ketiadaan mekanisme ‘?lter’ semacam itu telah menjadikan demokrasi sekadar 
‘batu loncatan’ dari semua politikus penuh kebusukan untuk tetap bertahan dan 
menancapkan kerakusan mereka. Sementara itu, demokrasi tidak cukup memberikan 
perlindungan dan dukungan bagi kekuatan politik baru yang prokepentingan 
rakyat. Para penjahat politik akan terus tumbuh menjadi ‘benalu’ yang menghisap 
rakus dari tumbuh keindonesiaan. 
Topeng Kita menyentuh persoalan krusial lainnya. Pengkristalan substansi 
sebagai calon presiden (capres) 2009, sudah semakin jelas, yaitu perang 
popularitas! Kita tidak sedang mendiskusikan kualitas, bobot, dan integritas 
capres, melainkan meriuhkan dan membisingkan aspek kemeriahan seorang capres di 
mata rakyat. Tidak perlu lagi mendiskusikan soal perang survei yang terus 
menderas mengalir menuju hari pemilu.

 
Tentu ada masalah-masalah serius yang berada di balik politik popularitas itu. 
Ada banyak hal disembunyikan! Kebusukan dan kepongahan dipadukan untuk 
menumbuhkan ‘kekebalan’ pada kritik dan suara derita rakyat.. 
Yang lebih bermasalah adalah, calon pemimpin yang menggantungkan pencapaian 
kekuasaan berdasarkan popularitas cenderung terjerembab pada ‘kemalasan 
politik’ mengabdikan kekuasaan pada kepentingan rakyat. Popularitas arti?sial 
menjadi ‘topeng’ yang menyembunyikan ketidakberdayaan seorang pemimpin dan 
calon pemimpin. Beberapa saat menjelang pemilu banyak ‘topeng’ yang terpampang 
di etalase politik nasional! Sungguh celaka jika pada akhirnya rakyat hanya 
mendapatkan ‘topeng’ yang memurukkan nasib bangsa ini. 
Ranjau Para penguasa yang mendapatkan hak politik dari rakyat telah 
‘membelanjakan’ dukungan rakyat seenak selera mereka sendiri. Kultur kehidupan 
yang tidak mengekspresikan penderitaan rakyat sesungguhnya merupakan seben tuk 
pengangkangan terhadap demokrasi. Mereka yang menduduki kursi kekuasaan secara 
tegas melakukan kejahatan saat tidak mampu menghirup aroma kemiskinan dan 
kepedihan rakyat. Para penguasa yang datang dari penderitaan rakyat tidak lagi 
memiliki hubungan politik dengan rakyat. Penguasa yang melupakan rakyat 
merupakan deskripsi lahirnya tragedi demokrasi. 
Ada beberapa persoalan mendasar yang telah menyebabkan bangsa ini terkurung 
dalam kebusukan sosial politik. Pertama, disparitas sosial. Politik pembangunan 
telah memisahkan dengan kejam kelompok kaya dan miskin. Yang pertama selalu 
memiliki banyak alasan untuk tetap bertahan pada situasi krisis. Mereka 
mendapatkan pengakuan dan perlindungan politik hukum yang memadai. Sementara 
itu, kelompok kedua mempresentasikan keterpurukan yang lengkap. Mereka tidak 
memiliki jaminan sosial, ekonomi, dan hukum. 
Kedua, eksklusi sosial. Perbedaan yang tidak terdamaikan antara dua kelompok 
sosial ekonomi itu telah menyediakan proses penggusuran komunitas minoritas 
dari kancah kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Ada yang dilemparkan ke 
pinggir arena pertarungan.

 
Ketiga, destruksi sosial. Pola penghancuran sosial mencuat pada aksi-aksi 
kejahatan dan intimidasi yang dihadapi kelompok-kelompok kecil di tengah 
masyarakat. Pembatasanpembatasan sosial politik yang terjadi sampai sejauh ini 
menjadi akar dari semua kejahatan dan kehancuran rakyat. 
Hewellyn H Rockwell (2003) menyebut kondisi ini dengan istilah sinful state.. 
Negara yang menelantarkan hak-hak rakyat adalah bangunan politik kekuasaan yang 
berlumuran ‘dosa’. Koridor sosial politik yang digenangi ‘darah’ akibat 
kekejaman yang berlangsung dengan aman karena kesadaran publik tersandera 
propaganda ‘popularitas’.. 
Demokrasi akan berubah menjadi ‘mimpi buruk’ masa depan Indonesia, manakala 
pemilu tahun ini isinya cuma para pemain politik yang tidak layak untuk 
bertanding. Namun, kontradiksi demokrasi ada pada titik ini. Demokrasi 
membiarkan para pecundang tersebut berkeliaran sembari meraup 
keuntungan-keuntungan untuk menebalkan pundi-pundi mereka. 
Sementara itu, yang dibutuhkan adalah politikus negarawan yang menjadikan 
kepentingan rakyat melampaui kemapanan pribadi dan kelompok politik. Tragisnya, 
kita masih sebatas meributkan ‘tanggal’ yang tepat untuk pemilihan presiden! 
Menggelikan. Namun kenyataannya berbicara begitu! Demokrasi yang tidak 
membangun kultur ‘kenegarawanan’ akan berubah menjadi ‘ranjau’ yang 
menghancurkan bangsa ini. 
 
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/02/03/ArticleHtmls/03_02_2009_021_002.shtml?Mode=1


 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
 
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke