http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/00343997/revolusi.pengetahuan.kemiskinan.dan.politik

Jumat, 27 Februari 2009 | 00:34 WIB 


Revolusi Pengetahuan, Kemiskinan, dan Politik
ARY MOCHTAR PEDJU



"Deng Xiao Ping and his allies identified technological progress as key to 
modernization, a ticket to military power and to economic growth and 
prosperity" (Oded Shenkar, The Chinese Century, Wharton School Publishing, 
2006).

Tulisan "Iptek, Politik, dan Politisi" (Ninok Leksono, Kompas, 25/2) amat 
mengena bila diperhatikan program-program dan iklan parpol/politisi di TV dan 
media lain yang tak pernah menyinggung topik iptek. Acara-acara itu mengesankan 
ilmu pengetahuan dan teknologi tak terkait masalah-masalah kemiskinan, ledakan 
penduduk, kesehatan, energi, lingkungan yang rusak, pemanasan bumi, jender, 
bahkan politik!

Tidakkah sebaiknya para caleg dan capres bersama pimpinan parpol bercita-cita 
lebih besar dan menjadikan tahun ini awal penciptaan piramida peradaban dan 
etika baru bangsa demi kehidupan yang bermartabat?

Kurva Maddison

Penelitian sejarawan ekonomi Angus Maddison menghasilkan dua kurva (2001), 
tentang "Kemakmuran" manusia serta pertumbuhan penduduk dunia sepanjang 2000 
tahun, mencerahkan.

Dari kurva pertama ternyata hampir sepanjang 20 abad, rata-rata manusia sedunia 
miskin, termasuk orang Eropa. Menjelang abad ke-19, barulah kurva GDP per 
kapita dunia rata-rata mulai menggeliat ke atas setelah terus mendatar dalam 
arti miskin, yakni kurang dari 1.000 dollar AS hingga sekitar 6.000 dollar AS 
tahun 2000 (lihat Tabel). Namun, dari 6.000 dollar AS rata-rata dunia ini, 
kontribusi terbesar adalah dari Eropa. Rata-rata Eropa sekitar 20.000 dollar AS.

Revolusi pengetahuan

Sejarah perkembangan pengetahuan Eropa sejak akhir periode Renaisans 
menunjukkan, interaksi dari berbagai cabang ilmu yang terjalin dalam sistem 
yang kompleks dengan perkembangan sosial dan budaya telah menyebabkan reaksi 
berantai yang saling mendorong maju.

Namun, banyak ilmuwan sepakat, revolusi sains (Principia Mathematica-nya 
Newton) abad ke-18, revolusi industri (diawali James Watt penemu mesin uap) 
abad ke-19, dan revolusi teknologi (dengan berbagai temuan baru) pada abad 
ke-20, adalah penyebab perubahan drastis kurva Maddison (terjadinya ketiga 
revolusi dalam sejarah ditandai tiga bulatan hitam dalam Tabel).

Hasil inovasi teknologi baru ini antara lain baterai listrik, telegraf, 
telepon, lampu Edison akhir abad ke-19, serta mobil, pesawat terbang, TV, 
komputer, dan material baru pada abad ke-20.

Revolusi teknologi yang berciri kecepatan tinggi dan ketepatan tinggi inilah 
yang mengefisienkan seluruh sistem ekonomi, sejak tahap input berupa pengadaan 
keahlian dan bahan baku, lalu tahap pemrosesan produk barang dan jasa, serta 
distribusi output-nya pada konsumen. Gerak orang dan barang dari satu tempat ke 
tempat lain untuk kepentingan perdagangan serta perpindahan uang mengalami 
kecepatan yang belum pernah dialami manusia. Lahirlah revolusi keempat, 
revolusi ekonomi, sambil revolusi teknologi terus berlangsung.

Kemiskinan

Selain kurva ekonomi itu, Maddison menghasilkan kurva kedua, yakni pertumbuhan 
penduduk dunia yang bentuknya menarik karena hampir identik dengan kurva 
pertama. Dengan menggunakan kurva yang sama (lihat Tabel), ternyata sepanjang 
1.800 tahun jumlah penduduk dunia kurang dari 1.000 juta. Baru pada abad ke-19, 
kurva ini mulai melejit naik mencapai lebih dari 6.000 juta jiwa tahun 2000. 
Sesudah revolusi sains, industri, dan teknologi (iptek), ternyata jumlah 
penduduk dunia tumbuh secara fantastis.

Namun, dari 6.000 juta penduduk dunia, 85 persen adalah kontribusi dari 
penduduk miskin yang masyarakatnya-meminjam istilah Jeffrey Sachs-hanya menjadi 
technological adaptors (50 persen) dan technologically excluded (35 persen). 
Pertumbuhan penduduk masyarakat cerdas terkendali, sedangkan pertumbuhan 
penduduk yang tersisih karena penguasaan teknologi yang rendah sulit 
dikendalikan. Dari peta teknologi dunia (Sachs, 2002) terbukti di wilayah ini 
pula masyarakat miskin hidup berdesakan dalam kondisi kesehatan yang rendah.

Dengan informasi yang mengaitkan iptek, kemiskinan, kependudukan, dan ekonomi, 
kita bertanya bagaimana dengan bangsa Indonesia.

Sejarah kontemporer mengajarkan, kunci keberhasilan bangsa-bangsa Timur-India 
dan China-yang keduanya miskin, tegas memilih technology based development. 
Dengan usaha luar biasa dalam menguasai dan mengembangkan iptek, mereka 
berhasil menghapus "kemiskinan absolut" dalam waktu singkat dalam jumlah tak 
terbayangkan. Sejak 1990, India membebaskan 200 juta rakyatnya dari kemiskinan, 
sedangkan China membebaskan 300 juta orang (Sachs, 2005)!

India mengembangkan teknologi elektronika-mikro, komputer dan komunikasi, yang 
lazim disebut teknologi informasi. Teknologi ini amat ampuh sehingga selama 
belasan tahun India tidak perlu membangun prasarana yang amat mahal pada awal 
pembangunan ekonominya. India mengekspor jasa (consulting) teknologi tinggi via 
satelit ke negara maju.

Dengan teknologi, India memindahkan banyak jasa keahlian profesional (di 
kantor, rumah sakit, sekolah, restoran, berbagai perusahaan) dari negara maju 
ke India, dengan waktu produksi yang sama (real time).

Sedangkan China selain mengutamakan iptek, mereka juga menciptakan konstruksi 
sosial baru yang mendukung percepatan penguasaan iptek dengan kekuatan hukum 
dan organisasi masyarakat. China menuntut keterbukaan iptek dalam setiap 
investasi asing untuk kepentingan alih teknologi (Shenkar). Partai politik dan 
Pemerintah China berperan besar dalam pembentukan budaya saintifik. Krisis 
keuangan global tentu berpengaruh pada kedua negara timur ini, tetapi peran 
teknologi, seperti filsafat Deng Xiao Ping pada awal tulisan ini tidak akan 
berubah banyak.

Belajar dari Barat, India dan China mengutamakan "mencerdaskan kehidupan 
bangsa". Indonesia dapat membuat terobosan baru, memanfaatkan momentum politik 
tahun ini.

Ary Mochtar Pedju Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI); Anggota 
Dewan Pakar Persatuan Insinyur Indonesia; Ketua Dewan Encona Inti Industri; 
Alumnus ITB dan MIT AS

Kirim email ke