http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/0036165/pluralisme.agama.dan.kebaikan.bersama

Jumat, 27 Februari 2009 | 00:36 WIB 


Pluralisme Agama dan "Kebaikan Bersama"
Benyamin F Intan



Pluralisme adalah kenyataan sekaligus persoalan. Bagaimana caranya keberagaman 
agama membawa kemaslahatan dan bukan menjadi persoalan bangsa?

Pertanyaan itu ditujukan kepada saya saat menjadi narasumber diskusi CSIS, 
merayakan HUT ke-75 Harry Tjan Silalahi (13/2/2009).

Pertanyaan itu juga relevan, mengingat kebebasan beragama di Tanah Air kian 
tidak kondusif. Dalam refleksi awal 2009, "Merajut Ulang Keiindonesiaan", 
Syafii Anwar dari ICIP melaporkan, angka kekerasan kebebasan berkeyakinan tahun 
2008 naik 100 persen menjadi 360 pelanggaran.

SETARA Institute mencatat, dari 367 pelanggaran kebebasan beragama tahun 2008, 
88 adalah tindak kriminal warga dan 91 berupa intoleransi individu. Penghargaan 
terhadap realitas pluralisme menipis. Hal ini patut disesalkan, mengingat 
pluralisme suatu keniscayaan menghadirkan negara demokratis.

Salah kaprah

Penolakan terhadap pluralisme agama sering disebabkan kesalahpahaman atas 
konsep pluralisme. Pluralisme dipahami seolah sama dengan relativisme yang 
menganggap semua agama sama. Pola pikir pluralisme indiferen ini tidak 
menghargai keunikan beragama. Aspek keagamaan hakiki seperti kepercayaan 
religius yang membedakan agama satu dari yang lain tidak diperlakukan secara 
wajar. Hans Kung menyebutnya pluralisme "murahan" tanpa diferensiasi dan tanpa 
identitas. Melaluinya, agama-agama dinisbikan, mengarah pada sinkretisme agama.

Beda dari indiferen, pluralisme nonindiferen mengakui dan menghargai 
keberagaman agama. Pola pikir ini menganggap serius aneka perbedaan antaragama. 
Paradigma ini menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi meleburkan 
satu agama dengan agama lain.

Seorang pluralis tidak harus menganut pluralisme indiferen. Penganut pluralisme 
indiferen pasti pluralis, tetapi pluralis belum tentu penganut pluralisme 
indiferen. Sebaliknya, menolak pluralisme indiferen tidak harus dicap 
antipluralis. Sejauh menganut pluralisme nonindiferen, orang itu pluralis. 
Namun, jika pluralisme nonindiferen ini pun ditolak, orang itu antipluralis.

Komunitas merdeka

Umum mengetahui, penolakan pluralisme nonindiferen, ketidaksanggupan menerima 
kehadiran "yang lain", menjadi pemicu utama konflik agama. Di sini masalah 
keberagaman diselesaikan dengan "hukum rimba" melalui prinsip live and let die. 
Perbedaan dihilangkan dengan membidik hak hidup "yang lain", yang lemah dipaksa 
menuruti kehendak yang kuat.

Kebebasan menjadi barang mahal, terenggut arogansi dan dominasi pihak kuat. 
Dalam kondisi itu, "komunitas merdeka" (community of freedom) menjadi prasyarat 
hadirnya pluralisme agama. Paradigma komunitas merdeka menjamin kebebasan agama 
pertama-tama dalam bentuk "imunitas negatif" (negative immunity), di mana agama 
hidup damai melalui sikap live and let live (David Hollenbach, The Global Face 
of Public Faith, 142).

Dalam pola demikian, perbedaan diterima dengan terpaksa. Ada toleransi, tetapi 
amat minim. Penerimaan satu sama lain belum sepenuh hati, genuinitasnya 
diragukan. Ada hidup bersama, tetapi tak ada kebersamaan. Ada sapaan, tapi tak 
ada interaksi.

Sikap hidup seperti ini tidak cukup. Hidup bersama bukan hanya sosial dan 
praktis, tetapi juga harus secara "teologis". Toleransi bukan sekadar menerima 
kebera- gaman, tetapi bagaimana agar keberagaman membawa manfaat.

Dengan demikian, komunitas merdeka juga harus mencakup "imunitas positif" 
(positive immunity), di mana agama bebas memengaruhi kehidupan publik dengan 
nilai-nilai universal yang diyakini (David Hollenbach, The Global Face of 
Public Faith, 143).

"Kebaikan bersama"

Peran publik agama harus dilakukan bersama dalam dialog membentuk "kebaikan 
bersama" (common good). Dari tiap kelompok agama diperlukan "kebajikan agung" 
(very great virtues), mencakup semangat kerja sama (spirit of cooperation), 
adil (fair-mindedness), kebernalaran (reasonableness), dan toleransi (John 
Rawls, Overlapping Consensus, 17). Selain itu, dibutuhkan good will 
memaslahatkan bangsa.

Konsepsi "kebaikan bersama" yang dihasilkan bukan pendapat mayoritas atau 
sekadar titik temu argumentasi populer. "Kebaikan bersama" dicapai saat 
"doktrin solid" (doctrine solidifies) dan ada konsensus (John Courtney Murray, 
We Hold These Truths, 105). Itu berarti "kebaikan bersama" bukan "jumlah 
keseluruhan" (the sum), tetapi "kesatuan" (the unity) dari partial goods. Meski 
kesatuan dari partial goods, "kebaikan bersama" harus berjiwa pluralis 
(pluralist in structure) (John Courtney Murray, The Problem of State Religion, 
158).

Artinya, "kebaikan bersama" harus menjiwai spirit Pancasila, Bhinneka Tunggal 
Ika. "Kebaikan bersama" berbeda dari partial good tiap kelompok agama, tetapi 
tidak boleh bertentangan dengan kepercayaan dan ajaran tiap kelompok. Syarat 
minimal "kebaikan bersama". Karena itu, menurut Franz Magnis-Suseno, harus bisa 
dijamin hak-hak kelompok minoritas.

Singkatnya, melalui prinsip "kebaikan bersama", jauh dari petaka bangsa, 
kehadiran pluralisme agama justru menjadi agen memaslahatkan bangsa.

Benyamin F Intan Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion and Society

Kirim email ke