Mg Prapaskah IV: 2Taw 36:14-16.19-23; Ef 2:4-10; Yoh 3:14-21 "Barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak"
"Sepandai-pandai tupai meloncat akhirnya jatuh juga", demikian kata sebuah pepatah. "Sluman-slumun slamet" (=Diam-diam selamat), itulah pepatah Jawa. Diam-diam selamat ini pada umumnya dilakukan oleh para penjahat, yang memang untuk sementara selamat tetapi akhirnya pada suatu saat ketahuan juga kejahatannya. Hari-hari atau akhir-akhir ini boleh dikatakan KPK gencar menangkap para koruptor, yang nota bene adalah mereka yang seharusnya menjadi panutan hidup masyarakat. Ada orang yang mengatakan bahwa KPK sungguh hebat dan cerdik dalam menangkap para koruptor, tetapi juga ada yang mengatakan bahwa hal itu merupakan `sandiwara politik', dimana ada orang yang merasa kurang diuntungkan kemudian melaporkan orang yang tidak menguntungkan tersebut ke KPK. Rasanya aneka macam bentuk perbuatan jahat di Negara kita ini masih marak dan dilaksanakan diam-diam, entah di tingkat tinggi/pejabat maupun kalangan rakyat. Di dalam keluarga pun rasanya juga terjadi perbuatan jahat yang dilakukan oleh anggota keluarga secara diam-diam. "Barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah." (Yoh 20-21) Sabda Yesus di atas ini kiranya baik menjadi permenungan atau refleksi kita, maka marilah kita mawas diri: apakah kita memiliki kecenderungan atau kebiasaan `berbuat jahat' atau `melakukan yang benar': "Barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu". Para penjahat pada umumnya beraksi dalam kesepian atau kegelapan atau dalam kesemrawutan lingkungan dan suasana, seperti terjadi di tempat keramain di pasar, tempat/arena pertunjukan aneka seni, kemacetan lalu lintas, dst.. Mereka berusaha untuk tidak dapat dikenali oleh orang lain, dan ketika salah satu anggota mereka tertangkap atau membahayakan mereka, maka dengan gelap berusaha menghabisi orang yang bersangkutan. Mereka sungguh membenci terang dan dengan demikian semakin menjauhkan atau mengasngkan diri dari kehidupan bersama. Bukankah dengan demikian sebenarnya para penjahat tidak dihukum sudah terhukum dengan sendirinya, antara lain dirinya merasa terancam terus menerus, hidup tidak damai dan tidak tenang. Semakin berbuat jahat semakin menyendiri atau mengasingkan diri. Maka dengan ini kami mengajak dan mengingatkan kita semua: marilah bertobat dengan meninggalkan aneka perbuatan jahat sekecil apapun. "Barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah". Dari kedalaman lubuk hati kita kiranya kita semua berkehendak untuk melakukan apa yang benar dan baik, namun dalam kenyataan sering apa yang kita lakukan tidak benar atau tidak baik. Hal itu terjadi karena keterbatasan dan kekerdilan pribadi kita, maka jika kita berkehendak untuk melakukan apa yang benar, baiklah sebelum kita lakukan dengan rendah hati kita komunikasikan kepada sesama atau saudara-saudari kita, untuk dimintakan pertimbangan, koreksi atau penyempurnaan. Mengatakan apa yang benar atau baik kepada orang lain antara lain berarti memuji, memuliakan dan memberkati orang lain, sedangkan melakukan apa yang benar atau baik kepada orang lain berarti menguntungkan, memelihara dan memberikan anugerah kepada yang lain. Maka melakukan yang benar atau berbuat `dalam Allah' berarti memuji, memuliakan, memberkati, menguntungkan dan memelihara yang lain. Bukankah untuk melakukan hal itu pada umumnya dilakukan dalam terang atau secara terbuka, transparan? Bukankah dengan melakukan apa yang benar atau baik kita sendiri semakin bahagia dan damai dan semakin dikasihi oleh banyak orang maupun Tuhan, semakin banyak sahabat atau teman? Maka marilah sebagai warganegara Indonesia kita amalkan bersama sila kelima dari Pancasila: "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia". "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya." (Ef 2:8-10) Jika kita melakukan apa yang benar atau baik, hendaknya tidak memegahkan diri atau sombong, melainkan tetap atau semakin rendah hati, karena "itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu". "Rendah hati adalah sikap dan perilaku tidak suka menonjolkan dan menomorsatukan diri, yaitu dengan menenggang perasaan orang lain. Meskipun pada kenyataannya lebih dari orang lain, ia dapat menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya. Ini dilakukan dalam perilaku yang penuh perhatian, mau mendengar dan mengakui eksistensi (kebenaran) orang lain, yang bahkan lebih rendah dari dirinya " Iman adalah kasih karunia Allah, maka hidup beriman berarti dijiwai oleh kasih karunia Allah, sehingga yang bersangkutan semakin hidup penuh syukur dan terima kasih, hidup di dalam dan bersama Yesus Kristus yang kita imani (khususnya yang beragama Kristen atau Katolik). Berterima kasih berarti telah menerima kasih, dan kita sering mengucapkan `terima kasih' ketika menerima sesuatu dari orang lain. Hidup dan segala sesuatu yang menyertai kita, atau kita miliki dan kuasai sampai ini adalah kasih karunia, maka orang sombong berarti tak tahu terima kasih alias tidak beriman. Sebagai perwujudan terima kasih kita diharapkan senantiasa melakukan pekerjaan baik dan benar. Dalam arti rendah hati di atas antara lain kita juga diminta untuk "mendengar dan mengakui eksistensi (kebenaran) orang lain, yang bahkan lebih rendah'. Dengan kata lain kita diajak untuk melihat ke bawah, menunduk, turun ke bawah. "Yen mlaku iku ndungkluk ojo ndlangak" = Jika berjalan hendaknya menunduk, jangan menengadah ke atas, demikian nasihat orang Jawa. Secara khusus mereka yang menjadi pemimpin di tingkat atau ranah apapun hendaknya menghayati kepemimpinan partisipatif, mendengarkan yang dipimpin. Sebaliknya mereka yang dipimpin selain mendengarkan nasihat atau arahan dari yang memimpin, hendaknya juga tidak takut menyampaikan harapan, keluh kesah dan keprihatinan yang dihadapi kepada yang memimpin. Dalam hidup dan kerja bersama kita dipanggil untuk menghayati dialog: dialog kehidupan, dialog kerja, dialog iman, saling mendengarkan dan menyuarakan alias bercakap-cakap. Untuk itu memang penting sering diadakan aneka bentuk pertemuan untuk bercakap-cakap satu sama lain. Ingatlah dan hayatilah bahwa dalam setiap pribadi/orang ada kebenaran atau kebaikan, dan untuk melihat dan mengakuinya kita harus bersikap `positive thinking'. Marilah kita renungkan kutipan ini : "TUHAN, Allah nenek moyang mereka, berulang-ulang mengirim pesan melalui utusan-utusan-Nya, karena Ia sayang kepada umat-Nya dan tempat kediaman-Nya" (2Taw 36:15). Kita semua adalah `umat dan tempat kediaman Allah', maka selayaknya kita saling menunduk atau rendah hati. "Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion. Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita. Sebab di sanalah orang-orang yang menawan kita meminta kepada kita memperdengarkan nyanyian, dan orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian sukacita: "Nyanyikanlah bagi kami nyanyian dari Sion!" (Mzm 137:1-3) Jakarta, 22 Maret 2009