Suatu ketika, seekor monyet yang sedang kehausan pergi ke
sebuah kolam untuk minum agar dahaganya hilang. Ketika dia hendak minum,
tiba-tiba perhatiannya terpusat pada seekor ikan mas koki yang berada di kolam
tersebut. Dia perhatikan dengan seksama ikan tersebut. Lalu pikirannya berkata,
"Kasihan sekali ikan tersebut, dia pasti butuh pertolongan."

 

Lalu monyet tersebut segera menghampiri ikan tersebut,
mengangkat dan meletakkannya di darat. Dan monyet itu kemudian berkata,
"Sekarang pasti kamu merasa lebih baik." Tak lama kemudian, ikan
tersebut mati. Sang monyet bingung terhadap hal ini. "Bukankah aku telah
menolongmu, bukankah kamu sekarang telah berada di tempat yang lebih baik, lalu
mengapa engkau mati?", tanya sang monyet kepada dirinya sendiri dalam hati.

 

Di tengah-tengah kita, banyak orang yang bertindak seperti
monyet tersebut, yang menganggap tindakannya mengangkat ikan tersebut ke darat
sebagai tindakan menolong dikarenakan dia melihat dari kacamatanya sendiri yang
tidak dapat berenang. Kondisi sang ikan yang megap-megap semakin menegaskan
dirinya bahwa sang ikan pasti butuh pertolongan, karena dia mengira ikan
tersebut pasti sedang kesulitan untuk bernafas.

 

Lalu pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan sang monyet
adalah salah? Bukankah niatnya adalah baik, yaitu ingin menolong sang ikan?
Jika salah, di manakah letak salahnya?

 

Niat sang monyet memang baik, namun itu tidaklah cukup untuk
memperoleh hasil yang baik. Yang salah dari monyet tersebut adalah dia tidak
memiliki ilmu untuk memahami hakikat bahwa ikan hidup di dalam air. Ini jugalah
yang mungkin terjadipada para pengambil kebijakan di negeri kita.

 

Ada
beberapa hal mengapa mereka tidak dapat melihat hakikat peristiwa. Yang pertama
adalah kebodohannya. Yang kedua adalah keegoannya. Untuk yang pertama dapat
diatasi dengan belajar. Namun sering kali, kekeliruan pengambilan kebijakan
tersebut disebabkan karena keegoannya, melihat peristiwa/persoalan tersebut
dari sudut pandangnya. Bahkan yang lebih celaka lagi, segala kebijakan yang
diambil dalam rangka untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Jika ini yang
terjadi berarti orang tersebut lebih buruk daripada monyet tersebut.

 

Jadi, niat baik saja tidaklah cukup, pahamilah hakikat
peristiwa.. Untuk itu, kita harus memperbanyak informasi dan pengetahuan,
menghilangkan terlebih dahulu asumsi-asumsi. Orang bijak pernah berkata,
"Memahami hakikat persoalan sama saja telah menyelesaikan separuh
persoalan tersebut."

 

Untuk memahami hakikat persoalan haruslah memiliki atau
menguasai ilmunya, yaitu filsafat dan tasawuf. Sehubungan dengan itu, Islamic
College Jakarta
membuka penerimaan mahasiswa baru jurusan Islamic Studies untuk tingkat S1 dan
jurusan Islamic Philosophy dan Islamic Mysticism untuk tingkat S2.

 

Pendaftaran dapat dilakukan mulai awal April 2009.

 

Untuk informasi lengkapnya dapat mengunjungi :

 

www.icas-indonesia.org

 

atau kunjungi :

 

Kampus Islamic College Jakarta

Plaza Pondok Indah III, Blok F5, Jln. T.B. Simatupang, Jakarta Selatan

 

atau hubungi :

 

Kampus Islamic College Jakarta

Telp. :  (021) 765
1534  u.p.  Mr. Max, 
Ms. Rintis,  Ms. Erliyanimanik

Contact Person : 
(021) 99174815,  32959478,  081385446785

 

atau kirimkan via e-mail :

 

icas.jaka...@yahoo.com,  i...@icas-indonesia.org 

 

 

 

Bergabung jugalah ke dalam facebook group
FALSAFATUNA !!!

 


      

Kirim email ke