http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=6364

2009-03-30 
Dualisme Pileg - Pilpres


Christianto Wibisono 



Pada zaman kejayaan Orde Baru, Oom Liem memberikan komentar jitu. "Dia tidak 
takut bahwa bisa atau akan ada gerakan ekstrem kanan, selama ABRI masih kompak. 
Yang dia takuti sangat berbahaya ialah bila ABRI sampai pecah." Dan kata-kata 
Oom Liem terbukti ketika pada 14 Mei 1998 rumahnya dibakar massa karena ABRI 
tidak kompak. Karena Wiranto bersaing dengan Prabowo, karena ABRI tidak 
kelihatan ketika anarki merajalela dan terbukti sebagian oknum ABRI terkait 
dengan aksi anarki. 

Tragedi Mei menjadi bumerang bagi siapa pun yang menjadi aktor intelektualnya, 
karena memang tidak ada lagi kekompakan di Cendana dan Cilangkap. Ketika 
aparatur negara, penjaga dan penjamin keamanan terkeping dalam klik-klik yang 
memang sengaja diadu-domba dan dipelihara oleh sang kaisar untuk mempertahankan 
posisi onmisbaar (tidak tergantikan oleh siapa pun), maka saat itu terjadi 
failed state, negara gagal dalam melindungi warganya yang dijarah, diperkosa, 
dan dibantai. 

Selama 64 tahun merdeka, Indonesia tidak sepi dari konfllik intra elite pada 
puncak kekuasaan yang menghalalkan segala cara, termasuk menculik dan membunuh 
lawan politik. Itu sebabnya, Bung Karno lebih suka ditawan Belanda daripada 
mengambil risiko mati di tangan lawan politik bangsa sendiri, seperti Tan 
Malaka. Seandainya Bung Karno "bergerilya" belum tentu dia tidak mengalami 
nasib seperti Amir Syarifudin, mantan Perdana Menteri Republik Indonesia, yang 
tewas ditembak dalam status pemberontak. Di Indonesia, tidak pernah ada 
political come back, kembalinya pemimpin setelah kalah dalam suatu pemilu. 
Sebab selama 53 tahun hanya dipimpin oleh dua presiden, dari 1945 -1998.

Perebutan kekuasaan antarelite biasanya dilakukan melalui parlemen pada periode 
15 tahun pertama, yang memakai sistem parlementer. Setelah dekrit kembali ke 
UUD 1945 pada 5 Juli 1959 dan Bung Karno membubarkan DPR, maka sistem otoriter 
dengan presiden yang cenderung menjadi diktator sangat berakar. Dengan 
manipulasi prosedur, Soeharto memakai pemilu bohongan yang sudah diatur 
hasilnya, karena tidak pernah boleh ada oposisi dan calon lawan politik muncul, 
kecuali direstui oleh Soeharto sebagai pajangan demokrasi. Karena itu, pemilu 
Orde Baru 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997, adalah pemilu yang direkayasa, 
yang hasilnya selalu memilih kembali Soeharto sebagai presiden pada Sidang Umum 
MPR tahun berikutnya. 

Diktator ternyata memang sulit digulingkan dari luar, dan akhirnya memang akan 
ada orang dalam, bekas loyalis penjilat yang kemudian berhianat, pola Brutus 
Ken Arok. Pada Maret 1998, Harmoko mengangkat Soeharto kembali, tapi Mei justru 
membanting Soeharto. Dan Habibie dengan gesit langsung hinggap di kursi 
presiden, membuat Soeharto tidak pernah memaafkan sampai akhir hayat diktator 
malang itu.


Rezim Tertutup

Dalam rezim tertutup, banyak pergolakan yang sulit diungkap, kecuali menunggu 
setelah pelakunya almarhum. Dalam alam reformasi, para pelaku politik berani 
dan tidak sungkan mengungkap konflik secara terbuka. Buku tentang tragedi Mei 
1998 dalam pelbagai versi oleh Habibie, Prabowo, Wiranto, Kivlan Zein, Sintong 
Panjaitan, dan Laporan TGPF muncul bagaikan jamur pada musim hujan. Setelah 
Soeharto lengser, maka ternyata rezim Orde Baru penuh dengan pertarungan intra 
elite yang tidak kalah serunya dari demo di jalanan terbuka. 

Konflik antara jenderal yang dekat dengan Soeharto diawali dengan penyingkiran 
jenderal-jenderal, seperti: Kemal Idris, HR Dharsono, dan Sarwo Edie oleh 
Alamsyah - Ali Moertopo.

Kemudian Alamsyah sendiri terlempar jadi dubes di Belanda, sedang Soemitro 
terpental karena Malari dan Ali Moertopo hanya bertahan satu periode jadi 
Menpen. Jenderal M Yusuf hanya jadi Menhankam/Pangab satu periode, sedang 
Wijoyo Suyono terhenti di Kaskopkamtib, karena Soeharto tidak suka ada jenderal 
Jawa yang potensial jadi capres pengganti. Sudomo jadi Pangkopkamtib, karena 
bukan jenderal Angkatan Darat. 

Semua upaya Soeharto adalah adu-domba antara jenderal supaya dia tetap bertahan 
di puncak. Benny Moerdani tidak suka Sudharmono jadi Wapres dan menggerakkan 
John Naro dari PPP untuk menantang dalam pemilihan wapres di SU MPR 1988. Ketua 
Fraksi ABRI di MPR 1993 mencalonkan Try Sutrisno jadi wapres, tanpa restu 
Soeharto yang marah besar, sehingga Hartas tidak jadi menteri seperti tradisi 
Kasospol pendahulunya. Tekad Soeharto untuk mengangkat Habibie tetap 
dilaksanakan 1998 dan kemudian Soeharto menyesal, karena Habibie menjadi Brutus 
terhadap dirinya sendiri. 

Pergolakan internal elite ABRI itu baru terungkap setelah para jenderal dan 
Soeharto lengser termasuk kiat Soeharto memecat Ibnu Sutowo, memusuhi Ali 
Sadikin, Letjen M Jasin, serta Jenderal Besar AH Nasution. Semuanya dibungkus 
dengan slogan persatuan dan kesatuan tentara, tapi elitenya penuh persaingan 
dan permusuhan sengit yang biasanya diledakkan dengan meminjam tangan pihak 
ketiga. Mungkin saja ada kepentingan politik sesaat, tapi kemudian tersesat 
jadi anarki dan menimbulkan korban rakyat jelata mulai dari Malari sampai 
penjarahan Mei 1998.

Rekam Jejak

Masa lalu ini tidak boleh terulang. Itulah sebabnya seruan PGI - KWI agar 
pemilih mewaspadai rekam jejak elite partai dan capres sebelum menjatuhkan 
pilihan pada 9 April. Elite yang bermental status quo telah membuat regulasi 
yang mengakibatkan rakyat terjebak pada dualisme dan kohabitasi "kumpul kebo" 
sistem presidensial dan parlementer. Calon independen tidak bisa muncul, partai 
dikuasai oligarki yang mewarisi pola kepemimpinan manunggal Soeharto. Partai 
bersifat kultus individu, pendiri, Pembina identik dengan partai, tidak mungkin 
muncul calon alternatif dari dalam struktur kepartaian. 

Ketua umum otomatis jadi capres, seperti ketua umum parpol dalam sistem 
parlementer yang otomatis menjadi perdana menteri. Padahal, dalam sistem 
presidensial dengan pemilihan langsung, mekanisme internal partai juga harus 
terbuka untuk memungkinkan aspirasi segar menguak dari hierarki partai. Obama 
muncul dari bawah mengalahkan para senior, karena tidak ada ketua umum partai 
yang memonopoli posisi capres sebagai prerogatifnya. Inilah amburadulnya 
"kumpul kebo" presidensial parlementer. 

Secara praktis pemilih Indonesia dihadapkan pada dilema ingin memilih capres 
yang secara individu popular (SBY), tapi kendaraan politiknya mirip "bemo". 
SBYmirip pembalap mobil Formula 1, tapi rakyat tidak sreg dengan partainya. 
Sementara Jusuf Kalla, dalam survei, tingkat elektabilitasnya rendah, tapi 
Golkar ibarat mobil balap klasik yang sudah menang terus-menerus dalam balap 
pemilu meskipun dulu secara monopoli.

Pemilu tinggal 10 hari lagi, jadi tidak mungkin lagi mengejar suatu formula 
duet yang bisa memantapkan para pemilih agar menjatuhkan suara kepada duet 
kepresidenan yang ideal. Seandainya saya adalah SBY maka saya tidak akan 
ragu-ragu untuk mengumumkan cawapres justru sebelum Pemilu legislatif 9 April. 
Sekaligus mentransformasikan Partai Demokrat untuk menjadi Forum Masyarakat 
Indonesia (Formasi) yang menampung 30 juta golongan putih agar tidak ragu 
memilih SBY. Secara individual SBY adalah capres terkuat dan tidak perlu 
politicking untuk terpilih kembali. 

Pada sarapan pagi di Washington DC, saya mengatakan bahwa sebagai presiden 
termin kedua harus berani meninggalkan legacy, yang akan tercatat kinerja prima 
dalam sejarah. 

Tidak perlu terlalu "takut dengan DPR yang tidak bersih" yang citranya 
terpuruk, tapi harus langsung terjun ke rakyat seperti Obama menjual idé 
APBN-nya langsung ke rakyat. DPR tidak bisa seenaknya lagi "membajak" dan 
"menyandera" eksekutif.


Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional

Kirim email ke