Refleksi: Apakah sudah habis ditangkap? Syukur alhamdullilah kalau masih ada, tetapi untuk berapa lama?
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0903/30/opi01.html Ke Mana Larinya Ikan Tuna Kita? Oleh Suhana Publikasi mutakhir dari Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) dan PBB tentang perikanan dunia - termasuk Indonesia - menambah keyakinan kepada penulis tentang tingginya praktik illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing di sini. Data FAO 2009 menunjukkan bahwa produksi ikan tuna nasional dalam kurun waktu 1989-2006 mengalami pertumbuhan sebesar 4,74 persen per tahun. Sementara itu, produksi ikan tuna nasional yang berasal dari impor dalam kurun waktu 1989-2007 mengalami pertumbuhan sebesar 1.799 persen per tahun. Alhasil, total produksi tuna nasional - sudah ditambah volume impor - pada tahun 2006 sebesar 575.087,85 ton. Data PBB 2009 menunjukkan bahwa volume ekspor ikan tuna nasional dalam kurun waktu 1989-2007 mengalami pertumbuhan sebesar 5,21 persen per tahun. Total volume ekspor ikan tuna tahun 2006 sebesar 35.459,96 ton. Artinya kalau dilihat dengan total produksi nasional, total ikan tuna yang diekspor tahun 2006 hanya sebesar 6,17 persennya saja. Dengan kata lain, data tersebut menunjukkan sekitar 93,83 persen produksi ikan tuna nasional belum terserap oleh pasar ekspor. Data kedua badan dunia itu menunjukkan bahwa total produksi ikan tuna nasional yang tidak diserap oleh pasar ekspor tersebut dalam kurun waktu 1989-2007 rata-rata mencapai 91,43 persen per tahun. Inilah yang menambah kecurigaan, karena dalam beberapa tahun terakhir, khususnya pascakenaikan harga BBM banyak perusahaan pengalengan tuna nasional yang kekurangan bahan baku. Padahal, kalau melihat data yang ada justru setiap tahun produksi bahan baku ikan tuna nasional sangat melimpah. Ke mana larinya produksi ikan tuna nasional? Bertumbangan Ketua Umum Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APII) pada Juni 2005 telah mendesak pemerintah untuk tidak lagi mengizinkan pembangunan industri pengalengan ikan tuna yang baru di Pulau Jawa, Bali, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara. Alasannya, industri sudah terlalu banyak, sementara suplai bahan baku sangat terbatas. Menurut catatan APII empat tahun lalu tersebar tujuh industri pengalengan ikan tuna di Jawa Timur. Kini empat unit tidak berproduksi lagi. Sulawesi Utara yang semula memiliki empat industri yang sama, sekarang tinggal dua. Itu pun setelah diambil alih investor dari Filipina. Di Bali juga tinggal satu unit, padahal sebelumnya ada dua industri pengalengan ikan tuna. Kalau kita lihat dari data potensi sumber daya ikan yang ada di wilayah perairan Indonesia khususnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sangat memungkinkan untuk berkembangnya industri pengalengan ikan tuna di Indonesia. Misalnya, menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan (2003), potensi sumber daya ikan pelagis besar ekonomis di wilayah Samudera Hindia yang dominan adalah Albakora yaitu sebesar 3.987.000 ton per tahun. Disusul oleh jenis ikan Tuna Sirip Biru (84.000 ton), Cakalang (21.000 ton), Tuna Mata Besar (13.000 ton) dan Madidihiang (10.000 ton). Besarnya potensi sumber daya ikan tersebut tersebar di seluruh wilayah Samudera Hindia. IUU fishing di perairan Indonesia merupakan masalah kronis yang sampai sekarang belum terselesaikan dengan baik dan dikhawatirkan akan mengancam perekonomian nasional dan kelestarian sumber daya ikan. Data FAO dan PBB menunjukkan tingginya praktik perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dan pencurian ikan (illegal fishing) di Indonesia. Maraknya IUU fishing di perairan Indonesia akan memperburuk ekonomi perikanan nasional. Enam parameternya. Pertama, kontribusi perikanan tangkap ke PDB. Aktivitas IUU fishing di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan laut ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional dan mendorong ke arah hilangnya sumber daya perikanan. Kedua, ketenagakerjaan. IUU fishing akan mengurangi potensi ketenagakerjaan nasional dalam sektor perikanan seperti perusahaan penangkapan ikan, pengolahan ikan dan sektor lainnya yang berhubungan. Perikanan Ilegal dan WOC Ketiga, pendapatan ekspor. Data FAO dan PBB tersebut menunjukkan setiap tahun ikan tuna yang tidak jelas keberadaannya mencapai 433.512,39 ton per tahun dengan nilai US$ 471.571,19. Keempat, pendapatan pelabuhan perikanan. IUU fishing akan merugikan tempat pendaratan ikan nasional (pelabuhan perikanan nasional) dan mengurangi nilai tambah. Hal ini karena kapal-kapal penangkapan ikan ilegal tersebut umumnya tidak mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan nasional. Kelima, pendapatan dari jasa dan pajak dari operasi yang sah. IUU fishing akan mengurangi sumber daya perikanan yang pada gilirannya akan mengurangi pendapatan dari perusahaan yang memiliki izin penangkapan yang sah. Keenam, multiplier effects. Langsung ataupun tidak dampak multiplier IUU Fishing ini mengena pada penangkapan ikan nasional. Ini karena aktivitas penangkapan ikan nasional akan terkurangi dengan hilangnya potensi akibat aktivitas IUU fishing. Dengan melihat hal di atas, hendaknya pemerintah saat ini merumuskan langkah-langlah komprehensif dalam menangani IUU fishing. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah, yaitu pertama, mempercepat revisi UU Perikanan yang saat ini sedang dipersiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Revisi UU tersebut hendaknya dapat dijadikan payung hukum dalam memberantas IUU fishing di perairan Indonesia. Kedua, peningkatan kesadaran dan kerja sama seluruh stakeholder perikanan dan kelautan nasional dalam memberantas praktik IUU fishing. Ini perlu dilakukan karena praktik IUU fishing selama ini banyak dilakukan oleh stakeholders perikanan itu sendiri, termasuk pemerintah dan pengusaha perikanan. Ketiga, peningkatan peran Indonesia dalam kerja sama pengelolaan perikanan regional. Diskusi terbatas Sinar Harapan (25/3/2009) mengamanatkan agar momentum World Ocean Conference (WOC) yang akan berlangsung pada Mei 2009 di Manado hendaknya dijadikan upaya pemerintah untuk mendesak negara-negara pelaku IUU fishing di perairan Indonesia untuk sama-sama memberantas praktik haram tersebut. Beberapa negara yang nelayannya sering melakukan aktivitas perikanan ilegal di perairan Indonesia adalah Thailand, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, China, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Myanmar. Dengan menerapkan kebijakan anti-IUU fishing secara regional, upaya pencurian ikan oleh kapal asing dapat ditekan serendah mungkin. Penulis adalah Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.