Seluk-beluk dan hiruk-pikuk Pemilu 2009 (3)




Berhubung dengan banyaknya persoalan-persoalan yang « rumit » dan
parah yang berkaitan dengan pemilu 2009, dan untuk memberi kesempatan
kepada banyak kalangan mengikuti sekedarnya perkembangan hal-hal itu,
maka website http://kontak.club.fr/index.htm menyajikan setiap hari
berbagai berita, tulisan atau analisa (pendapat) yang terbaru tentang
pemilu lesgislatif dan pemilu presiden 2009. Berita, tulisan, atau
komentar itu semuanya dikumpulkan di bawah judul “Seluk-beluk dan
hiruk-pikuk pemilu 2009”. Sebagian dari isi kumpulan itu akan
disiarkan juga melalui berbagai milis.



 ^^ ^^^



Kompas, 14 April 2009


Merayakan Kemenangan Golput 2009



Oleh M FADJROEL RACHMAN



Kinerja KPU yang tak profesional dan berubahnya sistem pendaftaran
calon pemilih menghasilkan daftar pemilih tetap busuk ”yang
mencurigakan”. Akibatnya, Pemilu 2009 mengalami cacat kepercayaan. DPT
mengalami penggelembungan dan penggembosan sekaligus.



Menggelembung karena penggandaan dan menggembos karena jutaan pemilih
tak terdaftar. Akibatnya, golput pun membengkak, baik karena yang
sengaja enggan memilih maupun karena terpaksa tidak bisa mencontreng.
Tidak mustahil angka golput untuk Pemilu Legislatif 2009 dapat
mencapai lebih dari 30 persen.



Artinya, golput mengalahkan Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P,
yang berdasarkan hitung cepat Lembaga Survei Indonesia diramalkan
meraih suara nasional masing-masing 20,29 persen, 14,77 persen, dan
14,28 persen. Bila perhitungan nasional memasukkan suara golput,
Partai Demokrat hanya meraih 14 persen dari penduduk berusia 17 tahun
ke atas, Partai Golkar dan PDI-P masing-masing cuma 10-an persen.
Jadi, golput secara de facto memenangi Pemilu Legislatif 2009.



Hak konstitusional



Golongan putih adalah hak konstitusional, hak memilih untuk tidak
memilih, yang dilindungi UUD 1945 Pasal 28E Ayat 2, Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan
sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Golput merupakan deklarasi
perlawanan dan perjuangan yang tecermin dari wajah ganda golput, yaitu
konfrontatif dan korektif. Melawan secara konfrontatif terjadi dalam
rezim fasis-militeristik Soeharto-Orde Baru, sedangkan melawan dengan
paduan korektif dan konfrontatif sekarang terjadi dalam ruang
demokrasi yang dikuasai kekuatan politik-ekonomi soehartois-orbais.



Golput murni—bukan yang terpaksa—adalah salah satu cara untuk melawan
ketidakadilan. Kakak beradik mahasiswa/i Hans Scholl dan Sophie Scholl
serta Profesor Kurt Huber dari Universitas Muenchen, Jerman, ketiganya
anggota kelompok Mawar Putih, mengatakan, ”Kami tak bisa dibungkam.”
Tidak bisa dibungkam oleh ketidakadilan, ketiganya dihukum mati,
tetapi hal ini memicu perlawanan terhadap rezim fasis-militeristik
Adolf Hitler.



Sejak 1955 hingga 2009, jumlah golput terus meningkat meski alasan
untuk golput berbeda. Bila golput dihitung dari pemilih yang tidak
datang dan suara tidak sah, tercatat 12,34 persen (1955), 6,67 persen
(1971), 8,40 persen (1977), 9,61 persen (1982), 8,39 persen (1987),
9,05 persen (1992), 10,07 persen (1997), 10,40 persen (1999), 23,34
persen (Pemilu Legislatif 2004), 23,47 persen (Pilpres 2004 putaran
I), 24,95 persen (Pilpres 2004 putaran II). Pada pilpres putaran II,
angka 24,95 persen setara dengan 37.985.424 pemilih. Sedangkan pada
Pemilu Legislatif 2009, bila jumlah golput sekitar 30 persen atau
dikalikan dengan DPT sesuai dengan Perppu No 1/2009 sebesar
171.265.442 jiwa, maka jumlah golput pada 2009 setara dengan
51.379.633 pemilih.



Memaksimalkan demokrasi



Pemilu Legislatif 2009 seolah berjalan mulus mewujudkan demokrasi
prosedural dan substantif yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar
seperti sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya. Namun, sulit untuk
mengharapkan parlemen yang dihasilkannya mampu menuntaskan kejahatan
HAM dan KKN Orba yang diamanatkan oleh MPR. Perubahan sangat terbatas,
apatisme warga akibat terampasnya hak-hak dasar demokrasi jutaan calon
pemilih dalam DPT tidak mustahil akan kian meningkatkan jumlah golput
murni pada Pilpres Juli 2009 dan Pemilu 2014.



Jika memang dapat dibuktikan bahwa ada ”persekutuan” antara KPU dan
pemerintah—dalam hal ini Departemen Dalam Negeri— untuk mengutak-atik
DPT Pemilu Legislatif 2009, koalisi pemerintahan mendatang yang
dipimpin oleh partai pemenang dapat dipertanyakan legitimasinya. Jika
menjadi kekuatan yang absolut, baik di eksekutif maupun legislatif,
dapat diperkirakan korupsi bakal dibiarkan (sekarang saja calon
anggota legislatif yang diduga korupsi menolak dipanggil KPK dan tetap
ikut pemilu), legislasi yang tidak melibatkan masyarakat, dan bermuara
pada tirani mayoritas. Tanpa adanya check and balances yang memadai di
parlemen karena lemahnya kubu oposisi, pemerintah akan semena-mena
mengemban mandat rakyat.



Pilihan bagi masyarakat pada tahun 2014 tinggal dua: memberikan
kesempatan kepada para caleg dan calon presiden muda dari kubu oposisi
atau memboikot sama sekali pemilu. Dengan demikian, demokrasi akan
berjalan lebih maksimal di Indonesia.



M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara
Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)


* * *

 Tempo Interaktif, 14 April 2009

Partai Prabowo Nobatkan Mega Sebagai Queen Maker

TEMPO Interaktif, Jakarta: Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra) Suhardi mengatakan, partainya akan mengusung Ketua Dewan
Pembina Prabowo Subianto sebagai calon presiden dan Puan Maharani dari
PDI Perjuangan sebagai calon wakilnya. Pasangan ini menjadi opsi
pertama sebagai pasangan calon yang diusung dalam koalisi bersama PDI
Perjuangan.

“Yang pertama sesuai dengan rapat pimpinan, yaitu mengusung Pak
Prabowo sebagai calon presiden. Calon wakil presidennya, Ibu Puan
Maharani,” kata Suhardi di sela pertemuan antara Prabowo dan Wiranto
di Sekretariat Pengurus Pusat Partai Hati Nurani Rakyat di Jakarta,
kemarin.

Dengan opsi ini, kata dia, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati
Soekarnoputri akan diposisikan sebagai ibu bangsa (queen maker).
“Posisinya sama dengan posisi Lee Kuan Yew di Singapura sebagai king
decision maker."

Opsi kedua, kata dia, Prabowo menjadi calon wakil presiden dan
Megawati tetap maju sebagai calon presiden. “Kalau ini sudah jelas
akan seperti apa nanti,” ujarnya. Namun, Gerindra masih belum
menyampaikan beberapa opsi tersebut kepada PDI Perjuangan. “Masih
menjadi pembicaraan di Gerindra saja, belum ke mana-mana,” kata
Suhardi.

Sementara itu, Megawati kemarin menyambangi Abdurrahman Wahid yang
sedang sakit di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pertemuan itu
berlangsung sekitar 15 menit. Menurut Megawati, pertemuannya untuk
mengundang Abdurrahman Wahid menghadiri pertemuan di rumahnya. "Dia
mau datang ke rumah besok," kata Megawati, yang didampingi suaminya,
Taufiq Kiemas, dan politikus PDI Perjuangan, Effendy Simbolon.
Megawati berencana bertemu dengan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar
Surya Paloh.



* * *





Bagi saudara yang pada pemilu legislatif lalu 'terpaksa' tidak bisa
menjalankan haknya u/memilih wakilnya silahkan turut serta mengajukan
gugatan ke bersama KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu), YLBHI,
PBHI dan beberapa organisasi lainnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Terima kasih.


Evi Douren


Pernyataan Sikap PBHI Jakarta



Negara Harus Bertanggung Jawab Atas Pelanggaran HAM

Dalam Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT)


Pelaksanaan pencontrengan pemilihan umum (pemilu) legislatif akhirnya
tuntas dilaksanakan kamis, (9/4).  Namun sungguh sangat disesalkan
pelaksanaan pemilu kali ini dinodai dengan berbagai persoalan yang
berujung pada pengabaian hak konstitusional warga negara, utamanya
dalam persoalan banyaknya warga yang memiliki hak untuk memilih namun
gagal melaksanakan haknya karena tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih
Tetap (DPT).

Data yang dilansir dari berbagai sumber menunjukkan begitu masifnya
pelanggaran seputar hak pilih warga.  Mengutip data yang yang
disampaikan oleh Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), pelanggaran
itu terjadi hampir di semua provinsi, kabupaten dan kota.  Data serupa
juga disampaikan oleh Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
yang melansir 40 persen persoalan Pemilu 2009 berkisar pada masalah
DPT.

Bagi Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jakarta,
begitu masifnya pemilih yang gagal melaksanakan haknya dalam pemilu
karena tidak terdaftar dalam DPT merupakan persoalan yang sangat
serius.  Terlanggarnya hak warga negara ini bukan saja mereduksi
legitimasi hasil pemilu, namun lebih dari itu kasus ini jelas
merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (ham).

Dalam konteks ham, pelanggaran hak memilih warga secara masif
merupakan pelanggaran dalam domain hak sipil dan politik.  Hak-hak
sipil dan politik adalah hak yang bersumber dari martabat dan melekat
pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh
negara agar menusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya dalam
bidang sipil dan politik.

Landasan yuridis bagi pemilih dalam pemilu sebenarnya sudah dijamin
dalam Undang-Undang 12 tahun 2005 menyangkut kovenan internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.  Pada pasal 25 UU tersebut
disebutkan: hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam
penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta
mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan
publik di negaranya.

Jelaslah merujuk pada pasal tersebut, banyaknya warga yang tidak bisa
berpartisipasi dalam pemilu lantaran tidak terdaftar DPT merupakan
bentuk pelanggaran ham serius yang dilakukan negara dalam domain hak
sipil politik.

Ketidakmampuan negara dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan KPU
sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penyediaan DPT merupakan
cerminan pengabaian Negara dalam perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak asasi manusia seperti diatur dalam Undang Undang No
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selain itu, dalam konteks hukum pidana, pengabaian ini juga mempunyai
konsukuensi hukum.  Pasalnya, dalam Undang-Undang 10 tahun 2008
tentang Pemilihan Umum, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada pasal 260
yang mengatur ketentuan pidana dalam UU itu disebutkan; Setiap orang
yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya,
dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama
24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp12.000.000, 00
(dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000, 00 (dua puluh
empat juta rupiah).

Merujuk pada ketentuan tersebut, jelaslah pelanggaran hak pilih warga
negara secara massif yang terjadi pada pemilu 2009, merupakan bentuk
tindak pidana yang dapat diganjar hukuman penjara.  Dengan kata lain
setiap warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT meski memiliki hak
konstitusional memilih, dapat mengajukan gugatan hukum terhadap
penyelengara Pemilu – Pemerintah dan KPU.

Berdasarkan uraian diatas, maka PBHI Jakarta perlu menyatakan sikap
sebagai berikut:

1. Negara harus bertanggung jawab atas pelanggaran ham yang terjadi
dalam kasus banyaknya warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dan
gagal melaksanakan hak pilihnya pada pemilu 2009.

2. Sebagai wujud tanggung jawab atas kisruh dalam kasus DPT, PBHI
Jakarta mendesak agar Menteri Dalam Negeri dan seluruh anggota KPU
Pusat mundur dari jabatannya

3. Sebagai konsukuensi atas mundurnya penanggung jawab penyelenggara
pemilu (Mendagri dan seluruh anggota KPU Pusat), PBHI Jakarta mendesak
agar Presiden dan Ketua serta pimpinan Fraksi DPR segera mengadakan
pertemuan guna membahas pergantian jajaran penyelenggara pemilu agar
pelaksanaan tahapan lanjutan pemilu legislatif dan Pilpres tidak
terganggu sehingga dapat terlaksana sesuai jadwal .

4. PBHI Jakarta mendukung segala upaya dari pihak manapun yang akan
melakukan langkah-langkah hukum terkait dengan kekisruhan dalam DPT.

5. PBHI Jakarta juga siap mendampingi secara hukum siapapun baik
individu/ kelompok yang ingin mengajukan gugatan hukum atas kekisruhan
yang terjadi seputar DPT.  Demikian pernyataan ini dibuat sebagai
bentuk keprihatinan kami atas terlanggarnya hak warga negara secara
massif dalam pemilu 2009.

Jakarta, 10 April 2009

Hendrik Sirait
Ketua BP. PBHI Jakarta



* * *

JAKARTA 14 APRIL 2009

PERTEMUAN DUA JENDERAL PASCA PEMILU 2009

Prabowo menemui Wiranto? Itulah salah satu berita panas yang terjadi
di Tanah Air pada Senin (13/4/2009). Pertemuan ini menarik untuk
disimak. Mengingat, kedua jenderal itu sebelumnya berseteru cukup lama
sekitar 11 tahun. Terutama, saat Jenderal Wiranto menjadi Panglima
ABRI/TNI dan Letnan Jenderal Prabowo menjadi Panglima Komando Cadangan
Strategis TNI-AD (Kostrad) pada 1998 lalu.

Sesungguhnya, kedua jenderal ini memiliki hubungan istimewa dengan
mantan presiden Soeharto (almarhum). Prabowo saat itu adalah menantu
Soeharto. Sedangkan, Wiranto sempat menjadi ajudan Soeharto selama
empat tahun.

Puncak perseteruan keduanya terjadi ketika Prabowo harus menelan pil
pahit diberhentikan dari dinas militer saat usianya masih 47 tahun.
Prabowo yang pada masanya dijuluki the rissing star, harus melepaskan
atribut militernya setelah Wiranto memutuskan Prabowo diduga bersalah
seperti usulan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang saat itu dipimpin
Kepala Staf TNI-AD Subagyo HS.

Kini, keduanya sama-sama sudah pensiun dari dinas militer. Wiranto
pernah memenangi konvensi presiden Partai Golkar pada 2004 lalu,
kemudian diusung Partai Golkar sebagai calon presiden pada pemilihan
presiden masa itu.

Namun, Wiranto yang berpasangan dengan Solahudin Wahid, hanya
menduduki posisi ketiga sehingga gagal maju dalam putaran kedua
pemilihan presiden (pilpres) saat itu. Seperti diketahui pada putaran
kedua, akhirnya pasangan SBY-JK mengalahkan presiden incumbent
Megawati Soekarnoputri yang berduet dengan Hasyim Muzadi.

Saat ini, Wiranto tidak lagi di Golkar. Ia telah menjadi Ketua Umum
Partai Hanura, partai yang digagasnya. Hal yang sama juga terjadi pada
Prabowo. Ia pernah kalah dalam konvensi presiden Partai Golkar pada
2004 lalu. Kini, ia menjadi ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.

Baik di Hanura maupun Gerindra, di jajaran elitenya menampilkan bekas
tokoh-tokoh militer. Sebut saja mantan KSAD Subagyo HS dan mantan
wakil panglima TNI Fahrul Razi di Hanura. Sedangkan di Gerindra, ada
mantan danjen Kopassus Muchdi PR dan mantan komandan Korps Marinir
Soeharto.

Sebagai pendatang baru, Gerindra dan Hanura, harus puas menduduki
urutan delapan dan sembilan, hasil hitungan sementara Pemilu oleh KPU
maupun quick count sejumlah lembaga survei. Dalam pertemuan itu,
keduanya sepakat membentuk sekretariat bersama (sekber) dengan 21
partai lainnya. Tujuannnya, membahas daftar pemilih tetap yang dinilai
berantakan.

Tak ada yang abadi dalam politik. Pertemuan Prabowo dan Wiranto
sekaligus membenarkan premis tersebut. Kini, keduanya sepakat bahkan
mungkin akan bergandengan tangan dalam pilpres Juli mendatang.

Kita tidak mempersoalkan pertemuan tersebut positif atau negatif bagi
bangsa ini. Namun, bersatunya kembali elite-elite politik, jangan
hanya sebatas untuk menggapai kekuasaan belaka. Apalagi dilakukan
dengan berbagai cara untuk meraihnya. Mereka pun tak bisa lagi
menggunakan cara-cara militer seperti ketika masa jayanya.

Para elite, termasuk bekas petinggi militer, itu harus menyadari bahwa
di atas kepentingan kekuasaan ada kepentingan yang lebih besar, yakni
kepentingan bangsa dan negara. Seperti tujuan berbangsa yang
diamanatkan UUD 45 adalah memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakat. Bisakah Prabowo dan Wiranto membawa amanat ini? Kita
tunggu saja.


WASSALAM

RACHMAD YULIADI NASIR
INDEPENDENT
pemerhati public & media
rbacakoran at yahoo dot com



* * *



Inilah Com, 14 April 2009



SBY dalam Dilema Legitimasi



Herdi Sahrasad





INILAH.COM, Jakarta – Bahkan, jika terpilih sebagai Presiden 2009-14
sekalipun, Susilo Bambang Yudhoyono bakal menghadapi dilema
tersendiri. Legitimasinya dipertanyakan menyusul daftar pemilih tetap
(DPT) yang amburadul. Bagaimana sikap SBY?



Banyak pihak menilai, Pemilu 2009 adalah yang terburuk sepanjang Orde
Reformasi. Penilaian itu tak hanya disuarakan analis, tapi juga para
politisi (yang kalah atau dikalahkan). DPT amburadul, KPU yang tidak
netral, hingga Baswaslu yang membiarkan pelanggaran.



Melihat buruknya sistem Pemilu, analis politik menilai Pemilihan
Presiden 2009 menghadapi problem legitimasi yang berat. Jika SBY
terpilih kembali sebagai presiden, dia masih menghadapi krisis
merosotnya kepercayaan publik (public trust) yang terus membayangi.



Budiarto Shambazy, dosen FISIP UI dan jurnalis senior Kompas sangat
khawatir dengan masalah legitimasi SBY jika terpilih kembali. Sebab,
secara moral, SBY juga harus bertanggung jawab terhadap Pemilu yang
buruk.



Dilema lainnya adalah jika kaum cendekiawan, tokoh agama dan
masyarakat mendorong SBY untuk tidak mencalonkan diri lagi, dianggap
tidaklah elok dan bijaksana. Namun jika membiarkan SBY maju lagi dan
menang, dia hampir pasti menghadapi problem legitimasi yang terus
membayangi pemerintahannya meskipun TNI dan Polri solid di
belakangnya.



Budi Shambazy mengingatkan persoalan yang sama juga terjadi di
Thailand. Angkatan Bersenjata Thailand solid, namun krisis legitimasi
telah mendorong perlawanan rakyat yang kecewa dan frustrasi dengan
pemilu curang. Mereka kemudian nekat demo dan menimbulkan huru-hara
yang menciptakan destabilisasi dalam negeri.



“Di negeri kita, angka golput yang melonjak tajam, pemilu buruk dan
penuh masalah, ditambah dengan perekonomian rakyat yang tak membaik,
merupakan kombinasi faktor-faktor yang bisa membuat Indonesia
mengalami krisis politik seperti Thailand,” kata Budi.



Para analis memprediksi, jika dalam 6-12 bulan pertama pemerintahan
kedua SBY ternyata perekonomian memburuk, hampir pasti ada ancaman
instabilitas. Demokrasi Indonesia sangat mungkin mengalami krisis
seperti Thailand. Berbagai gelombang protes dan huru-hara silih
berganti menimbulkan destabilisasi.



Berkaca pada Pemilu 2004 yang berhasil baik dengan cara menggunakan
DPT berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) yang relatif
independen, dalam pilpres nanti sebaiknya pemerintah dan KPU
menggunakan BPS kembali untuk menyusun perbaikan DPT. Namun itupun tak
bisa jadi jaminan bahwa soal legitimasi bisa dituntaskan. “Rakyat
sudah kadung kecewa, terutama para elite politik puluhan parpol yang
merasi kecurangan ini sistematis,” katanya.



DPT yang amburadul, tak pelak, adalah sumber kisruhnya Pemilu. DPT
yang kacau membuat banyak orang kehilangan haknya untuk memilih.
Padahal, penghilangan hak pilih rakyat secara sistematis, adalah
pelanggaran HAM. Kesemrawutan ini bisa saja menjadi aib di dunia
demokrasi internasional.



Itu pula yang memunculkan usulan agar DPT tak lagi bersumber dari data
kependudukan dari Departemen Dalam Negeri. DPT sebaiknya bersumber
dari data BPS. Atau, ada pula yang mengusulkan, pada Pilpres nanti,
pemilih cukup menunjukkan KTP saja.



“Mungkin saja bisa mengkombinasikan data BPS dan penggunaan KTP untuk
melakukan pemilu. Yang penting ada saling percaya, mutual trust di
kalangan elite politik yang bersaing agar masing-masing tokoh –baik
yang status quo maupun lawannya- bisa maju ke pilpres,” kata Umar S
Bakry, Direktur LSN. [I4]


-- 
**********************************
Memberitakan Informasi terupdate untuk Rekan Milist dari sumber terpercaya
http://reportermilist.multiply.com/
************************************


------------------------------------

Ingin bergabung di zamanku? Kirim email kosong ke: 
zamanku-subscr...@yahoogroups.com

Klik: http://zamanku.blogspot.comYahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/zamanku/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/zamanku/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:zamanku-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:zamanku-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    zamanku-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke