*Antara Politik, Keimananan dan Sex*

*Oleh Anand Krishna ,  *
*
http://www.thejakartapost.com/news/2009/05/19/between-politics-faith-and-sex.html
*

Sambil membaca Jakarta Post edisi Jum'at yg lalu, seorang teman yg sedang
berkunjung memberi komentar bahwa negara kita adalah negara yg lucu. Mungkin
dia sedang berusaha mengatakan sesuatu secara halus. Komentar dia muncul
setelah membaca artikel dimana Ketua PKS Tifatul Sembiring memberikan
pandangan nya tentang Gubernur BI Boediono sbg cawapres SBY di masa
kepemimpinan yg akan datang.


Artikel kedua yg sama "lucu" nya adalah tentang tututan kepada calon
presiden wanita untuk "ber-puasa sex" selama 10 hari.

Tifatul Sembiring tidak merasa nyaman dengan tingkat "keimanan" dari
Boediono, dan berkata, seperti di quote oleh Jakarta Post : "Boediono tidak
pernah berkotbah di hadapan khalayak Muslim."

Jadi walaupun Boediono secara teratur embahyang Jum'at di mesjid, Beliau
dianggap masih "kurang tingkat ke-muslim-an nya".


Yg lebih lucu lagi adalah, menurut Sembiring, para pendukungnya berpendapat
bahwa Boediono adalah seorang "nasionalis", dimana dianggap tidak layak
untuk me-wakil-i Islam.

Pertanyaan nya sekarang adalah: siapa yg dianggap layak untuk mewakili
Islam? Pertanyaan lain yg juga penting adalah: apakah seorang Muslim tidak
bisa menjadi nasionalis pada saat yg sama?

Yg juga sangat mengganggu saya adalah apakah kaum Kristen, Hindu ataupun
Budha mempunyai hak yg sama untuk menjadi seoarng calon wakil presiden dari
negara ini. Sedang menuju kemanakah negeri ini?


Mantan Pressiden PKS, Hidayat Nurwahid, yg sekarang adalah ketua MPR,
membuat pernyataan beberapa waktu yg lalu, bahwa dia menerima bbrp SMS, yg
mengatakan bahwa Hidayat adalah anti persatuan nasional (NKRI) dan anti
ideologi nasional yg berbasiskan Bhineka Tunggal Ika.

Hidayat menyanggah semua tuduhan-tuduhan ini. Saat nya sudah tiba bagi
Hidayat untuk menyatakan dengan jelas, apa pengertian Hidayat tentang
Bhineka Tunggal Ika sehubungan dgn kedudukan nya di dalam partainya.

Hidayat juga menolak untuk di-asosiasi-kan dengan Wahabi dan Saudi, dimana
menurut Hidayat bertentangan dengan partai politik. Bagaimana dengan
ideologi dari Wahabi itu sendiri? yg mana menempatkan "keseragaman" diatas
"keberagaman" (Bhineka Tunggal Ika)?


Yg menarik lagi adalah kebijaksanaan wilayah Depok untuk menutup sebuah
gereja, dan penolakan untuk memberikan ijin mendirikan gereja. Menariknya
wilayah Depok ini adalah di bawah kekuasaan partai nya Hidayat (PKS). Akan
menjadi sangat menarik untuk meminta pendapat dari Nurwahid tentang hal ini.

Ada berita lain yg berhubungan dengan "aktifitas sexual" dari Capres Wanita:
mungkin ketua IDI- Facmi Idris, sudah melakukan penelitian yg mendalam ttg
hal ini. Yg dilupakan untuk diungkapkan adalah apa alasan di balik hal ini.
Meng-quote harian Jakarta Post tentang hal ini: "tuntutan untuk kandidat
capres wanita untuk menghindari hubungan sex adalah untuk menghindari supaya
hasil medical check up nya tidak menjadi 'bias'"

Yg tidak di ungkapkan adalah apakah hasil yg 'bias' ini hanya berhunbungan
dengan kandidat wanita saja atau juga berlaku bagi kandidat pria juga.

Hasil penelitian terakhir di bidang kesehatan meng-indikasikan bahwa kaum
wanita mempunyai siklus haid, dimana kaum pria juga mengalami siklus yg
seruapa dengan simpton yg berbeda. Jika kaum wanita mendapat manapause, kaum
pria mendapatkan andropause.


Memang kaum wanita mempunyai kromosom xx, kaum pria tidak bisa mendapatkan
kromosom yy. Kamu pria mewarisi kromosom xx dari sisi ibunya. Kita tidak
sedang ner-dikusi tentang isu superioritas dari kaum pria thd kaum wanita
ataupun sebaliknya. Tapi mari kita bicarakan sisi lain tentang hal ini.


Di bagian dunia ini, kita tidak pernah men-atbu-kan sex. Kita telah
mempelajari tentang energi sexual. Peninggalan candi candi Sukuh dan Cetoh
di Jawa Tengah merupakan bukti tentang hal ini.


Energi Sexual jika tidak di salurkan untuk maksud maksud yg lebih tinggi,
untuk kreativitas dan inovasi misalnya, akan mencari jalan keluar nya
melalui hubungan sexual biasa ataupun masturbasi. Lagi pula, hasrat untuk
merebut suatu kedudukan, ataupun mempertaruhkan apapun demi mencapai suatu
kedudukan - adalah juga tanda dari terhambatnya - atau penyaluran yg salah
dari energi sexual.


Saya memiliki berbagai pertanyaan di benak saya; teman saya dari seberang
lautan juga mempunyai banyak pertanyaan di benaknya juga. Bagaimana dengan
anda? sebagai pembaca dari The Jakarta Post. Jika kita tidak mempertanyakan
hal hal seperti ini sekarang - mungkin esok hari sudah akan terlambat.


------------------------------------------------------------------
*Between politics, faith and sex*
*
http://www.thejakartapost.com/news/2009/05/19/between-politics-faith-and-sex.html

*Anand Krishna ,  Jakarta   |  Tue, 05/19/2009 10:00 AM  |  Opinion

While reading Friday’s Jakarta Post, a visiting friend remarked we were “a
funny” country. Perhaps he was trying to use a milder term for something
else. His remark came after reading an item concerning Prosperous Justice
Party (PKS) chairperson Tifatul Sembiring’s views on Bank of Indonesia’s
Governor, Boediono, as the running mate of Susilo Bambang Yudhoyono for his
next term in the office as president.

The second piece of news was about another equally “funny” article about the
requirement for a female presidential candidate to avoid having sex for ten
days.

Tifatul Sembiring is not very comfortable with Governor Boediono’s faith and
says, as quoted by this paper, “Boediono has never been seen speaking to
Muslim masses.”

So, although he regularly attends Friday prayers in the mosque, he is still
considered that not sufficiently Muslim”.

What is more “funny” is that according to Sembiring’s statement, his
constituents see Boediono as a nationalist, which is not a proper
representation of Islam.

The question is; what then is the proper representation of Islam? Another
more important question is; can Muslims be not nationalists at the same
time?

What equally bothers me is whether the Christians, or Hindus, or Buddhists
have any chance to be a vice president of this country. Where is this
country leading to?

The former president of Prosperous Justice Party, Hidayat Nurwahid, who now
chairs the People’s Consultative Assembly (MPR),  made a statement awhile
ago that he had received several SMSs saying that he was against national
unity (NKRI) and the national ideology based on the principle of Bhinneka
Tunggal Ika (Unity in Diversity).

Hidayat denied all these allegations. It is now high time that he makes it
clear what is his
understanding of Unity in Diversity in view of his party’s high commands
statement.

Hidayat also refused to be associated with Saudi wahabis, who according to
him were against political parties. What about the ideology of wahabis,
which places uniformity above Unity in Diversity?

Of much interest is also the reason the Depok regent decided to close down a
church, and to deny them a building permit. Interestingly, this regent
belongs to Hidayat’s party. It would be interesting to hear Hidayat to speak
on this subject.

There was another piece of news related to the sexual activities of female
presidential candidates; perhaps the Indonesian Doctors Association (IDI)
chairman, Fachmi Idris, has conducted extensive research on this subject.
What he forgot to disclose was a more understandable reason behind this.
To quote the Post on this subject, “the requirement for a female candidate
to avoid having sex is
to prevent the outcome of her medical check up from showing ‘biased’
results.”

What is not mentioned is whether the so-called “biased” results are only
related to females alone, or also to the males?

The latest findings in the field of medicine have indicated that as women
have their menstruation, men also experience a similar cycle with different
symptoms. As women have menopause, men too have andropause.

Indeed, women can have xx chromosomes, men cannot have yy. Men inherit the
xx chromosomes from their mothers. We are not discussing the issue of the
superiority of men over women or vice versa. But let us talk of some
sensibilities.

In this region of the world, we have never tabooed sex. We have made
intensive studies about sexual energies. The ruins of our campuses at Sukuh
and Cetoh at Central Java are proof of this.

Sexual energy when not channeled for higher purposes to make one more
creative and innovative, will only try to find its release through
intercourse and masturbation. By the way, the passion to hold on to a
position or to fight for a position at any cost – are also prompted by
unchannelled or rather mischannelled sexual energy.

I have many questions in my mind; my friends from overseas have many
questions in their mind. What about you? The readers of The Jakarta Post. If
we do not start questioning today, then tomorrow it may be too late.


*The writer is a spiritual activist and the author of more than 120 books.
*

Kirim email ke