Hukum Pengkafiran Dan Pemboman
Minggu, 9 Agustus 2009 04:29:27 WIB

HUKUM PENGKAFIRAN DAN PEMBOMAN


Oleh
Haiah Kibarul Ulama Saudi Arabia



Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah atas
Rasulullah, keluarga beliau, shabat dan orang-orang yang mengambil
petunuk dengan petunjuk.

Amma ba'du.
Majelis Kibarul Ulama telah mempelajari pada daurah yang ke-49, yang
diselenggarakan di Thaif, dimulai dari tanggal 2 Rabiul Tsani 1419H,
tentang pengkafiran dan pemboman yang marak terjadi di negeri Islam dan
selainnya. Dan juga menyebabkan pertumpahan darah dan musnahnya
bangunan-bangunan.

Dengan memperhatikan bahaya serta dampak negatife yang ditimbulkan
perbuatan tersebut seperti menelan korban yang tidak berdosa,
melenyapkan harta benda, timbulnya ketakutan di antara manusia, was-was
terhadap diri serta tempat mereka, maka majelis Kibarul Ulama
mengeluarkan penjelasan berkaitan dengan hukum tersebut sebagai bentuk
nasehat kepada Allah dan para hamba-Nya, bentuk tanggung jawab serta
menyingkap kesamaran dalam pemahaman terhadap orang yang masih belum
jelas akan hal ini, maka kami menyatakan wa billahi at taufiq.

Pertama.
Pengkafiran termasuk hukum syar'i yang sumbernya berasal dari Allah dan
RasulNya. Seperti juga halnya penghalalan, pengharaman, dan kewajiban
kembali kepada Allah dan RasulNya, demikian pula pengkafiran. Namun
tidaklah setiap perbuatan yang disifati dengan kekafiran baik perkataan
maupun perbuatan merupakan kufur akbar yang mengeluarkan pelakunya dari
agama Islam.

Ketika hukum pengkafiran dikembalikan kepada Allah dan RasulNya, maka
tidak dibenarkan untuk mengkafirkan seseorang kecuali yang telah
jelas-jelas dikafirkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah, tidaklah cukup
hanya dengan syubhat atau persangkaan semata, mengingat dampak yang
ditimbulkan oleh hal tersebut. Dan jika hukuman saja bisa ditolak hanya
karena syubhat (pada hal dampaknya lebih ringan dari dampak yang
ditimbulkan oleh pengakfiran), maka pengkafiran lebih utama lagi.

Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan
perbuatan menghukum seseorang dengan kekafiran padahal ia tidaklah
demikian, beliau bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya 'wahai kafir'
maka sungguh (perkataanya) kembali kepada salah satu dari mereka jika
ia berkata benar, jika tidak maka akan kembali padanya" [Muttafaq
'alaihi dari Ibnu Umar] [1]

Telah disebutkan di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah yang bisa dipahami
bahwasanya perkataan, perbuatan atau keyakinan ini merupakan kekufuran,
akan tetapi pelakunya tidak divonis kafir karena adanya penghalang.
Hukum ini sebagaimana hukum-hukum lain yang tidak akan bisa sempurna
kecuali dengan adanya sebab, syarat dan tidak adanyanya penghalang.
Contohnya dalam masalah warisan, di antara sebab seseorang menerima
warisan adalah karena hubungan kekeluargaan, namun terkadang ia tidak
mendapatkan warisan karena adanya penghalang, seperti perbedaan agama.
Begitu pula kekafiran ia dibenci karena perbuatannya tapi tidak
dikafirkan.

Terkadang seorang muslim mengucapkan kalimat kufur karena meluapkan
kegembiraan, kemarahan atau semisalnya tetapi ia tidak divonis kafir
–karena ia tidak bermaksud demikian- seperti kisah seorang yang berkata
: "Wahai Allah, engkau adalah hambaku sedangkan aku adalah tuhanmu, ia
telah salah karena meluapnya kegembiraannya" [Diriwayatkan oleh Anas
bin Malik] [2]

Terburu-buru dalam hal mengkafirkan memberikan dampak yang sangat
berbahaya seperti penghalalan darah dan harta, tercegah atas warisan,
batalnya pernikahan serta selainnya yang meupakan dampak kemurtadan.

Bagaimana bisa hal itu dibenarkan atas seorang mukmin, hanya karena syubhat 
yang rendah (ringan) ?

Jika hal ini terjadi kepada pemimpin maka akan lebih parah lagi, ia
akan berlaku sewenang-wenang, mengangkat senjata, merebaknya kekacauan,
tertumpahnya darah dan kerusakan peduduk serta negeri. Oleh karena
itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang, kita untuk
menentang para pemimpin, beliau bersabda.

"Artinya : …… kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas, kalian
memiliki hujjah dari Allah" [Muttafaq 'alaihi dari Ubadah] [3]

Perkataan beliau, "kecuali jika kaian melihat". Tidaklah cukup hanya karena 
persangkaan dan kabar yang beredar.

Perkataan beliau, "kekufuran" : Tidaklah cukup hanya dengan kefasikan
–walaupun besar- seperti juga kezhaliman, minum khamr, bermain judi dan
segala bentuk keharaman.

Perkataan beliau, "jelas". Tidaklah cukup jika bukan kufur yang jelas atau yang 
sharih (terang).

Perkataan beliau, "kalian memiliki hujjah dari Allah" bahwasanya harus
dengan dalil yang sharih (terang) yaitu yang jelas serta tetap dalilnya
dan tidaklah cukup dengan dalil yang memiliki sanad yang lemah dan
tidak pula dalil yang rancu (tidak jelas).

Perkataan beliau, "dari Allah" bahwasanya tidak bisa dijadikan dalil
(ibrah) perkataan seorang ulama walaupun ia telah mencapai derajat yang
tinggi dalam ilmu dan amanah, jika perkataanya tersebut bukan
berdasarkan dalil yang sharih (terang) lagi benar dari Kitabullah dan
Sunnah RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ukuran ini menujukkan bahwasanya permasalahan tersebut sangat penting.

Kesimpulan : Sesungguhnya tergesa-gesa dalam mengkafirkan memiliki
bahaya yang besar sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Katakanlah : Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alas an yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui" [Al-A'raf : 33]

Kedua.
Akibat yang ditimbulkan oleh keyakinan yang salah ini seperti
penghalalan darah, terinjak-injaknya kehormatan, terampasnya harta
secara khusus atau umum, pemboman pemukiman dan kendaraan, dan
peledakan gedung-gedung. Kesemuanya ini –dan yang semisalnya-
diharamkan menurut syariat (ijma kaum muslimin) karena menjadi penyebab
hilangnya hak orang, yang tidak berdosa, hilangnya hak harta, hilangnya
hak rasa aman dan menetap, dan haknya orang-orang yang damai lagi
sentosa yang hidup di perumahan dan lingkungan mereka, hilangnya hak
mendapatkan suasana pagi dan sore hari, dan hilannya
kepentingan-kepentingan umum yang harus ada pada manusia.

Islam menjaga harta-harta kaum muslimin, kehormatan, badan (jiwa) dan
mengharamkan perbuatan merampasnya serta sangat menekannkan hal-hal
tersebut. Termasuk hal terakhir yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam kepada umatnya :

"Artinya : Bahwasanya darah, harta, dan kehormatan kalian aku haramkan
seperti haramnya hari ini, bulan ini dan di negeri kalian ini' kemudian
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 'Apakah aku telah
menyampaikannya ? Ya Allah saksikanlah" [ Muttafaq 'alaihi dari Abi
Bakrah] [4]

Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Setiap muslim dengan muslim yang lain diharamkan ; darahnya,
hartanya serta kehormatannya" [Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu
Hurairah] [5]

Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Takutlah kalian akan
kezhaliman karena kezhaliman adalah kegelapan pada hari Kiamat"
[Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir] [6]

Allah juga telah menjanjikan adzab yang pedih bagi siapa saja yang
membunuh nyawa yang tidak berdosa, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
tentang hak orang-orang mukmin.

"Artinya : Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja,
maka balasannya ialah Jahannam, keka ia didalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar baginya"
[An-Nisa : 93]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'la berfirman tentang orang-orang kafir –yang
memiliki perjanjian perlindungan dalam hukum pemubunuhan tidak
disengaja- 

"Artinya : Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si
pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin" [An-Nisa : 92]

Dan jika membunuh seorang kafir yang memiliki perlindungan terhadap
kemanannya saja dikenakan diyat dan kafarat, bagaimana jika ia (kafir)
dibunuh secara sengaja ? Jika demikian tindakan tersebut lebih parah
dan dosanya lebih besar.

Dan telah shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya 
beliau bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang membunuh orang yang dalam perjanjian maka
ia tidak akan mencium bau surga" [Muttafaq 'alaihi dari Abdullah bin
Amr] [7]

Ketiga.
Bahwasanya setelah Majelis Kibarul Ulama menjelaskan hukum mengkafirkan
manusia tanpa didasari oleh petunjuk dari kitab Allah dan Sunnah
RasulNya serta bahaya memutlakkan hal tersebut sehingga menimbulkan
pengaruh yang buruk, maka diumumkan kepada dunia bahwasanya Islam
berlepas diri dari orang yang berkeyakinan salah seperti ini, dan
hal-hal yang terjadi di beberapa negeri seperti pertumpahan darah orang
tak berdosa, peledakan perumahan dan kendaraan serta bangunan-bangunan
milik sawasta maupun pemerintah dan penghancuran gedung-gedung
merupakan tindakan kriminalitas dan Islam berlepas darinya.

Begitulah sikap seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir
yaitu berlepas diri darinya. Sesungguhnya tindakan tersebut datang dari
orang yang memiliki pemikiran menyimpang serta aqidah yang sesat. Ia
memikul dosa dan kejahatannya sendiri, dan tidak dipandang perbuatannya
oleh Islam dan kaum muslimin yang mengikuti petunjuk Islam berpegang
teguh kepada Kitabullah dan As-Sunnah serta berpegang kepada tali Allah
yang kokoh. Perbuatan tersebut murni tindakan kriminalitas yang ditolak
oleh syari'at dan fitrah. Oleh sebab itu nash syariat telah
mengharamkannnya sebagai peringatan dari berkawan dengan pelaku
tindakan tersebut.

"Artinya : Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang
kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas
kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.
Dan apabila ia berpaling (dari kamu) ia berjlalan di bumi untuk
mengdakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dam binatang
ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan padanya , dan merusak
tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan"
[Al-Baqarah : 204-206]

Wajib bagi setiap muslimin di mana saja berada untuk saling menasehati
dalam kebenaran, tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan,
memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar dengan cara hikmah
dan pelajaran yang baik dan berdebat dengan cara yang paling baik,
seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat
berat siksaNya [Al-Maidah : 2]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta'at kepada Allah dan
RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" [At-Taubah : 71]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran" [Al-Ashr : 1-3]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Agama itu nasehat" (tiga
kali), dikatakan : bagi saiapa, Ya Rasulullah ? Ia bersabda : "Bagi
Allah, kitabNya, Rasul-RasulNya, pemimpin kaum muslimin dan manusia
secara umum" [Telah lewat Takhrijnya]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling mencintai,
mengasihi, dan saling menyayangi, bagaikan satu tubuh apabila adal satu
bagian tubuh yang sakit maka akan menjalar kebagian tubuh yang lain
sehingga turut tidak bisa tidur dan merasa demam" [8]

Ayat-ayat dan hadits-hadits –yang bermakna seperti ini- banyak sekali.

Kita memohon kepada Allah dengan namaNya yang indah dan sifatNya yang
tinggi, agar Dia mengangkat bencana dari kaum muslimin, membeerikan
petunjuk kepada para pemimpin yang padanya kebaikan penduduk dan
negeri, serta menumpas kerusakan beserta pelakunya, dan semoga Allah
menjadikan para pemimpin sebagai penolong agamaNya, meningggikan
kalimatNya dan semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin
–seluruhnya- di setiap tempat dan semoga Allah menjadikan mereka
penolong kebenaran.

Sesungguhnya Allah pemilik yang demikian itu serta berkuasa atasnya.
Semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi kita Muhammad, keluarga
dan para sahabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[Disalin dari kitab Fatawa Al-Aimmah Fil An-Nawazil Al-Mudlahimmah
edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Seputar Terorisme, Penyusun Muhammad bin
Husain bin Said Ali Sufran Al-Qathani, Terbitan Pustaka At-Tazkia]
_________
Footenotes
[1] Imam Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab, bab : Man Kafara Akhahu Bi
Ghairi Ta'wil Fa Huwa Kama Qala, hadits no. 6104. Imam Muslim dalam
kitab Al-Iman, bab : Bayan Hali Iman Man Qala Li Akhihi Al-Muslim Ya
Kafir, hadits no.. 60.
[2] Di kitab At-Taubah, bab : Fii Al-Hadh Ala At-Taubah Wa Al-Farh Biha, hadits 
no. 2747
[3] Telah Lewat Takhrijnya
[4] Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di kitab Al-Hajj, bab Al-Khutbah
Ayyama Mina, hadits no. 1741. Muslim di kitab Al-Qasamah Wal
Muharibina, bab : Tagfizh Tahrim Ad-Dima Wal A'rad Wal Amwal hadits no.
1679
[5] Di kitab Al-Birr Wa Ash-Shilah bab : Tahrimu Zhulm Al-Muslim Wa Khuzulih 
Wahtiqorihi hadits no. 2564
[6] Di kitab Al-Birr Wa Ash-Shilah bab Tahrimu Azh Zhulm hadits no. 2578
[7] Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Al-Jizyah, bab Itsmun
Man Qatala Muahidan Bighairi Jarmin, hadits no. 3166, saya tidak
mendapat dalam shahih Muslim.
[8] Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di kitab Al-Adab, bab Rahmah An
Naas Wa Al-Bahaim hadits no 6011, dan Imam Muslim di kitab Al-Birr Wa
Ash-Shilah bab Tarahum Al-Mukminina Wa Ta'Athufihim hadits no 2586   


      

Kirim email ke