Ini menarik

Facebook:
Radityo Djadjoeri

  ----- Original Message ----- 
  From: ratnobaja 
  To: mediac...@yahoogroups.com 
  Cc: ferrywardi...@gmail.com 
  Sent: Monday, November 16, 2009 1:42 AM
  Subject: Re: [mediacare] PANDANGAN TENTANG KIAMAT.


    

  Yawm al-Qiyāmah (Arab: يوم القيامة‎) adalah "Hari Kebangkitan" seluruh umat 
manusia dari Adam hingga manusia terakhir. Ajaran ini diyakini oleh umat Islam, 
Kristen dan Yahudi. Al-Qiyāmah juga nama dari salah satu ayat ke 75 didalam 
kitab suci Al-Qur'an.




  Kalimat kiamat didalam bahasa Indonesia adalah hari kehancuran dunia, kata 
ini diserap dari bahasa Arab "Yaum al Qiyamah" , yang arti sebenarnya adalah 
hari kebangkitan umat. Sedangkan hari kiamat (kehancuran alam semesta beserta 
isinya) dalam bahasa Arab adalah "As-Saa’ah".




  Semuanya bergerak tarik-menarik dan berpasang-pasangan, ada awal ada akhir, 
ada baik ada buruk, ada langit ada bumi. Ini adalah keseimbangan. Ketika 
manusia sakit maka dia belajar untuk mencari penyembuhnya hingga ia kembali 
sehat. 





  Hari akhir itu adalah sebuah kepastian, seiring kita lahir dan hidup di bumi 
ini. Agama2 samawi meyakini adanya hari akhir ini, tentu dengan harapan agar 
manusia mawas diri, berbuat baik, terhadap diri dan lingkungannya (alam 
semesta) karena segala sesuatunya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang 
Khalik. Walaupun pergerakan senilai biji zarah.



  ratnobaja "cinta" Indonesia






------------------------------------------------------------------------------
  From: Ferry W <ferrywardi...@gmail.com>
  To: mediac...@yahoogroups.com
  Sent: Mon, November 16, 2009 11:30:19 AM
  Subject: [mediacare] PANDANGAN TENTANG KIAMAT.

    
  PANDANGAN TENTANG KIAMAT.

  Konsep KIAMAT berasal mula dari sebuah konsep KETUHANAN.

  Adanya "Allah yang MENCIPTA", dipakai sebagai asumsi dalam konsep ketuhanan 
dan supaya konsisten, harus melahirkan juga konsep "Allah yang MEMBUNUH".
  "Kau yang mulai, maka kau juga yang musti mengakhiri". Begitulah penalaran 
theistis agama-agama besar.

  Padahal asumsi awal adanya "Allah yang mencipta" (Sang Khalik) itu nyata 
berasal dari pandangan anthroposentrisme - melihat realitas dengan ukuran ego 
manusia.
  Maka dalam kitab sucipun digambarkan manusia diciptakan "segambar dengan 
Allah". Jelas dasarnya sangat lemah. Dalam sejarah, telah banyak contoh bahwa 
EGO menyebabkan pemutlakan titik berdiri. Sampai Mataharipun dikira 
mengelilingi Bumi hanya karena melihat bahwa matahari terbit dan tenggelam 
seolah bergerak berkeliling seperti tukang ronda.
  Nyata kemudian pandangan GEOsentris yang berasal dari EGOsentrisme itu 
KELIRU!.

  Ketika manusia membuat meja, hadirlah meja, membuat kue jadilah kue, membuat 
sesuatu jadilah sesuatu...manusia berkesimpulan bahwa yang membuat 
segala-galanya pastilah ada juga. Manusia beramai ramai menamakan "causa prima" 
itu sebagai Allah, Dewa, Tuhan, Yang Maha dsb. Padahal itu JUGA paradigma yang 
disebabkan oleh EGOsentrisme, tak berbeda banyak dengan konsep GEOsentris yang 
terbukti keliru itu.
  Secara logika, manusia LUPA atau ALPA bahwa kalau ada sesuatu yang DILUAR 
segala-galanya, maka itu menyalahi definisi "segala-gala" sendiri.
  Jadi KHALIK dianggap DILUAR MAKHLUK. Logikanya dimana, tidak berani dibahas 
lanjut, karenanya tersimpan dalam diam dalam buku buku dan bahasan para atheis 
saja.

  Akibatnya, manusia "bertuhan" menciptakan ESKATOLOGInya (bahasan tentang 
akhir jaman) dan ketakutan sendiri atas bayangan yang diciptakannya sendiri itu.

  Ada suatu pemikiran lain yang bisa MENYADARKAN kita dari ketakutan yang tidak 
perlu karena BAYANGAN SEMU itu.
  Pemikiran itu adalah TIDAK ADANYA PENCIPTAAN.
  Bila penciptaan tidak ada, maka pemusnahan juga tidak perlu ada.
  Yang ada adalah PERUBAHAN.
  Hal MENJADI ADA adalah tidak ada. Maka TIDAK ADA juga yang dari ADA MENJADI 
TIADA.

  Pertanyaan tipikal khas "orang beragama" adalah: "Lalu SIAPA YANG MENCIPTAKAN 
SEGALA-GALANYA? "
  Itu pertanyaan khas orang yang berparadigma "penciptaan".

  Jawabannya bisa memakai ilustrasi GARIS BILANGAN. Setiap bilangan "tercipta" 
dari penambahan antara satu bilangan sebelumnya dengan bilangan satu.
  Misalnya angka 23, "diciptakan" oleh KAUSALITAS (hubungan sebab-akibat) 
penambahan antara 22 dan 1. Angka 22pun begitu, berasal dari 21+1 dst.
  Dengan demikian, APA atau SIAPA yang disebut Khalik itu?. Khalik itu adalah 
sistem sebab-akibat itu sendiri.
  Sebab-akibat itu bisa diteruskan sampai pada sebab TAK BERHINGGA kebelakang 
dan juga bisa diteruskan sampai pada akibat TAK BERHINGGA ke depan.
  Kesimpulan: Semesta tidak berawal dari TIADA, menjadi ADA dan akan 
"dikiamatkan" menjadi TIADA lagi, melainkan berasal dari ADA, lalu berubah ubah 
menuruti hukum sebab akibat dan akan TETAP ADA.

  Dengan demikian, KIAMAT adalah "kecelakaan" parsial saja, misalnya tanah 
longsor karena penggundulan hutan, banjir di kota karena saluran mampet atau 
tanah turun, bumi meledak karena ditabrak meteor, Matahari padam karena berada 
dalam fase padam dsb. Itu sebetulnya BUKAN KIAMAT. Ruang dan Waktu berdenyut 
terus tak mungkin berhenti musnah. Hanya bayangan manusia saja yang berfantasy 
tentang KETIADAAN.

  Mari menyikapi ide KIAMAT itu seperti sikap kita melihat manusia dahulu 
KELIRU memandang GEOSENTRIS lebih benar daripada HELIOSENTRIS.
  Lebih penting MENGISI perubahan perubahan ini supaya selalu menjadi perubahan 
kearah yang lebih baik. Bukan dengan ketakutan yang tidak perlu, melainkan 
dengan pandangan terbuka pada realita. Realita terpenting di depan setiap mata 
manusia saat ini adalah KEMANUSIAAN. 
  Soal MANUSIA!, bukan soal TUHAN ataupun HANTU. Lebih baik memelihara sikap 
positif terhadap KEMANUSIAAN, misalnya membantu sesama, memperbaiki lingkungan 
hidup dsb daripada meringkuk-ringkuk dan berbisik-bisik ketakutan karena 
dihantui tuhan yang akan memusnahkan.

  Sudah waktunya kita memandang dengan kritis sekujur tubuh tuhan. Kita 
cermati, kalau itu ternyata cuma hantu, sudah waktunya manusia berjalan sendiri 
tanpa bayangan tuhan maupun hantu itu.
  Salah satu hasil nyatanya adalah: Kita menonton filem tentang kiamat sebagai 
REFLEKSI saja, tentang betapa EGOsentrisnya manusia dimasa lampau. 

  Salam,

  Ferry Wardiman


















  

Kirim email ke