tulisan ini, meski ditulis oleh walikota depok dan berjudul studi kasus depok bukanlah tentang politik. kalau yang dimaksud dengan politik itu adalah mengenai kekuasaan. inti tulisan ini justru tentang ekonomi. namun demikian, bagi saya pribadi, karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, maka tulisan ini pun tulisan politik. setidaknya politik versi saya.
meski demikian, saya rasa tulisan ini masih berkaitan dengan milis ini dan mudah-mudahan juga bermanfaat. semoga ! link asli tulisan ini dari harian kompas, tapi terus terang saya copy&paste dari mediacare. silakan salam, ari ams *Studi Kasus Depok * *DR. IR. H Nurmahmudi Isma'il, M. Sc.* *Walikota Depok* Kalau ditanya, masalah apakah yang kini meresahkan sebagian rakyat kecil di Jabodetabek? Mungkin jawabannya, selain soal-soal besar seperti gonjang-ganjing pilkada, korupsi yang terus berjaya, diskriminasi, dan soal besar lain. Namun, ada satu masalah yang tak kalah penting, yang saat ini patut untuk kita telaah. Masalah itu adalah kebijakan pemerintah pusat, untuk mengganti minyak tanah yang digunakan rakyat kecil dengan gas elpiji. Ini sebuah persoalan serius karena menyangkut hajat hidup orang banyak di seantero pelosok Jabodetabek dan mungkin nantinya se-Indonesia. Minyak tanah dan komponennya menjadi bahan bakar pilihan rakyat kecil karena fleksibilitasnya untuk diakses. Orang bisa membeli hanya setengah liter dan mengepulkan asap dapurnya hanya dengan setengah liter minyak tanah. Sementara gas elpiji, meskipun tabungnya diberikan gratis dan berukuran kecil, tetap saja tidak mungkin dibeli eceran. Orang tak bisa membeli setengah tabung gas saja saat benar-benar tidak memiliki uang! Akibatnya? Asap dapur tak akan bisa ngebul dan sejumlah perut akan keroncongan. Reaksi frontal pun teramat jelas terlihat nyata. Cukup beralasan. Kompor minyak tanah adalah pilihan ideal bagi seluruh rakyat kecil yang harus berjuang untuk bisa bertahan hidup di tengah kondisi ekonomi sulit. Bahwa rakyat Indonesia di akar rumput sudah sangat teruji daya tahan atau resistensinya menghadapi dahsyatnya kemiskinan, bencana banjir, dan segala bentuk deraan derita, ini soal lain. Ini juga jelas tidak bisa menjadi pembenaran untuk semakin mengeksploitasi dan menindas mereka, atau melakukan pembiaran terhadap kemiskinan. Minyak tanah mungkin dianggap sebagai simbol kemiskinan, tetapi menggantinya dengan gas elpiji tanpa solusi riil untuk peningkatan kesejahteraan mereka adalah sebuah bola salju. Sangatlah tepat jika Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) meminta agar PT Pertamina (Persero) tidak menarik seluruh minyak tanah bersubsidi di wilayah yang telah dikonversi dengan elpiji. Penarikan 100 persen minyak tanah itu melanggar komitmen tertulis kepada BPH Migas tanggal 23 April 2007 yang menyatakan Pertamina hanya akan menarik 70 persen. Menurut BPH Migas, komposisi penggunaan minyak tanah di wilayah Jabodetabek adalah 70 persen konsumen rumah tangga dan 30 persen usaha kecil, seperti pedagang kecil (penjual pecel lele dan sejenisnya). *Dua kecamatan * Di Kota Depok, Jawa Barat, saat ini program konversi minyak tanah telah dilakukan di dua dari enam kecamatan, yaitu Sukmajaya dan Pancoran Mas, dengan segala macam implikasi dan reaksi. Dari hasil pengamatan, program konversi dengan pembagian tabung dan kompor gas elpiji hanya menyentuh konsumen rumah tangga yang menggunakan minyak tanah, sementara pengusaha kecil yang jumlahnya cukup signifikan tidak tersentuh. Di Sukmajaya, misalnya, terdapat 5.050 pedagang kecil. Hasil evaluasi di lapangan, sejak diluncurkan program konversi di Depok pada Mei 2007, hingga saat ini baru akan mencapai 10 persen saja warga yang menggunakan kompor gas dari 100.000 yang telah dibagikan. Bahkan, laporan dari Hiswana Migas Depok, di Kecamatan Sukmajaya, dari 50.000 unit tabung dan kompor, hanya 700 tabung gas isi ulang yang terjual. Mungkin saja ini pertanda masyarakat tidak tertarik sehingga peluang pasar penjualan tabung gas isi ulang boleh dikatakan tidak menjanjikan, namun memancing pemain luar (agen/pangkalan di luar Depok yang tidak terkena konversi) untuk memasarkan minyak tanah di Depok. Beberapa persoalan lain yang kini timbul di Depok adalah masih banyak warga yang tidak tahu dan tidak bisa menggunakan kompor gas, warga masih takut tabung gas akan meledak, tidak semua warga menerima kompor gas walau secara persyaratan layak menerima, serta warga masih mengalami kesulitan mencari agen/penjual isi ulang gas terdekat. Pemakaian kompor gas dianggap warga butuh biaya tinggi sehingga mereka tetap lebih suka memakai minyak tanah. Bahkan, ada di antara mereka yang telah mendapatkan tabung dan kompor gas tetapi akhirnya dijual, hanya untuk membeli kembali minyak tanah, dan saat ini banyak masyarakat Depok kembali mencari kayu bakar. Fenomena ini tidak sedikit. *Penganggur bertambah * Dampak luar biasa lagi adalah jumlah penganggur di Depok semakin meningkat pesat. Data sementara saja, Kecamatan Sukmajaya dengan jumlah penduduk 237.000 jiwa pada tahun 2007, dengan adanya program konversi minyak tanah, jumlah penganggur bertambah dari 9.000 menjadi 10.560 orang. Penyebabnya, ada 1.560 tukang dorong minyak tanah harus kehilangan pekerjaan. Kegelisahan juga dirasakan para pedagang informal (pecel lele dan sejenisnya), yang mengalami penurunan omzet akibat faktor teknologi regulator gas. "Sampai saat ini teknologi kompor gas belum bisa secepat kompor minyak tanah. Kompor gas hanya dapat memancarkan api setinggi tiga sentimeter, sedangkan jika menggunakan minyak tanah dapat melebihi dan otomatis masakan lebih cepat matang," ujar para pedagang informal, yang dikutip Ketua Hiswana Migas Depok H Yahman Setiawan. Belum lagi masalah terancamnya puluhan agen dan ratusan pangkalan yang akan mengalami kebangkrutan karena waktu ekuivalen margin antara penjualan minyak tanah dan gas memiliki disparitas yang cukup signifikan. Ibu Giarni, misalnya. Pemilik tiga pangkalan di Sukmajaya ini menggambarkan keuntungan satu tangki minyak tanah sama dengan 1.100 tabung gas elpiji. Satu tangki minyak tanah hanya memakan waktu paling lama tujuh hari, sementara volume penjualan tabung gas elpiji 3 kilogram setiap harinya hanya dapat menjual maksimal lima tabung. Sekalipun PT Pertamina melalui Vice President Communications Wisnuntoro telah menyatakan di beberapa media nasional cukup menyadari akan hal ini. Shock culture atau perubahan budaya itulah sinyalemen Wisnuntoro. Lebih lanjut, Wisnuntoro mengatakan, Pertamina dalam mencermati permasalahan yang muncul seperti di Depok tetap akan memperlihatkan sejumlah hal. Jika persoalan muncul pada penyaluran tabung gas, maka konsultannya akan ditegur. Apabila kualitas tabung jadi permasalahan, pihak Pertamina akan menegur produsennya. Jika masalah pada isi, Pertamina sendiri akan turun tangan memperbaiki kualitas dari sisi ketepatan volume. Sesungguhnya tidak sesederhana itu solusinya. Namun, permasalahan terbesar yang harus dijawab oleh pihak Pertamina adalah bagaimana merealisasikan PP Nomor 36 Tahun 2005. Pertamina harus bertanggung jawab dalam proses penyaluran dan pendistribusian minyak tanah sampai tingkat ritel. Bagaimana pula penugasan yang telah diberikan BPH Migas tentang kewajiban pelayanan publik semacam ini, untuk menyesatkan berbagai masalah, adalah ibarat kompor yang bisa "meleduk" setiap saat dan mengakibatkan kebakaran besar. Akibatnya pasti kembali kepada rakyat kecil. Sebagai penutup, saya ingin mengajak untuk merenungi sebuah sindiran yang sangat menggelitik yang termuat di situs Voice of Human Rights, "Mungkin tanpa sadar kita sudah mengamini asumsi 'rakyat selalu menjadi korban' sebagai kebenaran. Sungguh menyedihkan. Asumsi ini jelas salah karena tak seorang pun, terutama yang tak bersalah, pantas menjadi korban. Apalagi dikorbankan! Sejarah sudah membuktikan dan mengajarkan banyak hal, tentang rakyat yang seharusnya mendapatkan semua haknya yang paling asasi, tetapi mengapa sepertinya kita begitu bebal? Mengapa "mengorbankan rakyat" terus menjadi cerita dan berita dalam kehidupan kita sejak Orde Baru sampai orde pascareformasi ini? Anda punya jawaban jitu untuk pertanyaan-pertanyaan di atas? Kalau punya, cobalah masak sampai matang di atas kompor minyak tanah agar benar- benar beraroma rakyat kecil dan satu kompor minyak tanah mungkin akan terselamatkan. Satu keluarga miskin pun mungkin bisa melanjutkan hidup untuk satu hari lagi. Source : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0708/08/metro/3749567.htm [Non-text portions of this message have been removed]