Sudah banyak buku-buku, seminar, talk show, training
yang mengajak kita semua agar menjadi makmur dan kaya
raya. Tema-tema yang ditawarkan berkisar mulai
psikologi sukses, kegagalan, entrepreneurship, dll.
Tidak kurang orang sekaliber Robert Kiyosaki, Tung DW,
Anthony Robbins, Purdi Chandra, Puspo Wardoyo dkk
selalu dijadikan rujuan bagi kita semua agar dapat
mengikuti jejak langkah mereka.

Namun pertanyaannya, setelah mindset kita berubah,
semangat kita menjadi menyala-nyala, lalu kita praktek
langsung untuk membuktikan ilmu yang kita dapat
tersebut apakah sudah mencukupi untuk meraih ambisi
kemakmuran finansial kita tersebut?

Ternyata jawabannya belum cukup! Ada lagi satu ilmu
yang sangat penting yang bila tidak kita kuasai maka
nyaris menjadi sia-sia lah apa yang kita perjuangkan
tersebut yaitu apa yang dinamakan financial
intelligence (kecerdasan finansial) atau bisa juga
disebut “melek finansial”. Penerapan ilmu ini yang
nyata di lapangan adalah apa yang sering kita dengar
dengan istilah Manajemen Keuangan Keluarga. Mengapa?
Karena apa pun aktivitas perekonomian kita mulai dari
bekerja di kantor, jadi pengusaha, investasi ini dan
itu, hasil akhirnya pasti untuk kemakmuran keluarga
kita bukan? Sehingga pengelolaan keuangan keluarga
menjadi fondasi penting bila kita ingin hidup makmur.

Sebagai contoh, banyak dari kita yang berwirausaha
tidak melakukan pemisahan antara keuangan pribadi
dengan keuangan perusahaan. Ada juga yang tidak
terbiasa dengan melakukan anggaran pendapatan dan
belanja keluarga, mencatat transaksi keuangan keluarga
baik yang keluar maupun yang masuk. Misalnya saya
tanya berapa kekayaan bersih keluarga Anda per tanggal
hari ini? Hampir bisa dipastikan 100% tidak bisa
menjawab dengan angka yang pasti.

Nah di sini lah peran manajemen keuangan
pribadi/keluarga mutlak diperlukan. Dengan pengelolaan
yang baik, kita bisa melakukan pengawasan dan evaluasi
terhadap kinerja keuangan keluarga kita. Coba
fikirkan, mengapa kita rela bekerja sebagai
karyawan/pegawai bertahun-tahun untuk membesarkan
sebuah perusahaan, yang notabene perusahaan tersebut
sangat disiplin dalam melakukan pengelolaan keuangan
perusahaannya, sedangkan di rumah tangga kita sendiri,
kita tidak melakukan kedisiplinan serupa untuk
mengelola keuangan keluarga, padahal sekali lagi toh
hasil dari bekerja kita itu untuk kemakmuran/kekayaan
yang akan dinikmati keluarga kita bukan?

 

Ketakukan Mengelola Keuangan Keluarga

Saya juga sering menerima komentar dari beberapa
orang, yang sebenarnya mereka paham akan pentingnya
pengelolaan keuangan keluarga. Tetapi dikarenakan
mereka merasa bahwa sudah pasti pendapatan mereka
selalu lebih kecil dari pengeluaran alias rugi/defisit
membuat mereka tidak semangat untuk melakukan
pengelolaan keuangan keluarga yang baik. Saya katakan
di sini hal tersebut sangat tidak bijak. Saya teringat
sebuah tulisan yang mengatakan bahwa dalam akuntansi
tidak penting kita itu rugi atau untung yang penting
semua aliran uang dan transaksinya selalu tercatat
sehingga kita tahu ke mana saja uang kita tersebut
mengalir. Lebih jauh lagi, bila seluruh catatan
tersebut dapat diolah menjadi sebuah laporan keuangan
keluarga, maka dari sana dapat kita ambil kesimpulan
misalnya kita jadi tahu mengapa kita selalu defisit,
pengeluaran-pengeluaran apa saja yang membuat hidup
kita boros. Sehingga dari sana juga kita dapat
mengambil beberapa kebijakan agar kondisi keuangan
keluarga kita menjadi sehat.

Ada juga kondisi terbalik dari yang di atas yaitu
mengenai salah kaprah tentang pengelolaan keuangan
keluarga. Ada teman saya yang bilang bahwa kalau
pendapatan kita sudah gede tidak perlu lagi dong
capek-capek mengelola keuangan keluarga, dan kebetulan
jawabannya sudah saya tulis di
http://myfamilyaccounting.wordpress.com/2007/06/07/salah-kaprah-tentang-manajemen-keuangan-keluarga/.


Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

Kirim email ke