masih soal SE 29/PJ/2010 tanggal 1 Maret 2010

di bawah ini, tulisan rekan AKI-ers juga, seorang konsultan pajak yang
namanya cukup berkibar (bendera,kali..) baik di dunia konsultasi dan
pendidikan, lingkungan pengadilan pajak, maupun komunitas blogger.

tulisan ini sendiri menegaskan kesamaan persepsi dengan mas pras dan mbak
devry ( maaf saya ikut2an manggil mas dan mbak :) mengenai SE 29/PJ./2010
ini,  sekaligus sebagai penegasan  bahwa persepsi saya sebelumnya salah :(

dan mohon maaf bagi rekan2 lain, rupanya kami belum meng-upload SE yang
terhitung baru ini ke file milis. file PDF akan segera menyusul

*BR, ari.ams*
*
*

artikel asli:
http://triyani.wordpress.com/2010/03/05/pajak-atas-penghasilan-bagi-wanita-kawin/

   Triyani Budianto:
  Pajak atas penghasilan bagi wanita kawin
*
*

Sore tadi, saya baru sempat membaca SE-29/PJ./2009 (yang saya salin dari
www.ortax.org) dan hanya berkomentar singkat bahwa point 3d dari SE-29
tersebut “aneh dan tidak memberikan perlakuan yang equal bagi wajib pajak”.

SE-29 ini merupakan penegasan mengenai pengisian SPT Tahunan bagi Wanita
Kawin yang mempunyai perjanjian pisah harta dan penghasilan atau wanita
kawin yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban pajaknya sendiri,
terpisah dari kewajiban pajak suaminya. Hal ini karena banyaknya pertanyaan
terkait dengan pengisian SPT Tahunan bagi Wanita Kawin.  Meskipun sudah ada
buku petunjuk pengisian SPT Tahunan namun memang masih banyak pertanyaan
yang muncul terkait dengan pengisian SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi,
terutama bagi Wanita Kawin yang telah memiliki NPWP tersendiri.

Berikut ini penegasan yang disampaikan Dirjen pajak melalui SE-29 tsb :

———–quote—————–

*a.            bagi wanita kawin yang melakukan perjanjian pemisahan harta
dan penghasilan atau yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang
Pribadi atas namanya sendiri terpisah dengan SPT Tahunan PPh suaminya.*

*b.            Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh wanita
kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah seluruh penghasilan yang
diterima atau diperoleh wanita kawin tersebut dalam suatu tahun pajak, tidak
termasuk penghasilan anak yang belum dewasa.*

*c.             Penghitungan PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh wanita kawin
sebagaimana dimaksud pada huruf a didasarkan pada penggabungan penghasilan
neto suami isteri dan besarnya PPh terutang bagi isteri tersebut dihitung
sesuai dengan perbandingan penghasilan neto antara suami dan isteri.*

*d.            Penghitungan PPh terutang sebagaimana dimaksud pada huruf c,
berlaku juga bagi wanita kawin sebagai pegawai yang mempunyai penghasilan
semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.*

*e.            Harta dan kewajiban/utang yang dilaporkan dalam SPT Tahunan
PPh wanita kawin sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah harta dan
kewajiban yang dimiliki dan/atau dikuasai wanita kawin tersebut pada akhir
tahun pajak.*

——————-end of quote———–

*Menurut saya, point d yang saya kutip  diatas (atau point 3d dari SE-29)
tidak sesuai dg ketentuan pasal 8 UU PPh.*

Berbicara mengenai NPWP bagi karyawati, dalam praktek, wanita kawin yang
memiliki NPWP tersendiri bisa jadi disebabkan hal-hal berikut ini :

   1. Karena memiliki perjanjian pra nikah mengenai pemisahan penghasilan
   dan harta,
   2. Karena wanita tsb memilih untuk menjalankan kewajiban pajaknya
   sendiri, terpisah dari suaminya,
   3. Karena diberikan NPWP yang berbeda dengan NPWP suaminya, misalnya
   karena didaftarkan secara kolektif melalui pemberi kerja atau karena
   diberikan NPWP secara jabatan yang berbeda dengan NPWP suami, dan Wanita tsb
   tidak mengajukan penghapusan (atau perubahan) NPWP.

Pasal 2 ayat 1 UU KUP berikut penjelasannya mengatur mengenai kewajiban
pendaftaran NPWP bagi wanita kawin  sbb :

*“Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan
kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak”.*

Penjelasan :

*“Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan
sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat
Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
*

*Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan
mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan
perubahannya.*

*Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima
atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan
pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan 1984 dan perubahannya.*

*Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin
yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan
keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian
pemisahan penghasilan dan harta.

Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin
tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya
terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.”*

Sesuai dengan penjelasan pasal 2 tsb di atas, wanita kawin yang memiliki
kewajiban untuk mendaftarkan diri guna memperoleh NPWP adalah sbb :

   1. Wanita Kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup berpisah
   berdasarkan keputusan hakim; atau
   2. Wanita Kawin yang menghendaki pengenaan pajak secara terpisah
   berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau
   3. Wanita yang memilih untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan
   secara terpisah dari suaminya.

Sedangkan mengenai perhitungan PPh terutang atas penghasilan suami dan
istri, diatur dalam pasal 8 UU PPh berikut penjelasannya sbb :

(1)        * Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin
pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula
kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum
dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai
penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata
diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong
pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga
lainnya.*

*(2)          Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah
apabila:*

*a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;*

*b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan; atau*

*c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri.*

*(3)          Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan
neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing
suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.*

*Penjelasan
*

*Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga
sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari
seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai
pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.*

*Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan
secara terpisah.*

*Ayat (1)*

*Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun
pajak atau pada awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau
kerugian suaminya dan dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan
tersebut tidak dilakukan dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari
pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja,
dengan ketentuan bahwa:*

*1. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi
kerja, dan*

*2. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga
lainnya.*

*Contoh:*

*Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi
pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta
rupiah).  Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi
kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut
tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya,
penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak
digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri
tersebut bersifat final.*

*Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya
salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00 (delapan
puluh juta rupiah), seluruh penghasilan isteri sebesar Rp150.000.000,00
(Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A.*

*Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar
Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00).
Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.*

*Ayat (2) dan ayat (3)*

*Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim,
penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan
sendiri-sendiri. Apabila suami isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta
dan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk
menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya
dilakukan berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan
masing-masing memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan
neto.*

*Contoh:*

*Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan
penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan
hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah sebagai berikut.*

*Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon
kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan
sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).*

*Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah
sebesar Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu
rupiah) maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya
dihitung sebagai berikut:*

-              Suami =  100.000.000,00 : 250.000.000  x Rp27.550.000,00 = Rp
11.020.000

-              Isteri  =  150.000.000,00 : 250.000.000  x Rp27.550.000,00 =
Rp 16.530.000

Sesuai dengan apa yang tertulis dalam pasal 8 UU PPh berikut penjelasannya,
menurut saya penghasilan istri yang memenuhi kriteria berikut ini :

   1. *Penghasilan istri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi
   kerja, dan*
   2. *Penghasilan istri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada
   hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga
   lainnya.*

TIDAK DIGABUNGKAN DENGAN PENGHASILAN SUAMI.

Dalam formulir SPT PPh WP Orang Pribadi (Form 1770 atau form 1770-S),
penghasilan istri dari satu pemberi kerja tsb di atas merupakan penghasilan
yang telah dikenakan pajak tersendiri dan bersifat final, sehingga pada saat
pelaporan SPT Tahunan, penghasilan tersebut tidak digabungkan dengan
penghasilan suami, namun tetap diinformasikan dalam SPT Tahunan suami.

Menurut saya, ketentuan tsb (penghasilan istri dari satu pemberi kerja tidak
digabungkan dg penghasilan suami) semestinya juga tidak berubah meskipun
suami istri tsb memiliki perjanjian pemisahan penghasilan dan harta maupun
karena istri memilih untuk menjalankan kewajiban pajaknya sendiri, terpisah
dengan penghasilan suami.

Jika mengacu pada point 3d SE-29 tsb, maka akan mengakibatkan Suami Istri
yang memilih untuk menjalankan kewajiban pajak secara terpisah harus
membayar pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan suami istri yang
menjalankan kewajiban pajaknya secara gabungan.

Contoh 1 :

A+ B suami istri yang masing2 telah memiliki NPWP sendiri, sehingga istri
dianggap memilih untuk menjalankan kewajiban pajaknya sendiri. Keduanya
bekerja sebagai karyawan dan belum memiliki anak. Tahun 2009 memperoleh
penghasilan sbb : penghasilan neto A (Suami) Rp 200.000.000 sedangkan
penghasilan neto B sebesar Rp 100.000.00

jika kita mengacu pada ketentuan 3d SE-29, maka perhitungan PPh terutang
bagi A+B dilakukan sbb :

Penghasilan neto gabungan =  300.000.000 (a)

PTKP (K/I/0) = (33.000.000) (b)

Penghasilan Kena Pajak : 267.000.000 (a-b)

PPh terutang : 36.750.000

PPh terutang a/n Suami = Rp 200jt/300jt x Rp 36.750.000 = 24.500.000

PPh terutang a/n Istri = Rp 100jt/300jt x Rp 36.750.000 =Rp 12.250.000

PPh 21 yang telah dipotong pemberi kerja adalah sbb :

a/n  Suami = 22.426.000

a/n Istri  =  7.624.000

Dengan demikian pada akhir tahun (Maret ini) , keluarga A+B harus membayar
PPh pasal 29 (PPh kurang bayar) sbb :

a/n Suami = 2.074.000

a/n Istri = 4.626.000

Contoh 2 :

C+D suami istri yang memiliki satu NPWP. Istri menggunakan NPWP anggota
keluarga yang sama dg NPWP Suami. sehingga pemenuhan hak dan kewajiban pajak
hanya dilakukan  oleh suami. C+D juga belum memiliki anak. Data penghasilan
neto tahun 2009 sama dengan penghasilan A&B, masing2 Rp 200 Jt dan Rp 100
Jt.

Perhitungan PPh terutang C dilakukan sbb :

Penghasilan neto = 200.000.000  (a)

PTKP  (K/0) = (17.160.000) (b)

Ph Kena Pajak = 182.840.000 (a-b)

PPh terutang = 22.426.000

PPh 21 dipotong = 22.426.000

PPh kurang dibayar = Nihil

Ph istri telah dikenakan Pajak tersendiri dan bersifat final sbb :

Ph neto = Rp 100.000.000 (a)

PTKP (TK) = (15.840.000) (b)

Ph Kena Pajak = Rp 84.160.000

PPh terutang = Rp 7.624.000

sesuai dg SE-29, hanya karena perbedaan cara pelaporan (cara pemenuhan
kewajiban pajak) maka A+B vs C+D harus membayar pajak dengan jumlah yang
berbeda* (dlm contoh di atas lebih tinggi 22%), *padahal kondisi wajib pajak
sama-sama berstatus sbg karyawan dg jml tanggungan yang sama dan memperoleh
penghasilan yang sama besarnya.

*hmmm,..  aneh khan?*

Agar memberikan perlakuan yang sama thd wajib pajak & memberikan keadilan,
Semoga Point 3d SE-29 tsb segera diralat dan diganti menjadi* “**Penghitungan
PPh terutang sebagaimana dimaksud pada huruf c, TIDAK berlaku bagi wanita
kawin sebagai pegawai yang mempunyai penghasilan semata-mata diterima atau
diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong Pajak Penghasilan
Pasal 21″.*

*[image: :)]*
Maret 5, 2010 <http://triyani.wordpress.com/2010/03/05/> - Ditulis oleh
triyani <http://triyani.wordpress.com/author/triyani/> | PPh Orang
Pribadi<http://id.wordpress.com/tag/pph-orang-pribadi-pajak/>
, Pajak <http://id.wordpress.com/tag/pajak/> |
Karyawati<http://id.wordpress.com/tag/karyawati/>
, NPWP Sendiri <http://id.wordpress.com/tag/npwp-sendiri/>, Pisah
Harta<http://id.wordpress.com/tag/pisah-harta/>
, Wanita Kawin <http://id.wordpress.com/tag/wanita-kawin/> | Belum Ada
Tanggapan<http://triyani.wordpress.com/2010/03/05/pajak-atas-penghasilan-bagi-wanita-kawin/#comments>
-- 
-----
*save a tree, don't print this email unless you really need to*


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke