Kronik Sairara: 
 
 
4. 
 
 
 KONGRES KEBUDAYAAN NASIONAL DARI BAWAH 
  
 
Selanjutnya di bagian lain Luluk Sumiarso menulis:   "Tahun lalu, tepatnya 
tanggal 5 Juli 2007 di Balai Kartini, Jakarta, kami bersama Lintas Budaya 
Nusantara dan Media Grup menyelenggarakan Sarasehan Budaya dalam rangka 
memperingati Kongres Kebudayaan Pertama yang diselenggarakan di Solo tanggal 5 
Juli 1918, sepuluh tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo. Konggres ini , walaupun 
pada tahap awal merupakan Konggres Kebudayaan Jawa, tetapi kemudian diperluas 
menjadi Kongres Kebudayaan Nasional pada tahun-tahun, yang kemudian berujung 
juga dengan diselenggarakannya Sumpah Pemuda 10 tahun kemudian. Sarasehean 
dibuka oleh menbudpar Jero Wacik , menampilkan pembicara antara lain Dr. Edi 
Sedyawati, Jakob Oetama dan Christine Hakim. Salah satu butir kesimpulan adalah 
perlunya dibentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia' untuk menggalang semua potensi 
budaya bangsa, tanpa harus menghilangkan identitas masing-masing".

"Untuk itulah, memanfaatkan momentum yang tepat, yaitu 100 Tahun Kebangkitan 
Nasional, 90 Tahun Konggres Kebudayaan Pertama dan 80 Tahun Sumpah Pemuda, kami 
bersama beberapa tokoh budaya dan mereka-mereka yang peduli budaya, akan 
membentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia" pada tanggal 5 Juli 2008 pukul 
10.00.Tempatnya adalah di Studio Radio Republik Indonesia, jalan Merdeka Barat 
Jakarta. Forum ini adalah Non-Politik, akan dipakai sebagai sarana komunikasi 
semua unsur budaya, tanpa mengurangi/meredusir identitas peran masing-masing, 
juga untuk membantu pemikiran-pemikiran mengenai visi budaya bangsa Indonesia 
ke depan. Harapannya, ke depan 'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam 
KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia". [Lihat : Lampiran].
 
 
Ide sentral dari dua alinea ini adalah dibentuknya Forum Kebudayaan yang 
bertujuan :" untuk menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus 
menghilangkan identitas masing-masing". 
 
Ide  "menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus menghilangkan 
identitas masing-masing" adalah sebuah pikiran yang baik dan niscayanya 
disokong serta dilaksanakan. Ide yang sesuai dengan rangkaian nilai republiken 
dan berkeindonesiaa. Rasuk dengan prinsip bhinneka tunggal ika. 
 
Pertanyaan saya: Apakah untuk mewujudkannya "perlu" pembentukan sebuah 
organisasi baru bernama Forum Kebudayaan Indonesia yang "Harapannya, ke depan 
'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional 
Indonesia". Apakah pengejawantahan pikiran dan harapan ini akan efektif dengan 
mendirikan Forum Kebudayaan Indonesia "'semacam KONI' untuk Kebudayaan Nasional 
Indonesia"? Saya mengkhawatirkan, adanya "'semacam KONI' untuk Kebudayaan 
Nasional Indonesia"  akan menjelma sebagai sarana pengawas, pengendali 
kebudayaan dan forum demikian akan terjangkit KKN dan alat birokrasi serta 
sangat birokratis.  Apalagi jika di dalamnya terdapat birokrat- birokrat dan 
yang disebut tokoh-tokoh kebudayaan tapi jauh dari masyarakat budaya yang aktif 
dan benar-benar menjadi aktor kreatif di bidang kebudayaan.  Jika bayangan ini 
terjadi, maka ide dan harapan dengan pembentukan Forum Kebudayaan akan menjadi 
jauh panggang dari api. 
 
Jika demikian, lalu apakah alternatif lain untuk mengejawantahkan ide dan 
harapan di atas? 
 
Terhadap pertanyaan ini, saya ingin menjawabnya dengan pertanyaan: Mengapa 
tidak, kita bersandar pada dan mempercayai masyarakat kesenian, pada 
aktor-aktor budaya di lapangan yang tergabung dalam berbagai komunitas 
sastra-seni dan lembaga-lembaga kebudayaan yang tersebar di berbagai daerah dan 
pulau tanahair?.  Komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga ini sudah jauh lebih 
dahulu ada  dan lebih lama dari 10 tahun, dan sampai sekarang terus berkegiatan 
dan bekerjasama secara leluasa dan tanpa dikendalikan oleh partai politik mana 
pun. Juga tidak disopiri oleh penyelenggara negara. Mereka membeayai diri 
mereka sendiri. Lahir, tumbuh dan berkembang secara mandiri. Saya melihat 
adanya komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga kebudayaan bebas, mandiri ini 
adalah tenaga penting bagi pembangunan kebudayaan di negeri kita. Bersandar dan 
percaya pada mereka, saya kira akan merupakan orientasi yang lebih rasuk untuk 
negeri kita yang bhinneka. Melalui mereka, bisa
 diharapkan konsep kebudayaan, sastra-seni kepulauan akan marak. Desentralisasi 
nilai, bukan sentralisasi nilai dan bentuk mempunyai syarat berkembang tanpa 
ada yang merasa diri sebagai "pusat pengesahan".  Saya  mengkhawatirkan dengan 
ide pembentukan Forum Kebudayaan Indonesia, hanya akan memperkuat kembali  
sentralisasi nilai dan penciptaan "pusat  pengesahan" [legacy center] baru 
dalam dunia kebudayaan,  varian lain dari pandangan bahwa kebudayaan Indonesia 
hanyalah "puncak-puncak kebudayaan daerah" sebagai yang dianut oleh UUD 1945. 
Adanya "pusat pengesahan" dan sentralisasi nilai dan bentuk menjurus ke 
penyeragaman, mendorong pembentukan "bangsawan-bangsawan" setipe dengan 
"nomenklatura" budaya baru di negeri kita , menjadi sandungan bagi pengujudan 
ide bhinneka  tunggal ika atau "biar bunga mekar bersama, seribu aliran 
bersaing suara", keadaan alami budaya negeri ini.  Lalu "nomenklatura" budaya 
inilah kemudian yang menetapkan mana yang
 budaya dan mana yang tidak.
 
Sedangkan apabila kita bersandar pada masyarakat budaya dari bawah, bersandar 
pada komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga aktor yang ada di berbagai daerah 
dan pulau, kita akan mendorong perluasan jaringan budaya, dan mereka jugalah 
yang akan saling belajar , bekerjasama, bergotong royong, 
bersolidaritas setapak demi setapak guna meningkatkan taraf kreasi mereka. 
Sehingga kemungkinan besar ide "meluas dan meninggi" terwujud secara alami tapi 
secara sadar juga. Komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga aktor kebudayaan 
yang bebas mandiri ini, merupakan kreasi khas angkatan sekarang. Mereka lahir, 
tumbuh dan berkembang lepas dari manipulasi siapa pun. Saya khawatir bahwa  
Forum Kebudayaan Indonesia yang dirancang dan mau didirikan pada 5 Juli 2008 
bakal gampang berkembang dan merosot menjadi alat manipulasi. Sarang cekcok dan 
rebutan, sekali pun dikatakan bahwa Forum Kebudayaan Indonesia itu adalah 
sebuah  forum "non politik". 
 
Dengan bersandar pada komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga aktor yang berada 
di lapangan, dengan istilah menterang di "grass root", kita pun akan dekat 
dengan akar, tidak   akan jadi lepas akar, budaya kita bisa lebih tanggap zaman 
dan apresiatif, lebih mungkin menjawab tantangan dan menjadi anak zaman. Bisa 
memobilisasi seluruh potensi yang selama ini diabaikan bahkan tidak dilirik. 
Pengembangan potensi terpendam ini misalnya diperlihatkan antara lain oleh 
kelompok Mas Tanto dan kawan-kawannya, melalui kegiatan "Festival Lima 
Gunung"nya di Jawa Tengah, ditunjukkan juga antara lain oleh kelompok 
Panyingkul di Makassar, atau kelompok Rumah Dunia di Serang, untuk sekedar 
menyebut beberapa contoh saja. 
 
Daripada mendirikan organisasi kebudayaan seperti Forum Kebudayaan Indonesia 
yang nampak elitis, dengan kemungkinan-kemungkinan seperti yang saya canangkan 
di atas, saya lebih tertarik jika komunitas-komunitas dan lembaga-lembaga aktor 
kebudayaan yang bergerak di lapangan bersama-sama menyelenggarakan Kongres 
Kebudayaan Nasional dari bawah. Oleh, dari dan untuk mereka. Bukan Kongres 
Kebudayaan Nasional dari atas yang diorganisasi oleh pemerintah yang agaknya 
tak bergema apa-apa setelah Kongres-kongres itu usai.  Melalui Kongres 
Kebudayaan Nasional dari bawah ini, mereka menetapkan bersama-sama apa yang 
akan dilakukan, bagaimana bekerjasama tanpa melenyapkan kebebasan 
masing-masing. Bisa saja terjadi bahwa mereka memutuskan pembentukan semacam 
Federasi atau Forum Konsultasi, dan lain-lain, entah apa namanya... . Mereka 
jugalah yang menetapkannya secara bersama-sama.  Sebagai pendahuluan, sebelum 
Kongres Kebudayaan Nasional dari bawah ini dilangsungkan,
 barangkali berguna ada pertemuan tingkat kecamatan, kabupaten atau propinsi. 
Pertemuan-pertemuan begini sekaligus sebagai uji-coba atau cetak-biru untuk 
suatu kegiatan lebih lanjut. Pihak pemerintah , bisa saja hadir, tapi setara 
dengan peserta-peserta lainnya. Bisa saja membantu tapi bantuan itu tidak 
mempunyai sifat dan keinginan mempengaruhi serta mendominasi.
 
 
Barangkali ada yang bertanya: Dari mana beaya untuk menyelenggarakan Kongres 
Nasional semacam ini? Pertanyaan ini memang penting dijawab, tapi yang 
terpenting sekarang, saya kira, adalah menjawab pertanyaan: Apakah ide ini 
disepakati atau tidak. Bagaimana pembeayaan, di mana diselenggarakan, saya 
anggap adalah masalah tekhnis kongkret setelah ide ini disepakati . Jadi 
pertama-tama satukan ide, dan tidak bermula dari soal dana. Festival Lima 
Gunung Jawa Tengah bisa berlangsung berhari-hari tanpa bantuan sepeser pun dari 
pemerintah tapi bersandar pada orang kampung dan petani peserta, Ode Kampung 
bisa diselenggarakan oleh Rumah Dunia Serang dengan menghadirkan ratusan 
perwakilan dari berbagai komunitas berbagai daerah dan pulau. Keadaan ini 
memperlihatkan bahwa kemungkinan Kongres Kebudayaan Nasional Dari Bawah itu 
mungkin diselenggarakan jika semuanya sepakat. 
 
Sekedar suatu lontaran pemikiran sebagaimana yang dikatakan oleh tetua 
Tiongkok:"melempar batu bata untuk mendapatkan giok". ***
 
 
Paris, Juli 2008 
-----------------------
JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.
 
[Selesai]  
 
 
LAMPIRAN:
 

Pada tanggal 23 Juni 2008, melalui milis artculturindonesia @yahoogroups.com ,  
Luluk Sumiarso menyiarkan tulisan  berikut:
 
"Teman2 yang Peduli Budaya,

Tentu kita tergelitik dgn berbagai tulisan yang dimuat Kompas Minggu tgl 22 
Juni 2008 yang menyangkut kebudayaan Indonesia, utamanya yang berjudul "Secara 
Kultural   Kita Sedang Kalah",   tulisan Frans Sartono yang mengulas pendapat 
Saini KM, yang budayawan, penyair, penulis drama, penulis esai yang 
memprihatinkan budaya bangsanya yang tengah jatuh dan kehilangan arah. ' 
....Karena dalam gelombang globalisasi, bangsa yang tidak punya karakter akan 
lenyap....', kata Saini.

Saya berpendapat bahwa kita perlu mempunyai Visi Budaya yang jelas yang dipakai 
sebagai arah perjalanan (budaya) bangsa kita. Kelihatannya selama ini kita 
sibuk dan jalan sendiri-sendiri,  masing-masing  mungkin baik, tetapi kita 
kurang bersinergi. Meminjam judul sebuah sinetron terkenal, "Ibarat Serpihan  
Mutiara Retak". Beberapa kalangan bahkan ada yang mengartikan dan meredusir 
seolah budaya itu hanyalah sebatas Seni-Budaya. Padahal unsur budaya lebih dari 
itu, mencakup pula antara lain adat istiadat dan bahkan teknologi. Hasil proses 
budaya inilah yang akan berupa peradaban suatu bangsa.

Terus terang, saya bukan budayawan dan juga bukan pelaku industri budaya. Saya 
hanyalah satu diantara mereka-mereka yang peduli budaya bangsanya dan 
menggiatkan kegiatan budaya, khususnya budaya tradisional. Tahun lalu, tepatnya 
tanggal 5 Juli 2007 di Balai Kartini, Jakarta, kami bersama Lintas Budaya 
Nusantara dan Media Grup menyelenggarakan Sarasehan Budaya dalam rangka 
memperingati Kongres Kebudayaan Pertama yang diselenggarakan di Solo tanggal 5 
Juli 1918, sepuluh tahun setelah lahirnya Boedi Oetomo. Konggres ini , walaupun 
pada tahap awal merupakan Konggres Kebudayaan Jawa, tetapi kemudian diperluas 
menjadi Kongres Kebudayaan Nasional pada tahun-tahun, yang kemudian berujung 
juga dengan diselenggarakannya Sumpah Pemuda 10 tahun kemudian. Sarasehean 
dibuka oleh menbudpar Jero Wacik , menampilkan pembicara antara lain Dr. Edi 
Sedyawati, Jakob Oetama dan Christine Hakim. Salah satu butir kesimpulan adalah 
perlunya dibentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia'
 untuk menggalang semua potensi budaya bangsa, tanpa harus mengilangkan 
identitas masing-masing.

Untuk itulah, memanfaatkan momentum yang tepat, yaitu 100 Tahun Kebangkitan 
Nasional, 90 Tahun Konggres Kebudayaan Pertama dan 80 Tahun Sumpah Pemuda, kami 
bersama beberapa tokoh budaya dan mereka-mereka yang peduli budaya, akan 
membentuk 'Forum Kebudayaan Indonesia" pada tanggal 5 Juli 2008 pukul 
10.00.Tempatnya adalah di Studio Radio Republik Indonesia, jalan Merdeka Barat 
Jakarta. Forum ini adalah Non-Politik, akan dipakai sebagai sarana komunikasi 
semua unsur budaya, tanpa mengurangi/meredusir identitas peran masing-masing, 
juga untuk membantu pemikiran-pemikiran mengenai visi budaya bangsa Indonesia 
ke depan. Harapanya, ke depan 'forum' ini dapat berkembang menjadi 'semacam 
KONI' untuk Kebudayaan Nasional Indonesia. 
 
Mohon email ini disebarkan ke teman-teman yang perduli budaya. Karena tempat 
terbatas, teman-teman yang berminat mohon mendaftar ke pedulimajapahit@ 
gmail.com

Mudah-mudahan forum ini bermanfaat.

Jakarta, 24 Juni 2008

Salam Budaya
Luluk Sumiarso
Pembina Paguyuban Puspo Budoyo/
Ketua Yayasan Peduli Majapahit  


      Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

Kirim email ke