*
From: Elisa Koraag
Sent: Monday, September 25, 2006 2:09 PM

                                   Kisahku: ANAKKU DIPERMALUKAN!

Orang tua mana yang bisa menerima jika anaknya dipermalukan? Jumat, 22 Sept , 
minggu lalu, sesaat
sebelum aku makan siang, HP ku berbunyi dan nampak nama ”Papa Bas” di layar hp 
ku.
”Halo” Sapaku
”Sedang apa, ma?” tanya suamiku di seberang telephone
“Siap-siap mau makan siang, ada apa?” Ganti aku yang berbalik tanya.
“Saya cuma mau kasih tahu. Bastiaan dipermalukan di sekolah! Ujarnya dengan 
suara bergetar. Aku
paham, suamiku berusaha menahan amarah.
”Sabar pa, cerita dulu dong!”
”Nanti saja di rumah!” dan suamiku mengakhiri pembicaraan.

Kini tinggal aku yang termangu, mana bisa aku konsentrasi bekerja kalau 
mengingat cerita suamiku
tadi. “Bastiaan dipermalukan” . Oleh siapa dan mengapa?” tanyaku dalam hati. 
Tak sabar rasanya
menanti jam pulang kerja.

Saat jam kerja usai, suamiku sudah menjemput. Kami sepakat singgah di warung 
soto untuk berbicara.
Mulailah suamiku bercerita. Yang diceritakan terlebih dahulu bukan persoalan 
Bas tapi pergumulan
suamiku yang tidak terima karena hukuman yang diterima Bas.

Ketika suamiku datang ke sekolah untuk mengantarkan seragam Tae Kwon Do karena 
setiap jumat Bas
mengikut ekskul tersebut. Biasanya suamiku akan melihat Bas yang bersenda gurau 
dengan
kawan-kawannya di lapangan sekolah. Karena di lapangan tidak nampak, suamiku 
berjalan ke kelas Bas
dan disana ia melihat Bas sedang duduk dengan tangan bersidekap di dada.
”Halo Bas, kok tidak ke lapangan?” sapa suamiku
”Aku malu!” Jawab Bas sambil menundukkan kepalanya di meja.
”Malu kenapa Nak?” suamiku menjadi heran. Perlahan Bas melepaskan tangannya 
dari dada dan nampak
sebuah tulisan yang dikalungkan di lehernya ”AKU ANAK MALAS. Kemalasan 
mengakibatkan kebodohan”

”Reaksi pertama membaca tulisan tersebut, saya membenarkan. Lalu saya katakan 
pada Bas. Sama seperti
yang sering Papa dan mama katakan, kakak tidak boleh malas belajar! Cerita 
suamiku. Tapi betapa
terpukulnya saya, ketika Bas dengan tegas mengatakan: Aku dikalungkan tulisan 
ini bukan karena aku
malas belajar tapi tadi pagi aku terlambat datang ke sekolah!”

Sebelum suamiku melanjutkan ceritanya, aku yang merasa terpukul. Keterlambatan 
Bastiaan berkaitan
dengan aku. Jumat pagi tadi aku  ada ”Breakfast Meeting”. Karenanya aku ikut 
berangkat saat Bas di
antar suamiku. Cuma karena aku teledor, aku lupa meletakkan kacamata dan HP 
sehingga ketika akan
berangkat, jadi tertahan untuk mencari dua benda tersebut. Ahirnya dua benda 
tersebut tidak ketemu
dan Bastiaan terlambat.

”Aku menyesal gara-gara aku, Bas dipermalukan! Ujarku penuh penyesalan.
”Itulah! Kemarahan saya atau ketidak terimaan saya Bas dipermalukan karena 
bukan kesalahan Bas!”
Ujar Frisch dengan emosi.
”Iya tapi kan sekolah tidak tahu kalau Bas terlambat karena aku!” kataku lagi.
”Ma, apakah hukuman dengan mengalungkan tulisan semacam itu mendidik? Bas 
begitu shock, menurut
kawan-kawan dan satpam dia tidak keluar kelas saat jam istirahat. Belum lagi 
menahan rasa karena
kawan-kawan yang mengolok-oloknya.” Frisch masih emosi. Lalu dilanjutkan dengan 
suara bergetar kali
ini mehahan tangis.
”Kamu tahu ma, demi anak-anak aku rela bangun sebelum pukul 5 pagi biarpun aku 
baru dari luar kota.
Agar jangan terlambat... apakah sikap seperti ini over protecktive?”
”Entahlah, yang pasti  mama menyesal, ini kesalahan mama” kataku dengan 
perasaan tidak enak.
”Ok. Tapi bukan itu masalahnya. Bas ini baru kelas satu, kalau dia sudah merasa 
tidak nyaman di
sekolah, bagaimana dia mau terus bersekolah? Saya sangat bersyukur Bas tidak 
pernah mengeluh walau
pukul 5 pagi sudah harus bangun. Tapi kalau sekolah memberi hukuman tidak 
mendidik justru membuat
secara kejiwaan Bas terluka, saya merasa sangat sakit, ma!’ Ujar suamiku dengan 
penekanan kata pada
sakit!

Jujur sayapun terluka. Bahkan terluka 3 kali lebih banyak dari yang di rasa Bas 
dan Frisch. Pertama
Ibu mana yang rela anaknya dipermalukan. Kedua aku punya andil atas 
keterlambatan Bas. Ketiga,
betapa pedih hati ini mengetahui kecintaan Frisch pada Bas yang sangat luar 
biasa dan kini
dihadapanku berusaha menahan airmata ketidakrelaan akan anaknya yang 
dipermalukan.
”lalu apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku pelan
”Saya akan menemui guru piket tersebut atau kepala sekolah untuk memprotes” 
Jawab Frisch
”Tapi kalau hukuman itu sudah lama diterapkan dan tidak ada yang protes?” 
tanyaku
”Anak orang bukan urusan saya, tapi Bas tanggung jawab saya. Dan hukuman itu 
tidak mendidik. 3 hal
mengapa saya tidak terma. Pertama, Bas baru kelas satu dan untuk ke sekolah Bas 
masih bergantung
dengan orang lain dalam hal ini orang tuanya. Karena itu tegurlah orang tuanya. 
Kedua, ini
keterlambatan Bas yang pertama. Ketiga, Bas terlambat tidak sampai 5 menit, 
apakah adil dia
dipermalukan 4 jam?

Aku tidak berkomentar atas analisa Frisch karena aku membenarkan. Aku hanya 
berpesan, untuk menjaga
pembicaraan denga pihak seolah tidak emosi dan tetap sopan, karena biar 
bagaimanapun Bas baru kelas
satu, kami masih akan terus berhubungan dengan pihak sekolah selama Bas masih 
terdaftar sebagai
murid.

Frisch mengatakan, justru karena hal tersebut, maka sebagai orang tua kita 
harus mengemukakan
uneg-uneg agar jangan menjadi kendala di kemudian hari, apalagi sampai 
mempengaruhi kegiatan belajar
Bas di sekolah.

Selesai saling mencurahkan isi hati kamipun bergegas pulang. Seperti biasa saat 
mendengar suara
motor suamiku, Bas dan Van langsung muncul di muka pintu. Tertawa dan bertepuk 
tangan sambil berkata
”Mama pulang....Papa pulang!” Hatiku sedang sakit sehingga agak sulit 
memunculkan senyum di wajah.
Ku sembunykan wajahku di dada Van. Sementara Bas memeluk pinggangku.

Keduanya mengiring aku kekamar. Van pindah kepelukan papanya, akupun memeluk 
Bas. Dengan menguatkan
hati kucoba memulai pembicaraan dengan Bas.
”Mama dengar dari papa, Kakak tadi di hukum ?”
”Iya. Di suruh pakai kalung tulisan ”Aku Anak Malas....... .....
”Benar kakak malas?” tanyaku
”Eh...aku dikalungkan tulisan itu karena aku terlambat” Jawab Bas lagi
”Bagaimana teman-teman kakak?”
”Ya aku diledek-ledek tapi aku bilang kalau nanti kamu pakai kalung seperti 
ini, mau tidak aku
ledek-ledek? Kalau tidak ya jangan meledek dong. Jadi tidak di ledek lagi.
”Kakak malu?” tanyaku. Kali ini Bas mengangguk. Aku memeluknya.
”Maafin mama kak, gara-gara mama kakak jadi terlambat dan di hukum!” kataku 
tanpa melepaskan
pelukan. Bas hanya tertawa.

Aku tidak tahu apa yang dirasa Bas. Tapi berharap, ini tidak akan terulang dan 
hukuman yang diterima
Bas tidak meninggalkan trauma. Dan aku mendukung rencana Frisch yang akan 
menemui guru piket dan
pihak sekolah untuk memprotes. Hak kami sebagai orang tua untuk menyampaikan 
sesuatu yang dirasa
kurang pada tempatnya.

Ini juga bentuk masukan kami, agar sekolah bisa memberikan sanksi yang lebih 
mendidik! Sehingga
pengalaman Bas tidak dialami anak lain dan kami turut menjaga kelangsungan 
proses belajar mengajar
yang lebih kondusif. Semoga Bas, menjadi anak terakhir yang dipermalukan!” 
(Icha Koraag)

Kirim email ke