Hiks.....bener. saya jadi inget waktu saya kecil dulu. Usia 9 tahun kelas 4
sd. Saya gak pernah bikin ribut di kelas, tiba-tiba ada temen yang ngajak
ngobrol, saya cuma nanggepin sekedarnya aja, eh, dipanggil gurunya terus
saya distetrap di depan kelas. Waduh, malunya saya, itu terusss saya inget
sampai berbulan2 kemudian. Kemudian, pernah saya protes gurunya, mosok 9
dibilang bilangan prima, lha 9 kan bilangan ganjil, bil prima itu yang tidak
dapat dibagi oleh bilangan lain kecuali 1 dan bilangan itu sendiri, lha 9
kan bisa dibagi 3. Yang ada, saya diomelin gurunya dan disumpahin..."Lif,
beraninya bilang ibu salah, ibu doain kamu gak jadi rangking 1 lagi...". Lha
ya saya koq jadi dihukum karena protest pelajaran matematika, padahal kalo
gurunya mau buka buku dikit aja, ketahuan deh kalo dia yg salah. Hmmm, asli,
sedih dan sakit hatinya saya gak ilang2 sampai berbulan2. Sayangnya ortu
saya diem aja waktu itu, yah, klise lah, jaman dulu kan gitu, guru yg paling
benar. Untung tahun berikutnya saya pindah sd, dan benar 9 mah bukan
bilangan prima.

Intinya sih, jangan mudah memberi stigma ke anak, malas lah, tukang ngobrol
lah, tukang proteslah....lihat dulu inti masalahnya. Kalao memberi hukuman
boleh, tapi please jangan ngasih stigma. Karena bisa jadi anak malah jadi
malas atau bandel beneran. Kalo anak dibilang bandel, bisa jadi gedenya jadi
bandel beneran, karena ucapan bisa diartikan sebagai doa.

Makasih, weleh, malah jadi curhat.

Lif-Mama Nayma
susahnya cari sekolah yg bagus


On 9/26/06, theo <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Kalau pendapatku sih, peraturan itu dibuat oleh sekolah dan dibicarakan
dengan orang tua (pertemuan orang tua murid) disana diberitahukan apa
akibatnya apabila terlambat, buat kesalahan dan lainnya. sehingga orang tua
tahu dan berusaha untuk mentaatinya.
saya juga akan berlaku sama dengan bapak ini apabila anak saya dihukum
seperti itu.
tolong diingat ini anak kelas satu SD, disini mereka mulai belajar untuk
menjadi besar. jadi harus dididik yang benar.
memberi hukuman yang baru pertama kali ini dilakukan tanpa diperingatkan
lebih dahulu menurut saya tidak benar.
Maaf saya juga punya anak kelas satu dan apabila anak saya diperlakukan
seperti itu saya akan protes keras kepada kepala sekolahnya.
Kecuali anak memang bandel, berulangkali dibilangin tidak juga mendengar
nah baru boleh diberi hukuman.
tolong diingat apa yang terjadi saat ini akan diingat anak kecil hingga
dia dewasa, jadi harus dididik sebaik mungkin hingga dewasa nanti jadi anak
yang baik dan berguna.
Sorry kepanjangan, terimakasih.


Theo

-----Original Message-----
From: [EMAIL PROTECTED]
[mailto:[EMAIL PROTECTED]
Sent: Tuesday, September 26, 2006 1:06 PM
To: balita-anda@balita-anda.com
Subject: Re: [balita-anda] ANAKKU DIPERMALUKAN!


hmmmm......
malas kan luas artinya...bisa malas bangun jd telat, malas mandi jadi
telat dan sbgnya...
namanya jg peraturan , siapa yg melanggar hrs menanggung resiko kena
sanksi or hukuman...
klo semua sekolah diberlakukan aturan tanya jawab dulu apa penyebabnya,
bisa2 anak2 semuanya ngaku gak salah dunk...
harusnya sbg ortu berlaku bijak, katakan setiap yg melanggar aturan memang
hrs kena sanksi terlepas itu salah siapa dan penyebabnya apa, sekaligus
belajar gentelman, dan mendidik anak u/ bersikap bijak, alias menerima
salah dan siap menanggung salah walaupun itu bukan kesalahannya..
jd inget artikel....pernah deh aku baca...tapi dah kedelete...
'intinya ada suatu keluarga di didik dan ditanamkan untuk menirima
kesalahan, misal walaupun sang kakak yg memecahkan gelas, si adik ketika
ditanya ibunya ,langsung membersihkan pecahan gelas tsb dan berkata maaf
kami ceroboh, tadi mainnya kurang hati2 dan langsung si adik membersihkan
pecahan tsb tanpa harus membela diri dr pertanyaan ibunya,atau mengatakan
ini bukan salah ku...' Klo gak slh itu slh satu bentuk cerita dr artikel
yg aku baca kemarin...

Jadi menurut sy kita gak perlu memperdebatkan suatu kata yg diwakilkan
untuk dijadikan sanksi jika ada yg melanggar, kecuali hal2 yg melecehkan
atau mengandung SARA

maaf jika kurang berkenan.................



[EMAIL PROTECTED] wrote on 09/26/2006 10:33:30 AM:

> *
> From: Elisa Koraag
> Sent: Monday, September 25, 2006 2:09 PM
>
>                                    Kisahku: ANAKKU DIPERMALUKAN!
>
> Orang tua mana yang bisa menerima jika anaknya dipermalukan? Jumat,
> 22 Sept , minggu lalu, sesaat
> sebelum aku makan siang, HP ku berbunyi dan nampak nama "Papa Bas"
> di layar hp ku.
> "Halo" Sapaku
> "Sedang apa, ma?" tanya suamiku di seberang telephone
> "Siap-siap mau makan siang, ada apa?" Ganti aku yang berbalik tanya.
> "Saya cuma mau kasih tahu. Bastiaan dipermalukan di sekolah! Ujarnya
> dengan suara bergetar. Aku
> paham, suamiku berusaha menahan amarah.
> "Sabar pa, cerita dulu dong!"
> "Nanti saja di rumah!" dan suamiku mengakhiri pembicaraan.
>
> Kini tinggal aku yang termangu, mana bisa aku konsentrasi bekerja
> kalau mengingat cerita suamiku
> tadi. "Bastiaan dipermalukan" . Oleh siapa dan mengapa?" tanyaku
> dalam hati. Tak sabar rasanya
> menanti jam pulang kerja.
>
> Saat jam kerja usai, suamiku sudah menjemput. Kami sepakat singgah
> di warung soto untuk berbicara.
> Mulailah suamiku bercerita. Yang diceritakan terlebih dahulu bukan
> persoalan Bas tapi pergumulan
> suamiku yang tidak terima karena hukuman yang diterima Bas.
>
> Ketika suamiku datang ke sekolah untuk mengantarkan seragam Tae Kwon
> Do karena setiap jumat Bas
> mengikut ekskul tersebut. Biasanya suamiku akan melihat Bas yang
> bersenda gurau dengan
> kawan-kawannya di lapangan sekolah. Karena di lapangan tidak nampak,
> suamiku berjalan ke kelas Bas
> dan disana ia melihat Bas sedang duduk dengan tangan bersidekap di dada.
> "Halo Bas, kok tidak ke lapangan?" sapa suamiku
> "Aku malu!" Jawab Bas sambil menundukkan kepalanya di meja.
> "Malu kenapa Nak?" suamiku menjadi heran. Perlahan Bas melepaskan
> tangannya dari dada dan nampak
> sebuah tulisan yang dikalungkan di lehernya "AKU ANAK MALAS.
> Kemalasan mengakibatkan kebodohan"
>
> "Reaksi pertama membaca tulisan tersebut, saya membenarkan. Lalu
> saya katakan pada Bas. Sama seperti
> yang sering Papa dan mama katakan, kakak tidak boleh malas belajar!
> Cerita suamiku. Tapi betapa
> terpukulnya saya, ketika Bas dengan tegas mengatakan: Aku
> dikalungkan tulisan ini bukan karena aku
> malas belajar tapi tadi pagi aku terlambat datang ke sekolah!"
>
> Sebelum suamiku melanjutkan ceritanya, aku yang merasa terpukul.
> Keterlambatan Bastiaan berkaitan
> dengan aku. Jumat pagi tadi aku  ada "Breakfast Meeting". Karenanya
> aku ikut berangkat saat Bas di
> antar suamiku. Cuma karena aku teledor, aku lupa meletakkan kacamata
> dan HP sehingga ketika akan
> berangkat, jadi tertahan untuk mencari dua benda tersebut. Ahirnya
> dua benda tersebut tidak ketemu
> dan Bastiaan terlambat.
>
> "Aku menyesal gara-gara aku, Bas dipermalukan! Ujarku penuh penyesalan.
> "Itulah! Kemarahan saya atau ketidak terimaan saya Bas dipermalukan
> karena bukan kesalahan Bas!"
> Ujar Frisch dengan emosi.
> "Iya tapi kan sekolah tidak tahu kalau Bas terlambat karena aku!" kataku
lagi.
> "Ma, apakah hukuman dengan mengalungkan tulisan semacam itu
> mendidik? Bas begitu shock, menurut
> kawan-kawan dan satpam dia tidak keluar kelas saat jam istirahat.
> Belum lagi menahan rasa karena
> kawan-kawan yang mengolok-oloknya." Frisch masih emosi. Lalu
> dilanjutkan dengan suara bergetar kali
> ini mehahan tangis.
> "Kamu tahu ma, demi anak-anak aku rela bangun sebelum pukul 5 pagi
> biarpun aku baru dari luar kota.
> Agar jangan terlambat... apakah sikap seperti ini over protecktive?"
> "Entahlah, yang pasti  mama menyesal, ini kesalahan mama" kataku
> dengan perasaan tidak enak.
> "Ok. Tapi bukan itu masalahnya. Bas ini baru kelas satu, kalau dia
> sudah merasa tidak nyaman di
> sekolah, bagaimana dia mau terus bersekolah? Saya sangat bersyukur
> Bas tidak pernah mengeluh walau
> pukul 5 pagi sudah harus bangun. Tapi kalau sekolah memberi hukuman
> tidak mendidik justru membuat
> secara kejiwaan Bas terluka, saya merasa sangat sakit, ma!' Ujar
> suamiku dengan penekanan kata pada
> sakit!
>
> Jujur sayapun terluka. Bahkan terluka 3 kali lebih banyak dari yang
> di rasa Bas dan Frisch. Pertama
> Ibu mana yang rela anaknya dipermalukan. Kedua aku punya andil atas
> keterlambatan Bas. Ketiga,
> betapa pedih hati ini mengetahui kecintaan Frisch pada Bas yang
> sangat luar biasa dan kini
> dihadapanku berusaha menahan airmata ketidakrelaan akan anaknya yang
> dipermalukan.
> "lalu apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku pelan
> "Saya akan menemui guru piket tersebut atau kepala sekolah untuk
> memprotes" Jawab Frisch
> "Tapi kalau hukuman itu sudah lama diterapkan dan tidak ada yang
> protes?" tanyaku
> "Anak orang bukan urusan saya, tapi Bas tanggung jawab saya. Dan
> hukuman itu tidak mendidik. 3 hal
> mengapa saya tidak terma. Pertama, Bas baru kelas satu dan untuk ke
> sekolah Bas masih bergantung
> dengan orang lain dalam hal ini orang tuanya. Karena itu tegurlah
> orang tuanya. Kedua, ini
> keterlambatan Bas yang pertama. Ketiga, Bas terlambat tidak sampai 5
> menit, apakah adil dia
> dipermalukan 4 jam?
>
> Aku tidak berkomentar atas analisa Frisch karena aku membenarkan.
> Aku hanya berpesan, untuk menjaga
> pembicaraan denga pihak seolah tidak emosi dan tetap sopan, karena
> biar bagaimanapun Bas baru kelas
> satu, kami masih akan terus berhubungan dengan pihak sekolah selama
> Bas masih terdaftar sebagai
> murid.
>
> Frisch mengatakan, justru karena hal tersebut, maka sebagai orang
> tua kita harus mengemukakan
> uneg-uneg agar jangan menjadi kendala di kemudian hari, apalagi
> sampai mempengaruhi kegiatan belajar
> Bas di sekolah.
>
> Selesai saling mencurahkan isi hati kamipun bergegas pulang. Seperti
> biasa saat mendengar suara
> motor suamiku, Bas dan Van langsung muncul di muka pintu. Tertawa
> dan bertepuk tangan sambil berkata
> "Mama pulang....Papa pulang!" Hatiku sedang sakit sehingga agak
> sulit memunculkan senyum di wajah.
> Ku sembunykan wajahku di dada Van. Sementara Bas memeluk pinggangku.
>
> Keduanya mengiring aku kekamar. Van pindah kepelukan papanya, akupun
> memeluk Bas. Dengan menguatkan
> hati kucoba memulai pembicaraan dengan Bas.
> "Mama dengar dari papa, Kakak tadi di hukum ?"
> "Iya. Di suruh pakai kalung tulisan "Aku Anak Malas....... .....
> "Benar kakak malas?" tanyaku
> "Eh...aku dikalungkan tulisan itu karena aku terlambat" Jawab Bas lagi
> "Bagaimana teman-teman kakak?"
> "Ya aku diledek-ledek tapi aku bilang kalau nanti kamu pakai kalung
> seperti ini, mau tidak aku
> ledek-ledek? Kalau tidak ya jangan meledek dong. Jadi tidak di ledek
lagi.
> "Kakak malu?" tanyaku. Kali ini Bas mengangguk. Aku memeluknya.
> "Maafin mama kak, gara-gara mama kakak jadi terlambat dan di hukum!"
> kataku tanpa melepaskan
> pelukan. Bas hanya tertawa.
>
> Aku tidak tahu apa yang dirasa Bas. Tapi berharap, ini tidak akan
> terulang dan hukuman yang diterima
> Bas tidak meninggalkan trauma. Dan aku mendukung rencana Frisch yang
> akan menemui guru piket dan
> pihak sekolah untuk memprotes. Hak kami sebagai orang tua untuk
> menyampaikan sesuatu yang dirasa
> kurang pada tempatnya.
>
> Ini juga bentuk masukan kami, agar sekolah bisa memberikan sanksi
> yang lebih mendidik! Sehingga
> pengalaman Bas tidak dialami anak lain dan kami turut menjaga
> kelangsungan proses belajar mengajar
> yang lebih kondusif. Semoga Bas, menjadi anak terakhir yang
> dipermalukan!" (Icha Koraag)

Kirim email ke