From: Sholichah <[EMAIL PROTECTED]>
To: [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Tuesday, May 16, 2000 05:18
Subject: Re: [balita-anda] ##### Satu Penyakit Empat Kesimpulan


Wah itu sich doctor shopping namanya (pergi keberbagai dokter  untuk satu
gejala yang sama) Mnrt saya, bukan kesimpulannya yg beda. Tp hal ini
didasari  bahwa seorang dokter tidak boleh langsung merasa yakin atas
diagnosa yang dibuatnya.
========================
Hallo Mbak Sholichah Yth :

Soalnya sejumlah dokter, meskipun lulusan dari perguruan tinggi yang sama,
tahun alumnus sama, namun mempunyai sejumlah tipe intelektual, yakni :

Dokter yang pengetahuannya sedikit, juga dangkal <genangan>
Dokter yang pengetahuannya sedikit, tapi dalam <sumur>
Dokter yang pengetahuannya luas, juga dalam <danau>
Dokter yang pengetahuannya luas, tapi dangkal <empang>

Coba baca/kaji makalah saya di bawah ini

Salam,



Nasrullah Idris
----------------------
Bidang Studi : Reformasi Sains Matematika Teknologi
http://bdg.centrin.net.id/~acu


Hemat Waktu Sampai 50% untuk Jadi Dokter
----------------------------------------------------------
     Oleh : Nasrullah Idris

PEMBUKA
     Alasan saya menulis ini berhubung sebentar lagi kita akan memasuki era
globalisasi di banyak bidang, termasuk pelayanan medis. Bangsa Indonesia
untuk berbagai segmen kedokteran mau tidak mau akan dihadapkan pada
persaingan ketat sesuai spesialisasinya masing-masing. Tentu untuk
mengantisipasinya antara lain memerlukan dokterdengan kamampuan daya saing
juga dalam "mendiagnosa penyakit pasien", "meningkatkan peluang kesembuhan",
sampai "menekan efek sampaingan". Ini bila kita nanti masih ingin menjadi
tuan rumah di negeri kita sendiri.
     Rasanya siapa pun akan merasa sedih, perih, malah sakit bila dokter
asing sampai "berperan lebih besar" dan "berapresiasi lebih tinggi".
     Nah mumpung belum terlanjur begitu jauh, siapkanlah segala bentuk
antisipasinya sejak dini. Adanya goncangan krismon secara tidak terduga di
Indonesia di mana dampaknya terasa pula pada biaya kesehatan hendaknya
membuat kita semakin menyadari akan pentingnya persiapan tersebut. Sekaligus
dijadikan pelajaran untuk mewaspadai berbagai kemungkinan dunia kedokteran
pada era tersebut, terutama yang sampai kini belum terpantau. Tentu saja
untuk membentuk semacam itu berarti mengajak para dokter kita untuk
berkompetisi dengan semua bangsa lain dalam hal mencari/mendalami ilmu :
kualitas, efisiensi, efektivitas, maupun kuantitasnya.
CARA I
     Taroklah standar waktu minimal untuk menjadi dokter di Indonesia
sekitar X tahun. Sebagaimana dinamika kedokteran, apa salahnya itu berlaku
pula pada fakultasnya. Misalkan, bagaimana hanya dalam 1/2 masa
kuliah/praktek , wawasan mahasiswa sudah ekuivalen dengan wawasan dokter
yang diidealkan berdasarkan kurikulum.
     Berarti ia telah menghemat waktu sampai 50 persen dalam proses
pembentukan untuk menjadi dokter. Taroklah sisa waktunya dipakai belajar
dengan pola yang sama, maka saat wisuda, kualitas SDM-nya menjadi dua kali
lipat. Apakah bisa? Ya "Bisa!".
     Jadi esensi pemikiran saya adalah mengajak/memotivasi mahasiswa
mempunyai obsesi untuk berwawasan teknologi dengan substansi lebih dari yang
diidealkan tersebut.
     Namun mohon tidak terperangkap dengan istilah 50 persen. Itu hanya
patokan saya saja. Tetapi ya syukur-syukur bisa terwujud. Malah lebih dari
itu. Mau berapa persen pun silakan saja. Toh setiap mahasiswa mempunyai
kemampuan berlainan dalam menyerap ilmu dalam kurun waktu yang sama.
Ilustrasinya begini :
     Anggaplah masa kuliah dengan "disket 1,4 MB". Sedangkan satuan ilmunya
dengan "file animasi".
     Bila diisi dengan format *.BMP @ 35 KB, total yang bisa masuk hanya 40
file. Tetapi kalau dikonversikan ke format *.JPG @ 17,5 KB menjadi 80 file.
Berarti penghematan 50 persen, bukan?
     Kita ambil contoh ilustrasi lainnya dari anak-anak. Taroklah kita
menemukan suatu jenis batu di Amerika Serikat, yang di Indonesia hampir
tidak ditemukan. Ketika pulang ke tanah air, tanyakanlah kepada bocah kelas
I SD, "Kalau batu ini dilemparkan ke kepalamu, bagaimana rasanya?". "Ya
.sakit, dong!", begitulah jawabannya. Bisa kita perkirakan dengan mudah.
     Nah apa yang menjadi patokannya, sehingga si anak bisa menyimpulkan
demikian? Padahal melihat batu itu pun belum pernah.
     Jawabannya tentu saja berdasarkan sifat batu yang mungkin pernah
ditemuinya di mana ketika menimpa kepala, yang bersangkutan merasa sakit.
Terlebih kalau itu dialaminya sendiri.
     Apakah untuk menjawabnya, ia harus menanyakan dulu kepada guru atau
orangtuanya? Jelas tidak perlu.
     Malah ia pun akan bisa menjawab pertanyaan, "Bagaimana sifat batu
ini?", dengan jawaban, "Keras!", walaupun tidak dirabanya.
     Taroklah kita membawa 100 macam batu langka, ia pun tetap bisa menjawab
untuk pertanyaan yang sama. Berarti kan ia mempunyai tambahan 100 macam ilmu
dalam tempo singkat hanya dengan pengalaman dari beberapa sifat batu yang
sering ditemuinya. Jadi esensinya, bagaimana cerita si anak bisa
ditransformasikan dalam Perguruan Tinggi? Khususnya dalam upaya penghematan
waktu secara maksimal untuk menjadi dokter.
     Amatilah 26 jenis penyakit flu di bawah ini : Flu A, Flu B, sampai Flu
Z Nah bagaimana dengan hanya mempelajari ini saja, mahasiswa bisa memahami
sifat 78 jenis penyakit flu lainnya. Taroklah waktu mempelajari setiap jenis
penyakit flu adalah 2 jam. Berarti semuanya menghabiskan 52 jam. Tetapi
karena dipahami secara tuntas/dalam/integratif, maka untuk mempelajari 78
jenis penyakit flu lainnya cukup 104 jam saja, tidak harus sampai 208 jam.
Berarti bisa menghemat waktu sampai 50 persen.
CARA II
     Meningkatkan kualitas dokter pun bisa juga dilakukan dengan memahami
jaringan pada organ tertentu. Misalkan Usus Buntu. Taroklah untuk jaringan
kita simbolkan dengan "M1, M2, M3, M4, M5" di mana mahasiswa A mendalaminya
secara tuntas, detail, dan integratif.
     Sedangkan organ itu kita simbolkan dengan "M" Karena ia memahami "M1,
M2, M3, M4, M5" secara tuntas, detail, dan integratif, ia pun berhasil
melakukan hubungan relasi secara interen pada "M1, M2, M3, M4, M5" sehingga
menghasilkan "5 faktorial pemahaman", yaitu 1 x 2 x 3 x 4 x 5 pemahaman =
120 pemahaman, seperti "M1, M3, M5, M2, M4" dan "M4, M2, M5, M3, M1". Karena
semakin didalami, muncul pula inisiatif mengkombinasikan antara sejumlah
pemahaman, seperti "M1, M3, M2, M5, M4", "M5, M1, M2, M3, M4", dan "M4, M2,
M3, M5, M1"
     Bisa dibayangkan berapa banyaknya produktivitas pemahaman dari hasil
rekayasa otaknya. Berarti semakin besarlah peluang untuk menyeleksi, mana
saja pemahaman yang bisa dipakai untuk mendiagnosa Usus Buntu, serta bisa
bersaing dengan mereka yang cara belajarnya menggunakan cara yang sama.
Rasanya akan semakin dahsyat lagi produktivitas pemahamannya seputar Usus
Buntu bila ia terkonsentrasi total pada "M1, M2, M3, M4, M5".
     Coba bayangkan. Bagaimana pula jika ia tidak mendalaminya sedikit pun
alias "sepintas" atau "sekedar"nya.
     Mari kita kembali pada masalah "M1, M2, M3, M4, M5".
     Berarti mahasiswa itu mendalami jaringan dalam rangka memahami sifat
Usus Buntu pada berbagai situasi dan kondisi. Sekaligus akan membuat
pemikirannya seputar Usus Buntu semakin fleksibel. Sehingga semakin mudahlah
baginya untuk mengantisipasi problema yang berkaitan dengan gangguan Usus
Buntu.
     Sosok mahasiswa seperti itu tidak hanya bisa menjawab seputar
pertanyaan seperti :"Bagaimana sifat jaringan a, b, c, atau dst pada Usus
Buntu?", juga "Bagaimana dengan pemberian obat x1, x2, x3, atau dst, untuk
pasien dengan kondisi y1, y2, y3, atau ds, serta diberikan dengan cara
z1,z2, z3, atau dst?"
CARA III
     Meningkatkan kualitas dokter pun bisa dengan merencanakan pola belajar
sejak dini sehingga setelah menjadi alumnus bisa melakukan intas sektoral
dalam profesi kedokteran.
     Alumnus Dokter spesialis A, misalnya, bisa saja menangani pasien
penyakit B. Dalam hal ini masalah kode etik profesi kita abaikan sajalah
dulu. Otak Dokter spesialisasi sebenarnya bisa seperti "Pisau Multi Fungsi".
Walaupun ketika diasah hanya dicoba untuk memotong pepaya, tetapi kalau
sudah tajam bisa juga dipakai untuk memotong apel, mangga, sampai jambu.
Bercerminlah kepada anak SD kelas I. Ia belajar : 1 BEBEK + 3 BEBEK = 4
BEBEK 3 SALAK + 4 SALAK = 7 SALAK Coba ajaklah ke perusahaan onderdil mobil.
Kemudian tanya, berapa : 2 BUSI + 5 BUSI = 1 PERSNELENG + 1 PERSNELENG =
Rasanya ia akan bisa menjawab, meskipun saat ujian/ulangan di sekolah, ia
tidak pernah memperoleh dua pertanyaan berisi kata "BUSI" maupun
"PERSNELENG".
     Jadi otak dokter spesialisasi seperti itu boleh dikatakan "IRISAN" dari
berbagai kedisiplinan kedokteran. Tinggal sekarang, bagaimana memperbesar
substansi "IRISAN" itu ?
     Antara lain dengan memahami jaringan secara "tuntas, detail, dan
integratif", sebagaimana sudah saya sampaikan dalam bentuk model matematika
pada sub makalah












>> Pusing milih POP3 atau web mail? mail.telkom.net solusinya <<
>> Belanja Info & Keperluan Balita? Klik, http://www.balitanet.or.id
>> Info balita, http://www.balita-anda.indoglobal.com
Etika berinternet, email ke: [EMAIL PROTECTED]
Stop berlangganan, e-mail ke: [EMAIL PROTECTED]












Kirim email ke