Empat Polemik Budaya untuk Islam Liberal
Oleh Nirwan Dewanto
01/05/2006

Berbeda dengan kaum pembela sastra kontekstual, JIL menemukan
universalisme, yaitu ajaran yang merawat kesederajatan manusia
sedunia. Namun Islam telah (dan harus) terterjemahkan kepada konteks
budaya setempat, sebab, jika tidak, ia hanya sekadar cetusan kultur
Arab, atau terpenjara dalam politik keagamaan tertentu.

SEBAGAI gerakan kebudayaan, Jaringan Islam Liberal (JIL) mengulangi
lagi sekian polemik kebudayaan di tanah air kita, namun dengan lebih
intens, mendasar, dan kreatif.

Kita ingat Polemik Kebudayaan 1930-an, saat para intelektual kita
memasalahkan orientasi nilai bangsa yang mau dilepas bila hendak masuk
ke dalam modernitas – Barat atau Timur?

Seakan menegaskan kembali anjuran Sutan Takdir Alisjahbana, JIL
memeluk rasionalisme, sebab dengan inilah dunia menjadi modern, di
mana kebebasan individu terjunjung tinggi dan sains menyinari perilaku
alam dan manusia. Namun, berbeda dari Takdir, anak-anak muslim ini tak
menjadi pengagum Barat. Sebab bagi mereka, modernisme bukan hanya
Barat, sebagaimana Islam bukan hanya Arabisme.

Para pembela Timur dalam Polemik Kebudayaan terdidik secara Belanda
dan memendam rasa rindu-kampung berlebihan. Tertunduk lesu di hadapan
kuasa Barat, mereka lantang mencari Timur. Tapi bukankah ini Timur
yang second hand, yang sudah diciptakan-kembali oleh teosofi dan
orientalisme, yang tak lain pengetahuan Barat juga?

Para eksponen JIL tak merasa perlu menjadi penganjur Timur, sebab
mereka sendiri kebanyakan anak-anak dusun atau kota kecil yang
terdidik secara Timur di pesantren. Mereka membaca kitab-kitab
keagamaan tradisional. Namun ketika mampu berbahasa Arab, lingkungan
"kampungan" itu pun tersambung ke khazanah bacaan Islam seluruh dunia
dari segala abad.

Itu sebabnya mereka mampu membaca Timur dari dalam. Tapi pada saat
yang sama, mereka menyadari kemandegan dunia Islam dan menarik
pelajaran dari sekian proyek pembaharuan pemikiran Islam.

Pun karena terbiasa mendaras dan mengaji (atau mengkaji), dengan mudah
mereka melangkah ke khazanah lain, katakanlah Barat, yang telah
melahirkan Pencerahan. Berjalan ulang-alik antara pusat-pusat metropol
dunia dan kampung halaman, tak perlulah mereka membuat apologia
keterbelakangan umat sendiri.

**

ADA sejumlah polemik kebudayaan yang bersoal-jawab dengan orientasi
nilai dan sumber penciptaan sejak 1950-an. Namun, Polemik Sastra
Konstekstual 1980-an, saya pandang membayangi ijtihad JIL.

Kaum sastrawan "tinggi" kita, kata para pengusung sastra kontekstual,
mengejar sastra universal yang dipandang menurut tolok-ukur sastra
dunia; sastra yang tak terikat waktu dan ruang. Menurut kaum
kontekstualis, sastra universal sesungguhnya tidak ada, kecuali
sebagai kedok-ideologis sastrawan yang hendak bergabung dalam kelas
dominan. Gantinya adalah sastra kontekstual, yaitu sastra dengan
muatan kesadaran kelas atau yang terikat kepada golongan pembaca tertentu.

Bukan kebetulan bahwa lawan kaum kontekstualis adalah para sastrawan
yang, ketika itu, mengambil ilham dari khazanah keislaman, khususnya
sufisme. Menurut kaum universalis ini, sastra menangkap keindahan yang
bagai cerminan Tuhan, bebas dari kondisi obyektif di bumi.

JIL adalah penganjur kontekstualisme, tapi dalam bentuk lain. Setiap
pembacaan (atas Quran, hadis, dan kitab keagamaan apapun) pada
dasarnya menyingkap konteks yang melahirkan teks-teks itu, serta
membongkar kuasa dan sejarah yang membuat tafsir hari ini begitu
membelenggu pembaca. Dan ini tiada lain sebentuk studi filologi yang
membuat teks penuh paradoks, dan dengan begitu mampu menggerakkan
nalar dan kreatifitas.

Berbeda dengan kaum pembela sastra kontekstual, JIL menemukan
universalisme, yaitu ajaran yang merawat kesederajatan manusia
sedunia. Namun Islam telah (dan harus) terterjemahkan kepada konteks
budaya setempat, sebab, jika tidak, ia hanya sekadar cetusan kultur
Arab, atau terpenjara dalam politik keagamaan tertentu.

Berbeda dengan kaum pembela sastra universal yang hendak mengusung
khazanah keagamaan sebagai alternatif Barat yang mereka tuduh
penyeleweng universalisme, JIL mampu menemukan kebenaran Islam dalam
pelbagai agama dan filsafat manapun.

Bagi Jaringan Islam Liberal, kontekstualisme adalah metoda dan
universalisme adalah tujuan.

**

BERPEGANG bahwa Islam adalah ajaran universal, JIL pun memasuki
polemik tentang hubungan Islam dan negara—dan ini melanjutkan polemik
yang sudah mulai sejak penyusunan konstitusi kita di masa Revolusi.

Cita-cita untuk memasukkan ajaran Islam sebagai dasar negara masih
berlangsung sampai hari ini. Baru di awal 1970-an Nurcholish Madjid
berhasil memajukan argumen teologis yang cemerlang: kaum muslimin
sudah terlalu lama menganggap sakral hal-hal yang sesungguhnya
bersifat duniawi, misalnya negara dan partai Islam. Penggelolaan
negara jelaslah bidang duniawi, dan umat Islam bisa belajar dari
bangsa-bangsa lain.

Dengan kata lain, negara tak mungkin menempuh dimensi spiritual guna
mengurusi warganya. JIL meneruskan pandangan ini dengan lebih rinci
dan gamblang. Mereka tunjukkan betapa tak maslahatnya negara-negara
yang menerapkan syariat, dan betapa terbelakang mereka yang menolak
demokrasi dan hak asasi manusia.

Sejarah hidup Rasulullah yang sering dianggap teladan tertinggi oleh
sebagian besar umat Islam, bagi JIL hanyalah salah satu cara
menerjemahkan Islam universal di muka bumi. Maka, dengan cergas
anak-anak dusun yang kini menjadi manusia kosmopolit itu menolak
idealisasi khilafah maupun negara Islam yang sepanjang sejarah gagal
menjadi sistem politik yang rasional.

Jelaslah, negara-bangsa yang memisahkan kuasa politik dari kuasa agama
adalah pilihan yang tak tertawar lagi. Buat JIL, kaum muslimin harus
melihat dirinya tak berbeda dari umat lain dan, lebih khusus lagi, tak
memelihara minority complex—kompleks kaum yang merasa hak dan
aspirasinya diabaikan setiap kali—sebab merekalah sang mayoritas.

**

SEBAGAI penafsir piawai khazanah pemikiran Islam sekaligus khazanah
Pencerahan Eropa, JIL pun harus berpolemik dengan kaum pascamodernis
yang begitu curiga pada rasionalisme dan modernisme.

Kaum pascamodernis pada dasarnya berkeberatan pada, kalau bukan
menolak, sains sebagai jalan satu-satunya menuju kebenaran; ada jalan
lain yang lebih "sejati", yaitu opini, konvensi, tradisi, atau
konsensus. Dengan kata lain, kebenaran selalu bersifat nisbi karena
terikat kuasa dan kepentingan; kebenaran bagi sebuah masyarakat selalu
tak terukur oleh kebenaran masyarakat lain.

Bagi kaum pascamodernis, yang sekaligus merangkap kaum apologis Islam,
proyek orientalisme belum selesai, namun menyaru dengan modernitas
(dan modernisme) yang menyebar ke seluruh dunia, menyatu-ragamkan
masyarakat-masyarakat bekas jajahan.

Pada suatu masa, pascamodernisme terasa membebaskan, karena mampu
menyuarakan the other, pelbagai khazanah yang tersingkir, terkubur,
dan terabaikan oleh modernitas. Perlahan-lahan, kian terlihat bahwa
pascamodernisme, oleh teorinya tentang ketakterukuran budaya, sanggup
juga membela perdukunan, amuk massa, dan fundamentalisme.

Seperti para eksponen JIL, kaum pascamodernis, khususnya
muslim-apologis, juga dibesarkan tradisionalisme. Tapi bila khazanah
Islam klasik mengantar kaum muslim liberal ke gagasan Pencerahan, kaum
apologis justru menggunakan jargon Barat untuk membela tradisionalisme
dan semangat Anti-Pencerahan.

JIL bukan pembela buta modernisme. Mereka bisa juga menjadi
pascamodernis, dalam arti mengharuskan penerjemahan Islam ke konteks
lokal. Keragaman ekspresi adalah tanda dinamika Islam, yang siap
bergulat dengan budaya manapun, termasuk modernitas.

Bagi kaum muslim liberal, keragaman tidak hanya yang tampak dari luar,
namun harus juga mengarah ke dalam. Pluralisme mesti menjadi
kritik-diri, sebab setiap ekspresi keagamaan, dalam dirinya sendiri,
berpotensi membungkam suara lain.

Dan pluralisme adalah jalan menuju kedaulatan individu dan
kesederajatan manusia sedunia. Tanpa ini, kita akan membiarkan, bahkan
merestui, pelanggaran hak asasi. Kaum muslim liberal membuktikan bahwa
kaum pascamodernis telah memberi landasan teoritis pada kekerasan atas
nama agama.

Demikianlah JIL memperdalam, seraya mencapai apa yang belum tercapai
oleh, sekian polemik kebudayaan kita.

Tapi lawan-lawan polemis mereka, yang tak mampu menandingi argumen
maupun penguasaan khazanah mereka, memusatkan diri bukan di lapangan
kebudayaan, melainkan politik. Kian banyaknya peraturan daerah dan
rancangan undang-undang yang mencerminkan fiqihisme, menggiring ranah
publik kita ke masa lampau yang jauh dan gelap.

Maka gerakan kebudayaan tak memadai lagi, bukan?

*) Nirwan Dewanto, sastrawan dan editor. Bekerja untuk jurnal
kebudayaan Kalam dan lembar sastra Koran Tempo Minggu.





http://groups.yahoo.com/group/baraya_sunda/

[Ti urang, nu urang, ku urang jeung keur urang balarea]




SPONSORED LINKS
Spanish language and culture Indonesian languages Indonesian language learn
Indonesian language course


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke