Forum Budaya Derita Perempuan Sunda oleh Atep Kurnia
Saudara Henry H Loupias membuka wacana. Dalam tulisannya, "Ngajarkeun Basa Sunda" yang dimuat pada rubrik Anjungan Kompas, Sabtu (19/5), ia menganggap bahwa pernikahan campur antara orang Sunda dan orang asing tidak akan menyebabkan bahasa Sunda mengalami perubahan yang cukup signifikan. Akan tetapi, saya tidak hendak menanggapi masalah tersebut. Yang saya ingin tanggapi adalah masalah pernikahan zaman kolonial dan keberadaan nyai-nyai. Ia, misalnya, mengatakan, banyak pria Belanda totok (volbloed) ataupun indo (indischmen atau halfbloed) menikahi mojang-mojang Priangan. Sebaliknya, tidak sedikit pula noni Belanda yang memilih pria Sunda sebagai suaminya. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa pada zaman pendudukan Belanda banyak mojang Sunda memilih tidak menikah resmi dengan "suami"-nya karena kepindahan agama. Untuk itu, mereka memilih sekadar hidup bersama (samenleven) dan wanita tersebut sering disebut nyai-nyai. Bukankah yang terjadi justru sebaliknya. Jarang sekali terjadi pernikahan yang resmi antara wanita pribumi dan pria Belanda, apalagi wanita Belanda yang memilih pria pribumi sebagai suami. Yang terjadi malah lebih pada praktik pergundikan. Sebelumnya, pada zaman menak, perempuan Sunda-terutama dari kalangan somah-sering diperlakukan semena-mena. Dengan kekuasaannya, menak-menak sering mengambil somah perempuan sebagai selir dengan paksa. Tidak peduli mereka telah memiliki pacar atau bersuami. Dari sejarah dan karya sastra, kita dapat memberikan contohnya. Apun Gencay yang telah memiliki pacar (beubeureuh)-seorang pemuda Cipamingkis-dijadikan selir oleh Dalem Wiratanudatar, dengan jalan disanggrah. Namun nahas, menak Cianjur itu kemudian dibunuh oleh pemuda kekasih Apun Gencay. Pemuda itu pun lantas dibunuh oleh para punggawa Kabupaten Cianjur. Demikian pula pada karya sastra, Baruang ka nu Ngarora, karya DK Ardiwinata (1914), ada tokoh Nyi Rapiah. Ia adalah istri tokoh Ujang Kusen. Namun, kemudian Nyi Rapiah direbut dengan cara dirayu dan ditipu oleh Aom Usman, seorang menak. Nyai-nyai Dari Ensiklopedi Sunda (2000: 455) dengan Ajip Rosidi sebagai editor, diperoleh keterangan bahwa nyai-nyai merupakan sebutan umum terhadap perempuan yang menikah atau kumpul kebo dengan orang asing yang tidak beragama Islam. Sementara dari sisi sejarah, menurut Capt RP Suyono dalam tulisannya, "Antara Nyai dan Perempuan Indo", yang dimuat dalam Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial (2005: 16-42), kumpul kebo antara pria Eropa/Belanda dan wanita pribumi sudah berlangsung sejak Jan Pieterzoon Coen pertama kali menginjakkan kaki di Hindia Belanda pada 1619. Praktik nyai-nyai ini timbul sebagai akibat jarangnya wanita Eropa yang ada di Hindia Belanda. Kelangkaan ini pun berkait erat dengan peraturan yang ada. Salah satunya adalah seorang pria Eropa dilarang menikah bila tidak ada izin dari atasannya. Kelangkaan inilah yang mengakibatkan terjadinya ikatan antara pria-pria Eropa dan wanita pribumi Asia. Selanjutnya pada 1816 perbudakan di Hindia Belanda dihapus. Namun, budak wanita menghilang dan tempatnya digantikan oleh nyai-nyai. Hingga tahun 1940, pergundikan ini masih banyak terjadi, terutama di kalangan pegawai perkebunan. Sejatinya, fungsi seorang nyai-nyai adalah pengurus rumah tangga. Ia bergerak antara batas pembantu, ibu rumah tangga, istri, dan pelacur. Bila si pria lebih berpendidikan atau lebih makmur, fungsi nyai berkurang sebagai istri ataupun pembantu. Yang lebih banyak justru sebagai budak. Namun, bila si pria tidak peduli terhadap hubungan ini, sang nyai akan lebih banyak jatuh ke arah kedudukan sebagai pelacur. Ketika seorang nyai melahirkan anak, ia dapat dituduh sengaja melakukannya. Hal ini dapat menyebabkan si nyai dan anaknya dikeluarkan dari rumah. Namun, ada juga anak yang disahkan karena sesudah tahun 1915, anak-anak yang berasal dari hubungan demikian dapat ditampung di "Bala Keselamatan" yang memang didirikan untuk menampung anak-anak tersebut. Ada juga yang dibawa ayahnya pulang ke Eropa. Yang jelas, seorang nyai setiap saat dapat dikirim kembali ke rumahnya di kampung, baik ada anak maupun tidak anak yang dihasilkan semasa pergundikan terjadi. Menurut Haryoto Kunto dalam Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986: 276-290), pergundikan di Priangan terutama menyangkut kumpul kebo antara orang Eropa/Belanda yang hidup sebagai preangerplanters (orang perkebunan di Priangan) dan para mojang di pegunungan. Akibat dari praktik nyai-nyai ini sungguh mengerikan. Kunto (1986: 276), misalnya, mengutip Race and Culture Contacts (1934) karya Robert E Park & EB Reuter. Di situ ada pernyataan, one man, a Hollander, who was very free with the native woman on his plantation and who kept track of his children had over fourteen hundred descendants in thirty years (seorang pria Belanda yang kelewat bebas menggauli para wanita di perkebunannya telah meninggalkan anak keturunan sebanyak 1.400 orang yang "dicetak" dalam waktu tiga puluh tahun). Selanjutnya, Kunto mengutip lagi, there are kampungs that are known to be full of mixed bloods (ada beberapa kampung yang banyak dihuni oleh penduduk berdarah campuran itu). Sastra Sunda Sementara itu, karya sastra Sunda-sebagai cermin kenyataan-ada yang menggambarkan keterpaksaan para wanita Sunda untuk menjadi nyai-nyai. Beberapa novel Sunda dari era sebelum perang, sebagaimana yang dapat dibaca dalam Ensiklopedi Sunda (2000: 148, 600), dapat dijadikan contoh. Dalam Siti Rayati (1923) karya Moh Sanusi, Tuan Steenhart yang terkenal galak kepada orang pribumi memerkosa Patimah, tukang petik teh di perkebunan Ragasirna. Patimah pun hamil. Namun, ketika ia minta dijadikan nyai-nyai, Steenhart malah mengusirnya dan menendanginya. Begitupun dengan tokoh Imas dalam Carios Agan Permas (1926) karya Joehana. Setelah terlepas dari Haji Serbanna yang menculik dari suaminya, Otong, Imas yang kagok borontok kapalang carambang pun berani berpura-pura jadi Agan Permas dan bersedia menjadi nyai-nyai seorang tuan kawasa perkebunan. Carita Nyi Suhaesih (1928) karya SH Kartapradja pun demikian. Nyi Suhaesih yang sering bertengkar dengan suaminya yang diberhentikan dari pekerjaan sebagai pegawai negeri karena ada perampingan pun terbujuk oleh orang yang hendak menjadikannya sebagai nyai-nyai seorang tuan (Belanda) di Bandung. Sementara tokoh Nyi Aminah dalam Carios Istri Sajati (1929) karya Moehamad Moekhtar hampir saja menjadi nyai-nyai. Setelah disia-siakan oleh suami keduanya, Nyi Aminah yang hampir gila hampir terbujuk oleh orang yang akan menjualnya kepada seorang tuan. Demikianlah sekelumit pengalaman pahit yang dialami perempuan Sunda manakala Belanda menancapkan "kuku kekuasaannya" di Indonesia, terutama dengan adanya praktik nyai-nyai. Dan, sastra Sunda memotretnya dengan kegetiran. ATEP KURNIA Penulis Lepas; Tinggal di Bandung