Pelayanan Transportasi
Di Bogor Bisa di Bandung Kapan?

Sudah sejak lama masyarakat disuguhi wacana soal moda transportasi
massal yang nyaman, aman, dan terjangkau. Mulai dari rencana Trans
Metro Bandung (TMB) sampai dengan wacana soal monorail. Akan tetapi,
hingga saat ini belum ada yang terealisasi.

Bahkan rencana operasionalisasi TMB sempat terjungkal. Padahal, bus
rapid transit TMB (bus yang tepat waktu dan hanya berhenti di shelter
dan terminal yang ditentukan -red.) juga digadang-gadang sebagai
alternatif jalan keluar kemacetan di Kota Bandung. Walhasil, hingga
kini bus-bus TMB bantuan dari Departemen Perhubungan masih menganggur.
Padahal, bantuan yang sama juga diberikan kepada Kota Bogor dan DI
Yogyakarta yang kini telah beroperasi.

Tidak hanya di Kota Bandung, di Bogor kehadiran bus rapid transit
Trans Pakuan juga sempat mengalami kebuntuan. Sepuluh bus dari 30 bus
yang dimiliki Kota Bogor merupakan satu generasi dengan bus yang juga
diberikan oleh Dephub untuk Kota Bandung pada 2006. Kebuntuan itu
menyebabkan Trans Pakuan baru bisa beroperasi 1,5 tahun kemudian,
yaitu Juni 2007.

"Wajar jika awalnya ada yang menolak, mereka khawatir akan menurunkan
pendapatan mereka. Sebenarnya penolakan itu terjadi karena mereka
belum paham konsepnya. Setelah kita berkomunikasi pada akhirnya mereka
mengerti," Kepala Dinas Perhubungan, Informasi dan Komunikasi (Dishub
Infokom) Kota Bogor Achmad Syarief.

Dilihat dari luasnya, Kota Bogor sebenarnya bukan kota besar. Luasnya
hanya 11.850 hektare, terdiri atas 48 kelurahan yang tersebar di enam
kecamatan. Kota Bogor dalam perjalanannya menjelma menjadi kota yang
padat penghuni. Dengan penduduk mencapai lebih dari 944.000 orang,
kepadatannya mencapai 7.968 jiwa/km2.

Pada awalnya, penduduknya banyak bergantung pada transportasi umum.
Dengan demikian, angkutan kota di Bogor tumbuh bak cendawan di musim
hujan. Jumlahnya sempat mencapai lebih dari 3.500 unit. Kini jumlah
kendaraan pribadi pun meroket. Sepeda motor saja jumlahnya lebih dari
4.000. Belum lagi kendaraan roda empatnya.

Jika pertumbuhan ini dibiarkan, jangan harap bisa berlalu lintas
nyaman di jalanan Kota Bogor. Apalagi jika tidak memiliki kendaraan
pribadi. Kondisi itu akan merugikan sopir dan pengusaha angkot. Mereka
akan kesulitan mencari penumpang. Barangkali hanya terisi 30%.
Akhirnya mereka harus mengetem berlama-lama di jalanan. Pada
gilirannya penumpang akan dirugikan.

"Oleh karenanya, kami berkomitmen untuk perlahan mengganti angkot
dengan transportasi massal, targetnya 2013. Memang ini bukan hal
mudah, tantangannya di sini angkotnya banyak, kendaraan pribadi juga
banyak. Tetapi memang harus disosialisasikan, secara persuasif maupun
edukatif. Minimal Organda Kota Bogor harus tahu kebijakan kita. Selain
itu, juga mengondisikan agar sopir-sopr tahu jenis angkutan baru ini,"
kata Syarief.

Masa sosialisasi dilakukan selama tiga bulan, sejak April hingga Juni
2007. Pada minggu pertama uji coba Trans Pakuan dikawal penuh oleh
aparat. Dengan demikian, Trans Pakuan dipastikan aman saat berhenti di
shelter dan melewati jalur-jalur angkot. "Setelah seminggu sudah tidak
perlu dijaga lagi," ujarnya.

Gejolak yang sebelumnya sempat timbul, tidak sempat meluas. Apalagi
sopir Trans Pakuan semuanya berasal dari sopir angkot. Cara ini
nyatanya terbukti efektif mengatasi riak-riak di akar rumput.

Pengoperasian Trans Pakuan juga tidak muluk-muluk. Tidak ada jalur
khusus, menggunakan jalan yang sama dengan angkot ataupun kendaraan
pribadi. Izin penggunaan jalan pun tidak sulit didapat.

Setelah dinilai siap, Trans Pakuan pun dioperasikan pada Juni 2007,
bertepatan dengan ulang tahun Kota Bogor. Selanjutnya, operasional
Trans Pakuan diserahkan pada Perusahaan Daerah Jasa Transportasi
(PDJT), BUMD yang khusus dibentuk oleh Pemkot Bogor untuk mengelola
Trans Pakuan.

"Hanya Trans Pakuan yang pengelolaannya oleh BUMD. Di Yogyakarta dan
Jakarta dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) yang mendapatkan dana
dari pemerintah. Karena BUMD maka harus menghidupi diri sendiri," kata
Hari Harsono, Direktur PDJT.

Pendirian PDJT dialokasikan dana Rp 30 miliar oleh Pemkot Bogor.
Jumlah itu sudah termasuk aset berupa 30 bus senilai Rp 9 miliar,
kantor dan kelengkapannya. Namun demikian, saat ini dana yang sudah
diterima baru Rp 14 miliar. "Untuk apa banyak-banyak kalau segitu
sudah cukup," katanya.

Dengan harga karcis Rp 3.000,00, saat ini pendapatan PDJT sudah
mencapai Rp 10 juta per hari. Biaya tersebut sudah mampu menutupi
biaya operasional. Termasuk menggaji 82 karyawannya. Namun, belum
mencapai break even point (BEP) sebab belum menutup biaya
penyusutannya. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, diperkirakan
BEP baru tercapai setelah 4 tahun 3 bulan.

Mengingat PDJT juga harus menghasilkan laba, perlu dilakukan
efisiensi. Salah satunya dengan diterapkannya sistem kondektur, bukan
sistem loket di tiap shelter. "Di Yogyakarta, di tiap shelter itu
setidaknya ada lima petugas dalam dua shif kerja, untuk loket,
pemeriksaan, dan satpam. Dikalikan berapa shelter itu? Karena mereka
BLU, ya bisa saja karena ada bantuan dari pemerintah. Sementara kita
kan BUMD, jadi tidak bisa begitu. Tetapi, tidak apa-apa, yang penting
shelter itu sudah cukup nyaman bagi penumpang," katanya.

Saat ini setidaknya terdapat 32 shelter di dua rute Trans Pakuan. Ada
yang berupa shelter sederhana, ada juga yang sudah bagus. Akan tetapi,
semuanya sudah merupakan bangunan tetap yang terdapat atap serta
pijakan yang tingginya disesuaikan dengan bus yang digunakan.
Pembangunannya menggunakan anggaran daerah, namun Hari tidak berkenan
membuka angka pastinya.

"Sekarang saya sudah dikasih bus senilai Rp 9 miliar, kalau saya harus
mengeluarkan uang supaya bus itu bisa jalan ya wajar kan? Yang
penting, bagaimana kemacetan di kota itu bisa terurai," katanya.

Ia mengatakan, tidak menutup kemungkinan pendapatan bertambah dari
pemasang iklan di shelter maupun bus Trans Pakuan. "Tetapi kami tidak
menerima iklan rokok. Sementara selama ini baru rokok yang tertarik
pasang iklan," katanya.

Namun demikian, Syarief menegaskan, Trans Pakuan bukan satu-satunya
jalan yang bisa memecahkan masalah transportasi di Kota Bogor. Harus
dilakukan pembenahan secara terus-menerus. Saat ini, Kota Bogor tengah
mengupayakan adanya pembagian jam operasional angkot agar mampu
mengurangi kepadatan. Sistem itu juga diharapkan mampu mendongkrak
pendapatan sopir angkot. "Memang harus terus dipikirkan bagaimana
supaya tranportasi ini terus membaik tidak boleh berhenti," katanya.

Ya, pemerintah memang tidak boleh berhenti mencari jalan keluar
terbaik dari masalah transportasi. Kalau Kota Bogor saja bisa, kenapa
Kota Bandung tidak? (Catur Ratna Wulandari/"PR") ***

Cite: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=92157

Kirim email ke