UU Penodaan Agama dan Kebebasan Hakiki Oleh Saidiman Ahmad Kebebasan terjadi bukan karena setiap orang bebas melakukan apapun yang ia inginkan, melainkan sejauhmana orang dibebaskan dari represi dan tindakan semena-mena orang lain. Dengan begitu, kita bisa menyatakan bahwa kebebasan untuk melakukan hal seenaknya adalah kebebasan semu atau bukan bentuk kebebasan sama sekali. Kondisi di mana orang tidak direpresi dan diperlakukan secara semena-menalah yang merupakan kebebasan hakiki. Artikel ini sbeelumnya dimuat di Sinar Harapan, 22 Maret 2010
Persoalan kebebasan mengemuka pada Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang membahas Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, 4 Februari 2009. Menteri Agama Suryadarma Ali dan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar pada sidang tersebut menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan, tetapi kebebasan yang ada batasnya dan bukan bebas sebebas-bebasnya. Oleh karena itu, menurut keduanya, UU penodaan agama mutlak diperlukan untuk membatasi kebebasan. Kedua pembantu presiden tersebut bersikukuh bahwa negara hukum justru memberi penegasan bahwa kebebasan harus dibatasi. Dalam instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, disebutkan bahwa pembatasan harus dilakukan berdasarkan lima hal, yakni ketertiban publik (public order), kesehatan publik (public Health), moral publik (public morals), keamanan publik (public safety) dan menjaga hak dasar orang lain. Berdasarkan instrumen ini, para pendukung UU penodaan agama berpendapat bahwa penodaan agama dalam bentuk penafsiran bebas harus dilarang karena merusak ketertiban publik. Di samping bahwa definisi mengenai ketertiban publik patut dipertanyakan, mengingat banyak sekali kasus inisiatif untuk melakukan kekerasan terhadap orang atau kelompok lain berdasarkan argumen ketertiban publik, alangkah baiknya jika kita mencoba melakukan analisa terhadap definisi kebebasan yang selama ini dianut oleh banyak orang. Kebebasan adalah kata yang boleh jadi sangat ambigu. Kebebasan memang memberi ruang bagi manusia untuk berekspresi dan berinovasi. Adanya ruang kebebasan ekspresi dan inovasi telah menjadikan manusia semakin maju berkali lipat dibanding masa-masa ketika manusia terbelenggu oleh sistem dunia yang menindas. Tetapi pada saat yang sama, kata kebebasan juga bisa dipakai oleh kaum anarkis. Seseorang yang melakukan aksi kekerasan adalah bentuk pendobrakan hukum dan norma sosial. Dengan demikian, pelaku kekerasan seolah-olah tidak peduli dan membebaskan diri dari hukum dan norma sehingga ia merasa berhak melakukan apa saja semaunya. Kondisi dan mental semacam ini bisa juga merupakan ekspresi kebebasan. Dua contoh di atas bertolak belakang satu dengan yang lainnya. Contoh pertama menunjukkan bagaimana kebebasan dipakai untuk membangun dunia. Sementara contoh kedua menunjukkan bagaimana kebebasan justru dipakai untuk menghancurkan kehidupan. Namun begitu, jika kita jeli maka akan tampak bahwa contoh kedua sebenarnya tidak mencerminkan kondisi sosial yang bebas. Ketika seseorang boleh melukai dan menganiaya orang lain secara semena-mena, lalu tidak ada perlindungan terhadap korban aniaya, maka dengan mudah kita mengatakan bahwa tidak ada kebebasan di sana, yang terjadi justru adalah pembelengguan dan perampasan hak. Kebebasan terjadi bukan karena setiap orang bebas melakukan apapun yang ia inginkan, melainkan sejauhmana orang dibebaskan dari represi dan tindakan semena-mena orang lain. Dengan begitu, kita bisa menyatakan bahwa kebebasan untuk melakukan hal seenaknya adalah kebebasan semu atau bukan bentuk kebebasan sama sekali. Kondisi di mana orang tidak direpresi dan diperlakukan secara semena-menalah yang merupakan kebebasan hakiki. Isaiah Berlin dengan sangat cerdas mengemukakan dua bentuk kebebasan: kebebasan untuk (freedom to atau positive freedom) dan kebebasan dari (freedom from atau negative freedom). Yang pertama adalah kebebasan semu dan yang kedua adalah kebebasan hakiki. Ketika Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, mengumumkan perang ke Iraq dan Afganistan, dia menyatakan bahwa perang itu adalah untuk menegakkan kebebasan. Ya, AS saat itu sedang mengekspresikan kebebasan untuk melakukan apa saja. Tetapi jangan lupa ekspresi kebebasannya justru justru dengan menyerbu, membunuh, dan merampas hak hidup orang lain. Kita tidak akan gegabah menyatakan bahwa kondisi semacam itu adalah kebebasan, melainkan penindasan. Dengan demikian, pernyataan Menag dan Menkumham yang menolak kebebasan yang sebebas-bebasnya sangat problematis. Kebebasan hakiki, yaitu bebas dari tindakan semena-mena orang lain, justru harus diberikan seluas-luasnya. Kesemena-menaan adalah sesuatu yang tercela dan sangat tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia modern. Kebebasan menghendaki adanya kondisi di mana setiap orang bebas dari paksaan untuk memeluk agama, beribadah, berpikir, dan menjalani kehidupan. Secuil pun kebebasan semacam ini tidak boleh dirampas oleh pihak manapun. Dengan definisi seperti ini, maka bisa dipastikan bahwa harmoni sosial dan budaya bukan hanya tidak terusik, melainkan dirayakan. Friedrich A. Hayek menjelaskan bahwa prinsip kebebasan justru membuka ruang bagi segala pikiran, ekspresi, dan keyakinan yang hidup di masyarakat. Sebenarnya, tidak ada manusia yang benar-benar mengetahui apa yang sedang hidup dan potensial hidup di masyarakat, sebab kita manusia penuh dengan keterbatasan. Pada posisi ketidaktahuan semacam ini, yang lebih arif dilakukan bukanlah memaksakan satu pendapat, melainkan membuka ruang kebebasan. Ruang kebebasan adalah pernyataan rendah diri sebagai manusia bahwa hidup ini begitu kompleks dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan memaksakan kehendak. Maka sangat tepat ketika Martin Heidegger menyatakan bahwa kebenaran mewahyukan dirinya di dalam kebebasan. Jika betul bahwa pemerintah, melalui Menag dan Menkumham, menginginkan kehidupan bangsa yang damai dan bebas dari kesemena-menaan, seharusnya yang dilakukan adalah menolak seluruh instrumen yang bisa mengganggu kondisi semacam itu. Tidak bisa dibenarkan satu kelompok masyarakat, atas nama apapun, memaksa orang lain untuk menganut agama dan kepercayaan tertentu. Tidak bisa dibenarkan bahwa orang diusir hanya karena ia meyakini sesuatu yang berbeda dengan keyakinan masyarakat umum. Tidak bisa dibenarkan negara membatasi pilihan agama terhadap warga. Dan tidak bisa dibenarkan bahwa sebuah negara dengan kekayaan budaya dan agama yang luar biasa melakukan fusi agama menjadi hanya enam, padahal beratus agama lain hidup dan menjadi bagian dari sejarah bangsa. []