Majalah Tempo minggu ieu, laporan khususna perkara "Ngimpi Nagara Islam" DI/ 
TII. Lumayan artikelna loba da wedalan edisi khusus 17 Agustusan. Tah lamun 
nyaritakeun DI/TII  moal leupas ti tokoh Kartosuwiryo nu dicaritakeun 
lengkep dina laporan majalah ieu kaasup lalakon istrina, Dewi Siti Kalsum, 
wanoja Malangbong nu kalawan satia asup kaluar leuweung marengan carogena nu 
"bajuang" demi prinsip.  Kuring ngarasa, bet asa aya kasaruaanana jeung Ibu 
Inggit:  Sarua gaduh caroge urang Jawa, carogena sarua aktivis politik nu 
nyekel prinsip jeung ....  sarua dibawa sangsara ku caroge. Ngan bedana teh 
hasil nu beda, Ibu Inggit mah carogena jadi "the winner", ari Ibu Dewi Siti 
Kalsum mah, carogena jadi "the looser".

Nyanggakeun copy-paste artikel perkawis Ibu Dewi Siti Kalsum:

16 AGUSTUS 2010

Kekasih Orang Pergerakan

BATU-BATU kali di atas nisan itu telah berlumut, di bawah payungan 
pohon-pohon menjulang. Ini sebuah kompleks makam keluarga di belakang Masjid 
Jamik di Kampung Bojong, Malangbong, di Garut, sebuah kota pedalaman di Jawa 
Barat. Suasana hening dan adem ketika Tempo berziarah ke sana pada Juli 
lalu. Di sinilah Dewi Siti Kalsum, istri Kartosoewirjo, yang akrab dipanggil 
Wiwiek, beristirahat untuk selamanya.

Lahir pada 1913, Dewi wafat 12 tahun lalu dalam usia 85 tahun. Bersebelahan 
dengan makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu Asiyah, ibundanya, perempuan 
menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat. Di pemakaman ini Kartosoewirjo 
ingin dikuburkan. "Bapak ingin jenazahnya dekat dengan keluarga Malangbong," 
kata Sardjono, anak bungsu Kartosoewirjo, kepada Tempo.

Tapi pemerintah Soekarno punya kemauan lain. Sampai sekarang tak jelas 
keberadaan jasad Kartosoewirjo setelah dia dieksekusi mati pada September 
1962 di sebuah tempat di Teluk Jakarta. Kartosoewirjo agaknya ingin 
menunjukkan cintanya kepada Dewi hingga akhir hayat: meminta dirinya 
dikuburkan di Malangbong-kendati tak kesampaian.

Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan 
Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi 
sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya. Pada usia delapan 
tahun, ibunya mengajak dia berjalan belasan kilometer ke Tarogong, Garut, 
untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Pengalaman ini amat membekas di 
hati dia.

Ardiwisastra ditahan Belanda karena bersama sejumlah ajengan memelopori 
pembangkangan terhadap perintah Belanda, yang mewajibkan penjualan padi 
hanya kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada 1916, Belanda menembak mati 
Haji Sanusi, tokoh berpengaruh di Cimareme, Garut. Terjadi pula penangkapan 
secara besar-besaran terhadap para ajengan, termasuk Ardiwisastra dan 
santri-santrinya.

Dewi lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) met de Quran Muhammadiyah 
Garut. HIS adalah sekolah yang pertama berdiri pada 1914, seiring dengan 
berlakunya politik etis atau balas budi penjajah Belanda kepada tanah 
jajahannya. Pendidikan setingkat sekolah dasar ini menggunakan pengantar 
bahasa Belanda. Ini berbeda dengan Inlandsche School yang menggunakan bahasa 
daerah. Umumnya yang bersekolah di HIS anak bangsawan, tokoh terkemuka, atau 
pegawai negeri.

Ketika Dewi sedang mekar mewangi pada 1928, muncullah seorang pemuda di 
rumahnya. Ia pintar bicara dan penuh daya tarik bagi Dewi, yang juga mulai 
aktif di dunia pergerakan. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Ia 
mampir ke rumah Ardiwisastra untuk mengumpulkan sumbangan warga Sarekat 
Islam guna mengongkosi Haji Agoes Salim ke Belanda. Agoes Salim ke Negeri 
Kincir Angin untuk berdiplomasi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. 
Ardiwisastra tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia di Garut.

Sekarmadji saat itu sudah terkenal di kalangan Partai Sarekat Islam 
Indonesia. Dialah sekretaris pribadi singa podium Haji Oemar Said 
Tjokroaminoto-yang ikut melambungkan nama Kartosoewirjo ke kancah gerakan 
perlawanan terhadap Belanda. Pada Desember 1927 Karto terpilih sebagai 
Sekretaris Umum Partai Sarekat Islam Indonesia. Sejak itu, ia banyak 
melakukan perjalanan ke cabang-cabang Sarekat Islam.

Turne itu pula yang akhirnya membawa dia ke Malangbong menemui Ajengan 
Ardiwisastra. Setahun setelah pertemuan itu, pada April 1929, Sekarmadji 
menikahi Dewi di Malangbong. Tentang pernikahan ini, seorang ulama seusia 
Ardiwisastra mengatakan Sekarmadji diambil menantu semata-mata karena motif 
kepartaian. "Apakah calon menantunya tampan atau buruk muka tidak penting," 
kata ulama tadi kepada Pinardi, penulis buku Sekarmadji Maridjan 
Kartosoewirjo terbitan 1964.
Bagi Sekarmadji, Dewi punya semacam pertalian darah dengan dia, sama-sama 
keturunan Arya Penangsang. Dalam sejarah Kerajaan Demak abad ke-15, Arya 
Penangsang adalah penguasa kawasan Jipang yang terbunuh dalam perebutan 
kekuasaan setelah pamor Demak merosot.

Kepada Ateng Jaelani, tokoh Darul Islam yang lain, Sekarmadji pernah bakal 
menjadi menantu Haji Agoes Salim. Tapi, karena Agoes Salim kalah berdebat 
dengan Sekarmadji, akhirnya batal. Penyebab lain, Sarekat Islam pecah. 
Kartosoewirjo tak sehaluan dengan Agoes Salim yang mau berunding dengan 
Belanda untuk bicara kemerdekaan. Dan Kartosoewirjo memilih jalan politik 
nonkooperatif terhadap Belanda.

Ardiwisastra memandang Sekarmadji pemuda ideal. Apalagi dia punya haluan 
politik serupa. Pada Adiwisastra, Sekarmadji memperdalam keislaman dan 
kepartaiannya.

Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya. Tapi dia tak 
mampu menjelaskan alasannya bersusah payah selama 13 tahun keluar-masuk 
hutan bersama suaminya. "Karena apa ya, saya sendiri tidak tahu," kata Dewi 
kepada Tempo edisi 5 Maret 1983. Kalau disebut karena cinta, "Bapak itu 
sebetulnya orangnya (mukanya) kan jelek," kata Dewi.
Yang pasti, pada hari tuanya-tanpa Kartosoewirjo-Dewi hidup tenang dan 
cenderung dingin. Riwayat hidup yang lebih banyak dilumuri cerita duka 
bergerilya dengan Kartosoewirjo pernah ia ceritakan kepada Tempo 27 tahun 
lalu itu tanpa emosi.

Sebagai istri orang pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami. Ia 
mondar-mandir Jakarta-Bandung-Garut-Yogyakarta, menumpang di rumah kenalan 
atau rumah kontrakan. Belum lagi jika Kartosoewirjo berurusan dengan rumah 
tahanan. Biasanya, kalau suaminya ditahan, Dewi pulang ke Malangbong. "Saya 
juga pulang kampung kalau mau melahirkan," kata Dewi.

Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir: 
Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono, lahir di tengah hutan. Anak-anak yang 
lain lahir di rumah. Mereka: si sulung Tati yang meninggal ketika masih 
bayi, Tjukup yang tertembak dan meninggal pada 1951 di hutan pada usia 16 
tahun, Dodo Muhammad Darda, Rochmat (meninggal pada usia 10 tahun karena 
sakit), Sholeh yang meninggal ketika bayi, Tahmid, Abdullah (meninggal saat 
bayi), Tjutju yang lumpuh, dan Danti.

Sebagai perempuan, Dewi mula-mula takut juga hidup di hutan. Apalagi saat 
itu Dewi menggendong Danti yang baru berusia 40 hari. Dewi sempat berpikir 
tentang masa depan anak-anaknya dan sering tercenung sedih. Tapi 
Kartosoewirjo yang ia kagumi selalu menghibur. "Kok, sedih amat sih!" Itu 
kalimat yang kerap Kartosoewirjo ucapkan jika Dewi sedang bermuram durja. 
Biasanya, jika suaminya bilang seperti itu, Dewi langsung merasa tenteram.

Sebelum menjalani eksekusi mati, Kartosoewirjo sempat berwasiat di hadapan 
istri dan anak-anaknya di sebuah rumah tahanan militer di Jakarta. Menurut 
Dewi, saat itu Kartosoewirjo antara lain berkata tidak akan ada lagi 
perjuangan seperti ini sampai seribu tahun mendatang. Dewi menitikkan air 
mata. Karto, yang mencoba tabah, akhirnya meleleh. Perlahan-lahan, dia 
mengusap kedua matanya. 

Kirim email ke