Dina DI/TII,  Kartosuwiryo meunang dukungan ti sabagian urang sunda, cenah 
kulantaran urang Sunda mah Islamna kuat. Tapi Islam nu mana? Lamun maca 
artikel Tempo dihandap ieu, dukungan ka Karto teh teu leupas ti  strategina 
make "Islam Kejawen", Islam nu pacampur jeung kabatinan lokal (jawa + 
sunda). Contona urang Sunda nu ayeuna umurna geus cueut kahareup pasti 
kantos ngareungeu  kana pusaka Pak Karto, keris Ki Dongkol jeung Ki Rompang 
.......

Nyanggakeun artikelna, kanggo nu hayang terang Ki Dongkol jeung Ki Rompang 
tiasa di klik di 
http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/kartosoewirjo/page15.php

Ratu Adil Bermodal Keris
Tempo, 16 Agustus 2010

KABAR itu disiarkan melalui radio tabung ketika fajar baru terbit, 4 Juni 
1962. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, "Imam Negara Islam Indonesia", 
diringkus tentara di persembunyiannya yang becek dan basah, di sebuah hutan 
yang tidak lebat di Jawa Barat.

Kastolani, komandan kompi Tentara Islam Indonesia di Brebes, Jawa Tengah, 
tak mampu menahan amarah. Ia berniat mengajak sembilan anak buahnya menyerbu 
markas Tentara Nasional Indonesia. Berusia 29 tahun ketika itu, Kastolani 
bertambah geram akan sikap para komandannya.

"Komandan Batalion" dan "Komandan Resor Militer" Tentara Islam Indonesia di 
Brebes justru menganjurkan prajuritnya menyerah. "Saya tegaskan: komandan 
yang menyerah akan saya tembak," tuturnya kepada Tempo di rumahnya di Salem, 
Brebes, akhir Juli lalu.

Tapi, melihat para komandan dan anggota Tentara Islam tak berniat 
melanjutkan perlawanan setelah Kartosoewirjo tertangkap, ia melunak. "Saya 
perintahkan anak buah saya, silakan turun kalau mau menyerah," ia mengenang, 
dengan nada pahit. "Tapi, saya ingatkan, jangan tinggalkan salat."

Kastolani bergabung dengan Tentara Islam Indonesia di Brebes pada 1953. Ia 
terpikat janji negara berbasis syariah. Diproklamasikan Kartosoewirjo pada 7 
Agustus 1949 di Desa Cisampah, Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, Negara 
Islam Indonesia memikat ribuan orang pada mulanya.

Tidak ada angka pasti, tapi diperkirakan 50 ribu orang menjadi anggota 
ketika Kartosoewirjo ditangkap. Kepada pengikutnya, Karto selalu mengobarkan 
semangat jihad dan memerangi "pemerintahan kafir" Soekarno.

Dianggap memberontak, pengikut Negara Islam Indonesia diburu Tentara 
Nasional Indonesia. Sejak itu, mereka masuk hutan. Kastolani menjelajahi 
hutan di kawasan Bantar Kawung, Salem, Majenang, Songgong, Cibinbin, dan 
Jati Rokek. Desa-desa itu merupakan wilayah pegunungan di Brebes yang 
hutannya masih tersisa hingga kini.

Kartosoewirjo menggagas Negara Islam setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, 
Agustus 1945. Ia melontarkan keinginan itu ketika menjadi Sekretaris Partai 
Masyumi Jawa Barat pada Oktober 1945. Meski ditolak partai, gagasan ini 
didukung banyak ulama di Jawa Barat.

Melalui para ulama, Karto mempengaruhi anggota Sabilillah dan 
Hizbullah-sayap ketentaraan Masyumi-di Jawa Barat pimpinan Oni. Dua laskar 
itu merupakan cikal bakal Tentara Islam Indonesia yang dibentuk pada 
Februari 1948. Merasa mendapat dukungan kuat dari pengikutnya dan Tentara 
Islam Indonesia, Kartosoewirjo membekukan kegiatan Partai Masyumi Jawa 
Barat. Ia mendirikan Negara Islam Indonesia.

Solahudin, peneliti Darul Islam dari Universitas Indonesia, mengatakan 
keberhasilan memperoleh dukungan tak lepas dari strategi Karto menggunakan 
ajaran tasawuf. "Modelnya tasawuf bercampur unsur kebatinan," katanya.

Ia mencontohkan, pada suatu kesempatan, Karto melakukan tapa geni di Gunung 
Kidul, Yogyakarta. Dengan bertapa, Karto mengasingkan diri dari keramaian, 
membersihkan diri dari pengaruh duniawi. Dalam bahasa Arab, aktivitas ini 
disebut riyadhoh. Kepada pengikutnya, menurut Solahudin, Karto meyakinkan 
bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh wahyu pertama kali 
di Gua Hira.

Setelah bertapa, Karto mengaku mendapat "wahyu cakraningrat"-sinar terang 
yang disebutkan berbentuk kalimat syahadat dalam bahasa Arab. Sinar itu 
disebutkan melingkari wajah Karto. Ateng Jaelani Setiawan, mantan Panglima 
Tentara Islam Indonesia, yang ditangkap pada Maret 1962, mengatakan bahwa 
dengan "wahyu cakraningrat" Karto mengklaim dirinya sebagai "khalifatullah". 
Kartosoewirjo mengangkat dirinya sebagai imam seluruh umat Islam di dunia.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga, 
Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan 
Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu disesuaikan dengan ramalan 
Joyoboyo, pujangga Jawa, tentang orang yang akan memimpin umat manusia. 
Konon Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil jika bisa menyatukan dua 
senjata pusaka, yakni Ki Dongkol dan Ki Rompang. Ketika ia ditangkap pada 3 
Juni 1962, keris Ki Dongkol ada di tangannya.

Dalam buku manifesto politiknya, Heru Tjokro Bersabda: Indonesia Kini dan 
Kelak, Kartosoewirjo menulis, "Heru Tjokro" merupakan "makhluk Allah yang 
suci, menguasai dan memutar roda dunia menuju mardlotillah sejati, yaitu 
Negara Islam Indonesia." Heru Tjokro juga diartikan sebagai: "penyapu 
masyarakat jahiliah". Pemerintah Soekarno dianggap kafir karena tidak 
menjalankan syariat Islam, dianggap jahiliah, dan harus diperangi.

Karto menganggap situasi Indonesia ketika itu sama dengan masa penyebaran 
Islam oleh Nabi Muhammad di Mekah. Sementara Muhammad menghadapi perlawanan 
kaum Quraisy, Kartosoewirjo mengatakan menghadapi Tentara Nasional 
Indonesia. Menurut Solahudin, alih-alih mengikuti cara tasawuf yang tidak 
agresif, Kartosoewirjo meminta anak buahnya memerangi pemerintah.

Karto juga membaurkan ritual keagamaan dengan kebatinan. Pada malam-malam 
tertentu, dia mengumpulkan 41 ulama di daerah "D-Satu"-daerah yang 
sepenuhnya dikuasai Negara Islam Indonesia. Mereka berdoa, berzikir, dan 
bersalat tahajud bersama. Semua dilakukan, menurut Solahudin, demi 
"menggapai wangsit dari langit".

Al-Chaidar, peneliti gerakan Islam Indonesia dari Universitas Malikussaleh, 
Nanggroe Aceh Darussalam, ragu Kartosoewirjo menggunakan pengaruh tasawuf, 
apalagi yang berbau mistik. "Informasi itu bias, hanya cerita dari mulut ke 
mulut," katanya.

Untuk menguatkan ketaatan, konsep baiat-pernyataan setia kepada 
imam-diberlakukan bagi pengikut. Sebelum berbaiat dengan Kartosoewirjo, 
seseorang belum dianggap menjadi muslim. Dengan baiat, pengikut Negara Islam 
Indonesia dituntut tunduk dan patuh kepada pemimpin. Dengan kesetiaan ini, 
sebagian besar pengikut menjadi puritan. Tak aneh, Tentara Nasional 
Indonesia butuh 13 tahun untuk melumpuhkan kekuatan Tentara Islam Indonesia. 

Kirim email ke