Membumikan Gagasan "Civil Islam"
Oleh Sumanto Al Qurtuby

Di tengah maraknya gerakan "uncivil Islam" yang anti-demokrasi, anti-minoritas, 
dan anti-pluralisme dewasa ini seperti dilakukan oleh kaum Salafi-Wahabi, dan 
di tengah berbagai aksi "kekerasan berbaju agama" yang dilakukan secara 
istiqamah oleh kelompok "Islam ekstrim", maka umat Islam harus bersatu 
membangkitkan sekaligus membumikan gagasan "civil Islam" yang demokratis, 
toleran-pluralis, damai, inklusif, serta peka terhadap kemajemukan bangsa. 

Civil Islam, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh antropolog dan Indonesianis 
dari Boston University, Robert W. Hefner dalam buku Civil Islam: Muslims and 
Democratizations in Indonesia. Istilah ini mengacu pada kaum Muslim atau varian 
keislaman yang memiliki karakteristik toleran, pluralis, peaceful, sekuler, 
liberal, demokratis, inklusif, humanis, pro-perubahan sosial, serta menjunjung 
tinggi nilai-nilai "keadaban" (civility).  Di Barat khususnya, banyak yang 
tidak percaya terhadap gagasan dan fenomena "civil Islam" ala Hefner ini. Di 
dunia akademik Barat, literatur-literatur yang menempatkan Islam "secara 
positif" atau ide-ide tentang "Islam yang civil" memang kalah populer dengan 
pemikiran-pemikiran yang memosisikan Islam dan kaum Muslim sebagai entitas 
kultural-politik yang jauh dari nilai-nilai keadaban (civility), kemajuan 
(advancement), kemodernan (modernity), dan seterusnya.

Bahkan bagi sebagian "orientalis yang tak bersahabat" dan ilmuwan sosial yang 
kurang simpatik terhadap sisi positif atau "civil" Islam, gagasan-gagasan 
demokrasi, pluralisme, feminisme, liberalisme, civil society dan lain-lain 
tidak akan pernah "hijrah" ke dunia Islam. Bagi mereka, ide-ide seperti ini 
hanya bisa tumbuh dan berkembang di negara-negara Barat yang mewarisi tradisi 
Pencerahan Eropa dan Helenisme Yunani. Begitulah kira-kira keyakinan para 
"pemikir esensialis" seperti Samuel Huntington, Bernard Lewis, John Hall, 
Ernest Gellner, dan masih banyak lagi.

Tidak hanya pemikir non-Muslim saja yang berpandangan eksklusif seperti ini, 
sosiolog Muslim Turki, Serif Mardin, juga berargumen sama. Dalam artikelnya 
yang sangat provokatif dan memicu perdebatan luas, "Civil Society and Islam", 
Mardin mengatakan, "civil society is a Western dream, a historical aspiration" 
dan mimpi masyarakat Barat ini, lanjutnya, "has not become the dream of Muslim 
societies" kendati banyak negara-negara Muslim saat ini yang punya 
institusi-institusi modern seperti yang berkembang di Barat. 
Institusi-institusi modern itu merupakan prasyarat bagi terwujudnya negara 
demokrasi dan civil governance (Mardin dalam Hall 1995: 278-296).

Lebih lanjut Mardin menegaskan bahwa gagasan civil society, demokrasi, dan 
"Islam yang civil" itu susah tumbuh di dunia Islam sebab masyarakat Muslim 
adalah pewaris "a collective memory of a total culture which once provided a 
`civilized' life of a tone different from that of the West". Nilai-nilai inti 
kebudayaan Islam itu, tegas Mardin, bukan otonomi, independensi, dan 
self-determination seperti di Barat, tapi "faithful adherence to an awesome 
revelation". Karena itu, ia tak bisa dijadikan sebagai basis membangun 
masyarakat egaliter yang bertumpu pada sistem demokrasi dan kultur kewargaan 
(citizenship).

Berbeda dengan gagasan para "pemikir esensialis" di atas, Robert Hefner dan 
sejumlah ilmuwan sosial seperti Chris Hann, Dale Eickleman, James Piscatori, 
John Esposito, Augustus Norton, Jenny White, Asef Bayat, dan lain-lain 
berargumen bahwa—dengan merujuk pada berbagai studi tentang politik Muslim dan 
civic culture—dunia Islam telah mengalami kemajuan signifikan dan perubahan 
sosial yang sangat penting dalam ide-ide demokrasi, civic pluralism, 
citizenship, feminisme, dan lain-lain. Singkatnya, "civil Islam" itu ada. Oleh 
karena itu, bagi mereka, menggunakan ide-ide klasik Weberian yang "pesimistik" 
terhadap Islam dan dunia politik Muslim—sebuah gagasan yang kemudian dikritik 
dan diulas dengan baik oleh Bryan S. Turner dalam Weber and Islam: A Critical 
Study—untuk mengkaji perkembangan wacana kepolitikan dan kebudayaan Islam 
kontemporer akan misleading dan tidak akurat.

Memang agama—tak terkecuali Islam—selain memiliki "sisi negatif" atau "dimensi 
uncivil" yang tidak demokratis, anti-pluralisme serta bisa mengispirasi 
lahirnya tindakan kejahatan kemanusiaan, terorisme, dan kekerasan, juga memuat 
aspek-aspek positif dan "civil" yang bisa dijadikan sebagai "basis teologis" 
untuk mewujudkan gagasan keagamaan (keislaman) yang demokratis, 
toleran-pluralis, peaceful. Ini bisa dijadikan sebagai dasar membangun hubungan 
antar dan intra agama yang lebih sehat, dinamis, berkualitas, dan manusiawi.

Richard Solomon, Presiden the United States Institute of Peace (USIP) yang 
berbasis di Washington, D.C. suatu saat pernah berkata: "While religion can and 
does contribute to violent conflict, it also can be powerful factor in the 
struggle for peace and reconciliation". Pernyataan ini sekedar untuk menegaskan 
watak "ambiguitas" agama atau apa yang oleh sejarawan Scott Appleby disebut 
"the ambivalence of the sacred." Satu sisi agama bisa dijadikan sebagai sumber 
kekerasan, perang, kebencian, permusuhan, intoleransi, tapi pada saat yang sama 
ia juga bisa dijadikan sebagai medium untuk menggerakkan demokrasi, pluralisme, 
perdamaian, cinta-kasih, harmoni, dan aksi-aksi kemanusiaan lintas-budaya dan 
agama. Agama bisa berperan sebagai "faktor pembelah" yang mengerikan tetapi 
juga bisa berfungsi sebagai "elemen pemersatu" yang powerful atas 
kelompok-kelompok agama yang terbelah dan tercerai-berai akibat perang dan 
kekerasan.

Agama bisa melahirkan tindakan kemanusiaan yang positif dan "civil" karena ia 
bisa menjadi "sumber makna dan kebijakan" bagi pemeluknya. Agama menanamkan 
pada para pengikutnya apa yang oleh antropolog Clifford Geertz disebut 
"vitalitas moral" yang hadir karena manusia yakin dan komitmen pada esensi 
"Realitas yang fundamental." Keyakinan pada "Realitas yang fundamental" inilah 
yang menjadikan agama bisa menjadi "sumber makna" bagi pemeluknya yang 
diharapkan mampu menjadi kekuatan penggerak aksi-aksi kemanusiaan yang 
berbudaya dan beradab. Selain itu, agama juga berisi ajaran, doktrin, teks, dan 
simbol-simbol yang positif dan mencerahkan, sehingga bisa dijadikan "common 
values" dan basis untuk membangun dialog peradaban antar kemanusiaan yang 
kondusif dan prospektif. 

Di tengah maraknya gerakan "uncivil Islam" yang anti-demokrasi, anti-minoritas, 
dan anti-pluralisme dewasa ini seperti dilakukan oleh kaum Salafi-Wahabi, dan 
di tengah berbagai aksi "kekerasan berbaju agama" yang dilakukan secara 
istiqamah oleh kelompok "Islam ekstrim", maka umat Islam harus bersatu 
membangkitkan sekaligus membumikan gagasan "civil Islam" yang demokratis, 
toleran-pluralis, damai, inklusif, serta peka terhadap kemajemukan bangsa. Kaum 
Muslim yang mempercayai agamanya sebagai "rahmat bagi seluruh alam" dan bukan 
"bencana bagi manusia", harus bangkit menggerakkan gagasan dan wacana "civil 
Islam" ini guna membendung laju gerakan "uncivil Islam" yang ditebarkan kaum 
militan agama.

Umat Islam tidak bisa hanya berpangku tangan dan cuma mengutuk di depan TV 
aneka kekerasan dan tindakan anti-pluralisme dan anti-minoritas yang dilakukan 
kelompok militan-puritan yang marak di Indonesia. Kita harus bergerak dan maju 
ke muka melawan tindakan ekstrimisme berbaju agama ini. Tentu saja perlawanan 
itu harus dilakukan dengan cara-cara beradab, damai, dan tanpa kekerasan. Hanya 
dengan mempraktekkan jenis keislaman yang "civil" inilah, citra dan komitmen 
Islam sebagai agama "rahmatan lil alamin" yang menghargai pluralistas dan 
pro-minoritas akan tetap lestari di bumi persada ini. 

Kirim email ke