> Aras <arassen...@...> wrote:
> ari panyakit "kuru".. teh kos kunaon kang nembe ngadangu..

Panyakit gara-gara ngahakan daging jelema Kang. Kanggo jelasna nyanggakeun 
artikel dihandap ieu:

Fenomena Penyakit Kuru

http://catherinemaname.wordpress.com/2009/05/16/fenomena-penyakit-kuru/

Apakah Anda pernah mendengar penyakit kuru? Mungkin hanya sedikit dari Anda 
yang mengetahui istilah kuru ini. Namun untuk istilah kanibalisme sebagian 
besar dari Anda pasti setidaknya pernah mendengar. Kanibalisme merupakan sebuah 
fenomena di mana satu makhluk hidup makan makhluk sejenis lainnya, misalkan 
anjing yang makan anjing atau manusia yang makan manusia. Kadang-kadang 
fenomena ini disebut anthropophagus (Bahasa Yunani anthrôpos: manusia dan 
phagein: makan). Seperti cerita pendek yang telah saya tulis sebelumnya 
mengenai prion, penyakit kuru ini memang berkaitan erat dengan prion. Jika Anda 
penasaran dengan penyakit kuru ini, silahkan bergabung dengan saya dalam 
penelusuran fenomena penyakit kuru ini sekarang!


Mengenal Kuru

Kuru adalah suatu penyakit fatal yang dihasilkan dari suatu budaya, yang 
menyerang otak dan sistem saraf yang ditemukan di Fore Selatan penduduk 
Pegunungan Papua Nugini bagian timur. Bukti sekarang menunjukkan prion sebagai 
penyebabnya. Gejala-gejalanya termasuk kelumpuhan, kontraksinya otot wajah, dan 
kehilangan pengendalian motorik yang menghasilkan ketidakmampuan untuk berjalan 
dan makan. Korban kuru menjadi kurus secara progresif. Penduduk Fore Selatan 
menyebut penyakit ini "penyakit gemetaran (trembling sickness)" dan "penyakit 
tertawa (laughing sickness)." Gambaran penyakit tertawa karena buktinya bahwa 
otot-otot wajah dari korban tertarik sehingga terlihat seperti suatu senyuman. 
Kematian hampir selalu terjadi 6-12 bulan sebagai onset gejala.

Kuru pertama kali didokumentasikan di antara penduduk Fore Selatan pada awal 
abad ke-20 dan secara progresif menjadi semakin lazim pada 1950an. Puncaknya, 
paling banyak menimpa wanita-wanita berumur 20an dan 30an. Ini menyebabkan 
masalah-masalah sosial. Normalnya, pria mempunyai beberapa istri dan anak-anak 
dirawat oleh wanita. Namun karena penyakit ini, terlalu sedikit wanita-wanita 
yang bisa menikah dan pria-pria ditinggalkan dengan kewajiban merawat anak. 
Para pria benci dan bingung dengan situasi ini. Akhirnya penduduk Fore Selatan 
mempunyai suatu penjelasan sendiri untuk penyakit ini, mereka secara logis 
mengasumsikan bahwa Kuru adalah pekerjaan penyihir yang menggunakan sihir 
menular. Jadi, penduduk menjadi sangat hati-hati membersihkan bagian-bagian 
rumahnya untuk meyakinkan bahwa penyihir tidak bisa mendapatkan rambut, 
potongan kuku jari, feses, atau kepunyaan pribadi. Di belakang rumah, wanita 
yang sakit kadang-kadang menyatakan identitas penyerang mereka yang dikatakan 
datang ke mimpi. Selain itu, kaum pria juga membuat suatu tes untuk menentukan 
identitas si penyihir, yang sering menyebabkan tekanan baru ketika tes itu 
menyatakan penyihir itu mungkin tetangga dekat atau saudara. Perburuan penyihir 
diatur dan penyihir tadi dipaksa mengakui dan kemudian diwajibkan mengikuti 
pemujaan anti sihir. Kepala suku mengusulkan agar mereka melaporkan kepada kiap 
(kepala pemerintahan kolonial) bahwa ada orang yang sedang membunuh kaum wanita 
mereka. Kemudian mereka menyarankan agar semua orang diajak ke suatu tempat 
terpencil dan meninggalkan wanita-wanita itu beserta anak-anak. Setelah 
beberapa waktu mereka berada di tempat terpencil tersebut, mereka akan kembali 
melihat apakah kuru telah hilang atau tidak. Tidak ada satupun dari 
langkah-langkah ini memperlambat peningkatan jumlah korban Kuru. Mereka melihat 
ada suatu masalah di sini. Biasanya jika orang-orang marah hanya akan membunuh 
satu orang, menghancurkan anjingnya, atau memotong pohon-pohon pisangnya. Cukup 
satu hal yang dilakukan, tetapi kuru menyerang secara berlebihan.

Awal 1950an, sebuah tim dokter Australia mulai bekerja untuk menemukan apa yang 
menyebabkan kuru dengan harapan menemukan cara penyembuhan. Antropologis 
mencari jejak kasus-kasus penyakit di dalam garis keluarga untuk melihat jika 
itu adalah penyakit keturunan. Pekerja-pekerja bidang lain mengumpulkan air, 
tanah, tumbuhan, dan spesimen binatang untuk mengetes racun dari lingkungan. 
Semua usaha ini gagal. Akhir 1950an, seorang dokter anak Amerika benama 
Carleton Gajdusek datang ke Papua Nugini untuk mencoba menyelesaikan masalah. 
Melalui pemeriksaan mikroskopis jaringan dari orang yang meninggal karena kuru, 
dia menemukan bahwa penyakit dibawa di darah dan dikonsentrasikan di jaringan 
otak. Transmisinya melalui kanibalisme. Penduduk Fore Selatan makan kerabat 
mereka yang telah meninggal. Wanita memotong jenazah dan sebagai kanibal utama. 
Mereka juga memberikan daging ini kepada anak-anak mereka. Pria-pria secara 
umum berpikir bahwa itu bukan kebiasaan tindakan seorang pria sehingga biasanya 
mereka makan babi.

Awal tahun 1960an, kanibalisme merupakan pelanggaran hukum di Papua Nugini. 
Sejak itu, jumlah kuru telah turun secara signifikan tetapi belum begitu 
terlihat karena merupakan penyakit yang memerlukan masa inkubasi sangat 
panjang. Antara 1996 dan 2004, 11 orang didiagnosis kuru.  Tampak di sini, 
mereka dilahirkan sebelum 1950 dan telah mengidap kuru sebelum akhir 
kanibalisme. Ini berarti masa inkubasinya 34-41 tahun.

Kebudayaan Dibalik Penyakit Kuru

Sesungguhnya banyak dari korban kuru tidak mempunyai hubungan biologis secara 
dekat, tetapi merupakan kerabat non-biologis.

Fore merupakan nama kelompok regional besar kepunyaan mereka (Ibusa, Atigina, 
Pamusa), daerah pemerintahan ini merupakan suatu kesatuan dengan sedikit 
perbedaan dialek dan adat-istiadat. Unit yang lebih kecil disebut jemaat 
(parishes), terdiri dari satu atau beberapa batas dusun-dusun kecil, 
anggota-anggotanya mempunyai kepentingan hukum di dalam suatu daerah tertentu 
dan bersama-sama mendiami suatu `tempat kudus (spirit place)' atau hutan 
keramat (sacred grove). Idealnya, kesatuan ini bekerja sama untuk pertahanan 
dan menyelesaikan perselisihan internal secara damai. Subdivisi jemaat terkecil 
adalah lounei, kaum, suatu kelompok orang yang berpikir bahwa diri mereka 
sebagai keturunan dari suatu patrilineal nenek moyang, yang biasanya tinggal 
bersama dan menikah, dengan pilihan untuk pria menikah dengan anak perempuan 
dari saudara laki-laki ibunya. Mereka  juga ikut serta memasang harga pengantin 
(bride price) dan memberi kerabat mereka yang telah meninggal untuk dikonsumsi 
oleh `kaum (line)' dari saudara laki-laki ibu mereka, memperkuat hukum adat 
mengenai pertukaran dari barang-barang bernilai lainnya (babi, kulit, dan 
hakekat jasmaniah) antara kerabat yang dihubungkan dengan kekerabatan dan 
pernikahan.

Kesatuan dan keharmonisan yang ada begitu lemah. Kaum imigran membentuk 
kantung-kantung dan menikmati keadilan sepanjang mereka berlanjut mengunjungi 
dan memelihara ketertarikan dengan kelompok asli ini. Penerimaan kelompok 
imigran menyelesaikan masalah kolonialisasi, khususnya dengan penduduk Fore 
pada waktu itu, yaitu dengan pernikahan singkat daengan wanita. Beban pendatang 
baru untuk bergabung ke dalam kelompok ini tergantung pada rasa kesetiaan dan 
memiliki `satu darah (one blood)' , rasa persatuan bagi yang bermukim dan 
bertindak secara bersama-sama, dan juga rasa berbagi hakekat jasmaniah bagi 
orang yang makan makanan yang tumbuh pada tanah mereka. Sesuai dengan 
berjalannya waktu, individu yang menunjukkan komitmen untuk beradaptasi dengan 
kelompok ini akan memiliki status kekerabatan, yaitu: `saudara laki-laki 
(brother)' atau `saudara perempuan (sister)'. Hubungan ini diartikan dengan 
suatu status kekerabatan dan ditetapkannya suatu aturan moral untuk kehidupan, 
tetapi tetap tidak ada hubungan genetik.

Silsilah keluarga Fore begitu pendek, tidak lebih dari lima generasi. Penduduk 
Fore lebih mengandalkan perluasan hubungan lateral. Mereka menyetujui adopsi, 
penemuan orangtua pengganti di dalam kaum bapak untuk anak-anak yatim piatu 
karena kematian ibu mereka yang disebabkan kuru dan pada waktu sebelumnya 
kehilangan bapak mereka karena menjadi korban perang. Pasangan yang baru 
menikah `dipinjamkan' anak-anak oleh kerabat dekat. Selain itu adopsi juga 
diperbolehkan di antara orang yang memiliki hubungan dekat. Hadiah kesuburan 
atau persalinan (gift of fertility or labour) ditukar dengan kekayaan di dalam 
dua pesta.

Suatu hubungan kekerabatan lebih erat terjadi dengan pembuatan kekerabatan 
kagisa (berasal dari kata kagine, waktu tengah hari). Individu yang tidak 
diketahui hubungan kekerabatannya menukar makanan dan kekayaan di dalam suatu 
acara makan formal sepanjang kagine, ketika matahari berada di atas kepala 
langsung. Persetujuan dengan matahari, sebuah kosmik, dan disahkan dengan 
konsumsi makanan yang tumbuh di sekitar rumah, ikatan ini juga membangun dasar 
kekerabatan. Kekerabatan kagisa penting untuk menciptakan kakak laki-laki dari 
ibu dengan suatu pilihan untuk para pria menikahi anak perempuan dari kakak 
laki-laki ibu, untuk menciptakan saudara perempuan yang dapat memberikan 
saudara laki-lakinya sumber makanan dan kasih sayang, dan suatu bagian dari 
hadiah pernikahan ketika saudara perempuan kagisa menikah. Jadi, kekerabatan 
Fore adalah berdasarkan dokumen sosial yang memberikan legitimasi untuk 
pernyataan dan kewajiban kekerabatan.

Satu lagi hubungan tambahan, yaitu wagoli (`dasar (base)' atau `akar (root)' 
pria), persekutuan perang dan rekan dagang yang daerahnya pada waktu lampau 
dianggap sebagai tempat perlindungan. Wagoli menerima suatu bagian dari 
pembayaran kematian rekan mereka. Beberapa dari mereka memberikan yang lain 
dengan senang hati, saudara-saudara perempuan dari tuan rumah (host) wagoli 
menjadi saudara perempuan kagisa dari tamu (the visitor) dan menjadi 
anak-anaknya tuan rumah (host), `anak-anak laki-laki' dan `anak-anak 
perempuan'. Beberapa hubungan wagoli diwariskan dari orangtua mereka, beberapa 
lagi dibentuk oleh mereka sendiri.

Silsilah menyatakan bahwa penduduk Fore telah `membuat tak kelihatan 
(invisible)' asal dari beberapa pria dewasa yang dikatakan dari suatu populasi 
yang tinggal  di Purosa Selatan dan yang berbahasa Pawaian, suatu bahasa yang 
tidak ada hubungannya dengan Bahasa Nugini Timur. Setelah masa-masa hubungan 
harmonis yang terlihat di antara penduduk Fore dan orang-orang Pawaian, 
terjadilah hubungan tidak menyenangkan. Penduduk Fore membakar rumah-rumah 
orang Pawaian dan menembak orang-orang yang berusaha lari. Orang-orang yang 
bertahan, sekarang telah dewasa, `menjadi penduduk Fore'. Definisi hubungan 
menurut penduduk Fore termasuk orang yang mengatakan memiliki `satu darah', 
banyak yang telah mendapatkan status kekerabatan dekat dengan pengertian sosial.

Kekerabatan Fore dapat digambarkan sebagai bentuk dengan jaring-jaring 
pendekatan berdasarkan perluasan lateral daripada kedalaman vertikal, yang 
tidak berdasarkan penjelasan biologis. Ini adalah sebuah bentuk organisasi 
sosial sesuai dengan sebuah bentuk dasar pertanian yang lahannya sering 
direlokasi, populasi secara relatif bergerak (mobile), dan pecahan 
kelompok-kelompok yang kemudian bergabung di dalam jajaran baru.

Banyak yang telah berubah di Fore Selatan sejak awal 1960an. Penduduk Fore 
tidak begitu lama mengkonsumsi kerabatnya yang telah meninggal dan kuru jadi 
tidak begitu lama ditransmisikan. Dengan pelayanan kesehatan masyarakat yang 
telah mengurangi kematian anak, populasi telah meningkat dengan cepat.  
Wanita-wanita berumur pendek tidak begitu lama kejadiannya, orang-orang telah 
meninggalkan penggembalaan babi, menggaji buruh, dan pasar telah menyediakan 
akses jaringan-jaringan perdagangan. Dengan tekanan dari peperangan (juga 
ciptaan dari para pengungsi), seperti produksi kopi sebagai suatu pembayaran 
tunai hasil panen (mengikat orang dengan penanaman mereka), populasi Fore 
sekarang kurang bergerak (mobile). Suatu sistem  kekerabatan sesuai dengan 
kondisi sosial yang ada 50 tahun yang lalu bisa tidak begitu relevan. Itu 
mungkin bahwa beberapa gambaran bahwa beberapa karakter kekerabatan Fore, 
seperti kesiapan kerjasama kaum imigran, praktik adopsi dan penciptaan 
kekerabatan kagisa secara luas, bisa tidak sesuai lagi dengan kebutuhan 
sekarang. `Wantoks' (teman-teman) terlihat menjadi suatu tambahan untuk wagoli.

Kesimpulan

Kuru adalah salah satu contoh penyakit yang berhubungan dengan kebudayaan. 
Banyak contoh-contoh kebudayaan lain yang bisa menyebabkan penyakit selain kuru 
ini. Oleh sebab itu, penting sekali para tenaga medis untuk berpikir secara 
holistik dalam penanganan suatu penyakit karena ada banyak hal yang berhubungan 
dengan terjadinya suatu penyakit.

Written by: Catherine Maname Uli




Kirim email ke