Subject: Mengenal Kemitraan Islami (Bag.1)
A. KEMITRAAN SEBAGAI ALTERNATIF PERMODALAN USAHA Pembangunan Ekonomi harus mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat berdasarkan azas demokrasi, kebersamaan, dan kekeluargaan yang melekat, serta mampu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua pelaku ekonomi untuk berperan sesuai dengan bidang usaha masing-masing. Untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, dibutuhkan sebuah bentuk kemitraan yang diartikan sebagai kerjasama pihak yang mempunyai modal dengan pihak yang mempunyai keahlian atau peluang usaha dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan Esensi kemitraan jika ditinjau dari sudut pandang tujuan perlindungan usaha adalah agar kesempatan usaha yang ada dapat dimanfaatkan pula oleh yang tidak mempunyai modal tetapi punya keahlian untuk memumuk jiwa wirausaha, bersama-sama dengan pengusaha yang telah diakui keberadaannya. Pada dasarnya kemitraan secara alamiah akan mencapai tujuannya jika kaidah saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan dapat dipertahankan dan dijadikan komitmen dasar yang kuat di antara para pelaku kemitraan.[1] Implementasi kemitraan yang berhasil harus bertumpu kepada persaingan sehat dan mencegah terjadinya penyalahgunaan posisi dominan dalam persekutuan untuk menghindari persaingan. Alternatif kemitraan dalam pengembangan usaha kecil dan mikro bukan dimaksudkan untuk memanjakan atau pemihakan yang berlebihan , tetapi justru upaya untuk peningkatan kemandirian pengusaha kecil dan mikro sebagai pilar dalam pembangunan ekonomi kerakyatan. Strategi peningkatan skala usaha dan akses permodalan dengan penyaluran kredit program, jika tidak dilakukan dengan konsep kemitraan sebagaimana mestinya, pada akhirnya malah akan menyisakan masalah kredibilitas tersendiri. Dalam konsep kemitraan semua pihak harus menjadi stake holders dan berada dalam derajat subyek-subyek bukan subyek-obyek, sehingga pola yang dijalankan harus dilandasi dengan prinsip-prinsip partisipatif dan kolaboratif yang melibatkan seluruh stake holders dalam kemitraan yang dijalankan. Sebagaimana teori sosial pengembangan masyarakat yang sedang berkembang akhir-akhir ini, maka dalam menetapkan suatu program pembangunan ekonomi harus memperhatikan faktor-faktor yang berkembang dan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, adat, budaya, tradisi, moral dan keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat wilayah itu sendiri. Mengenal Kemitraan Islami (Bag.2) B. BENTUK KEMITRAAN DALAM SISTEM EKONOMI SYARIAH Sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya yang memegang adat-budaya dengan berlandaskan kepada agama Islam, maka perlu rasanya mengkaji Sistem Ekonomi Syariah, khususnya pola kemitraan bagi hasil sebagai alternatif pemodalan usaha. Kekuatan dan vitalitas suatu kelompok masyarakat sangat bergantung kepada kemampuannya memenuhi kebutuhan-kebutuhan terhadap barang dan jasa bagi para anggotanya dan masyarakat-masyarakat lainnya. Produksi dan distribusi barang dan jasa menuntut sumber-sumber daya bukan saja keuangan, tetapi juga keahlian dan manajemen. Tidak setiap orang dibekali sumber-sumber daya dengan suatu kombinasi optimal. Oleh karena itu, mutlak menghimpun semua sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Penghimpunan sumber-sumber daya ini harus diorganisasikan dalam suatu cara yang saling menguntungkan atau altuaristis dengan konsep kemitraan yang sejajar di antara masing-masing pihak. Dalam Sistem Ekonomi Syariah dikenal beberapa bentuk kemitraan dalam berusaha, namun yang umum dikenal ada 2 (dua), yaitu Mudharabah dan Musyarakah. 1. Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha) Mudharabah adalah sebuah bentuk kemitraan di mana salah satu mitra, yang disebut "shahibul-maal" atau "rabbul-maal" (penyedia dana) yang menyediakan sejumlah modal tertentu dan bertindak sebagai mitra pasif, sedangkan mitra yang lain disebut "mudharib" yang menyediakan keahlian usaha dan manajemen untuk menjalankan ventura, perdagangan, industri atau jasa dengan tujuan mendapatkan laba.[1] Mudharib merupakan orang yang diberi amanah dan juga sebagai agen usaha. Sebagai orang yang diberi amanah, ia dituntut untuk bertindak hati-hati dan bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi karena kelalaiannya. Sebagai agen usaha, ia diharapkan mempergunakan dan mengelola modal sedemikian rupa untuk menghasilkan laba optimal bagi usaha yang dijalankan tanpa melanggar nilai-nilai Syariah Islam. Perjanjian mudharabah dapat juga dilakukan antara beberapa penyedia dana dan pelaku usaha. Sedangkan secara ringkas, di dalam Ensiklopedia Hukum Islam, mudharabah dapat diartikan sebagai pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja/ pedagang untuk diusahakan/ dikelola sedangkan keuntungan dagang itu dibagi menurut kesepakatan bersama.[2] Mudharabah dalam bahasa teknis keuangan dikenal dengan istilah Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi atau Trust Financing, Trust Investment.[3] Secara umum, mudharabah terbagi atas dua jenis, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayadah. 1. Mudharabah Muthlaqah Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal (penyedia dana) dengan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Penyedia dana melimpahkan kekuasaan yang sebesar-besarnya kepada mudharib untuk mengelola dananya. 2. Mudharabah Muqayyadah Adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, di mana mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, dan tempat usaha yang telah diperjanjikan di awal akad kerjasama. Pembagian laba antara penyedia dana dengan mudharib harus berdasarkan suatu proporsi yang adil dan telah disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian mudharabah. Pembagian laba tidak boleh dilakukan sebelum kerugian yang ada ditutupi dan modal awal dikembalikan kepada penyedia dana. Setiap distribusi laba sebelum pentupan perjanjian mudharabah dipandang sebagai utang. Jika mudharabah tidak ditentukan batas waktu atau berterusan, diperbolehkan menunjuk secara khusus periode perhitungan yang disepakati bersama dalam pembagian laba, dengan melihat masing-masing periode secara independen, dan jika terjadi kerugian pada periode tertentu dapat ditutupi dengan menggunakan laba dalam periode yang akan datang sampai persetujuan mudharabah berakhir. Karena itu, dalam hal mudharabah yang berterusan, diperlukan untuk menyisihkan cadangan dari sebagian laba untuk menggantikan kerugian yang mungkin timbul di suatu periode. Semua kerugian yang terjadi dalam perjalanan bisnis harus ditutup dengan laba sebelum ditutup oleh ekuitas penyedia dana. Prinsip umum dalam mudharabah adalah penyedia dana hanya menanggung resiko modal, sedangkan mudharib hanya menanggung resiko waktu dan usahanya. Liabilitas penyedia dana dalam kontrak mudharabah terbatas pada kontribusinya dalam menyediakan modal awal,tidak lebih dari itu. Sang Mudharib tidak diperbolehkan melakukan bisnis mudharabah untuk jumlah yang lebih besar dari modal yang diberikan oleh penyedia dana. Jika ia melakukannya atas dasar kemauannya sendiri, maka mudharib berhak mendapatkan laba itu dari usaha itu dan juga menanggung kerugian yang timbul. Mudharabah akan berakhir setelah selesai proyek yang dikerjakan atau batas waktu yang ditentukan telah berlalu, atau kematian salah satu pihak, atau pengumuman dari salah satu pihak untuk mengundurkan diri dari mudharabah dengan niat membubarkannya. Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami) --------------------------------- [1] Umer Chapra, M, Dr, Sistem Moneter Islam, terjemahan, Jakarta: Gema Insani & Tazkia Cendekia, 2000 [2] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2001 [3] Syafi'i Antonio, M, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia Institute, 2000 Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami) "Merza Gamal" [EMAIL PROTECTED] Mengenal Kemitraan Islami (Bag.3)
2. Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha) Musyarakah merupakan suatu bentuk organisasi usaha di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi sama atau tidak sama.[1] Keuntungan dibagi menurut perbandingan yang sama atau tidak sama, sesuai kesepakatan, antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal. Musyarakah secara bahasa berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Musyarakah dikenal juga dengan istilah "Syirkah". Menurut istilah fikih, syirkah adalah sesuatu akad antara dua orang atau lebih untuk berkongsi modal dan bersekutu dalam keuntungan.[2] Pada prinsipnya syirkah atau musyarakah ada dua jenis, yaitu musyarakah kepemilikan (amlak) dan musyarakah yang tejadi karena kontrak (uqud). Musyarakah kepemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan berbagi dalam asset nyata dan keuntungan yang dihasilkan oleh asset tersebut. Musyarakah akad tercipta karena adanya kesepakatan antara dua orang atau lebih bahwa tiap-tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah dan sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Ketentuan tentang pembagian keuntungan dan petanggungjawaban kerugian persekutuan dalam syirkah, menurut M. Nejatullah Siddiqi adalah[3]: 1. Kerugian merupakan bagian modal yang hilang, karena kerugian akan dibagi ke dalam bagian modal yang diinvestasikan dan akan ditanggung oleh para pemodal; 2. Keuntungan akan dibagi di antara para sekutu atau mitra usaha dengan bagian yang telah ditentukan oleh mereka dengan bagian atau prosentase tertentu, bukan dalam jumlah nominal yang pasti yang ditentukan oleh dan bagi pihak manapun; 3. Dalam suatu kerugian usaha yang berlangsung terus, diperkirakan usaha akan menjadi baik kembali melalui keuntungan sampai usaha tersebut menjadi seimbang kembali. Penentuan jumlah nilai ditentukan kembali dengan menyisihkan modal awal dan jumlah nilai yang tersisa akan dianggap sebagai keuntungan atau kerugian; 4. Pihak-pihak yang berhak atas pembagian keuntungan usaha boleh meminta bagian mereka hanya jika para penanam modal awal telah memperoleh kembali investasinya, atau pemilik modal melakukan suatu transfer yang sah sebagai hadiah kepada mereka. Musyarakah akad merupakan sebuah kemitraan kontraktual dan dipandang sebagai suatu kemitraan yang benar karena pihak yang bersangkutan bersedia memasuki persetujuan kontrak untuk melakukan investasi bersama dalam berbagi keuntungan dan resiko. Musyarakah atau syirkah akad dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu: 1. Syirkah Al Inan Merupakan kemitraan antara dua orang atau lebih yang masing-masing menyertakan modal ke dalam sebuah usaha dan sekaligus menjadi pengelolanya, kemudian keuntungan dibagi antara mereka berdasarkan kesepakatan. 2. Syirkah Al Wujuh Kemitraan antara dua orang atau lebih dengan modal dari pihak di luar keduanya, keuntungan dibagi setelah dikurangi dengan modal yang diperoleh dari pihak luar tersebut 3. Syirkah Abdan Kemitraan antara dua orang atau lebih yang mengandalkan tenaga atau keahliannya saja tanpa harta mereka untuk menerima pekerjaan, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan. 4. Syirkah Mufawadhah Kemitraan antara dua orang atau lebih yang menyetor modal dan keahlian yang sama. Masing-masing mitra saling menanggung satu dengan lainnya dalam hak dan kewajiban, dan tidak diperbolehkan satu mitra memiliki modal dan keuntungan lebih tinggi dari mitra yang lainnya. Dalam praktek, bentuk kemitraan musyarakah yang paling populer adalah Syirkah Al Inan yang mengandung implikasi saham tidak sama di antara para mitra dan diakui oleh semua mazhab dalam agama Islam. Musyarakah dalam teknis lembaga keuangan dikenal sebagai kerjasama modal usaha atau Partnership, Project Financing Participation.[4] Aplikasi Musyarakah dalam praktek lembaga keuangan adalah berupa: 1. Pembiayaan Proyek Lembaga keuangan dan pengusaha secara bersama-sama menyediakan dana untuk membiayai sebuah proyek. Setelah proyek selesai, pengusaha mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati kepada lembaga keuangan. 2. Modal Ventura Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu penyedia dana melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara langsung atau bertahap. Menurut Dr. M. Umer Chapra, musyarakah atau syirkah dalam prakteknya terdapat dalam berbagai model, para mitra dapat memberikan kontribusi bukan hanya modal dalam hal keuangan, tetapi juga tenaga, manajemen, dan keahlian, dan kemauan baik, meskipun tidak harus sama. Kemitraan musyarakah atau syirkah dapat merupakan suatu bentuk kombinasi dari berbagai bentuk. Persyaratan Syariah dalam membagi proporsi modal dan keuntungan dalam bermitra usaha adalah keadilan. Keadilan yang dimaksud bukanlah pemerataan secara mutlak, tetapi adalah keseimbangan antar individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dengan masyarakat, antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.[5] Dengan demikian keadilan dalam kemitraan usaha mengandung implikasi bahwa saham proporsional dalam laba harus merefleksikan kontribusi yang diberikan kepada usaha oleh modal mereka baik berupa keahlian, waktu, kemampuan manajemen, kemauan baik, dan kontrak, serta kerugian juga harus dirasakan bersama sesuai proporsi modal dan tuntutan-tuntutan lain yang timbul akibat usaha tersebut. Dalam sebuah sistem perekonomian dengan perbedaan-perbedaan kekayaan yang begitu substansial, dan pemberian pinjaman modal yang menginginkan keuntungan tanpa terlibat resiko bisnis, adalah irrasional untuk dapat memberikan pinjaman kepada orang miskin sama banyaknya seperti halnya yang diberikan kepada orang-orang kaya, atau mengulurkan pinjaman sama banyaknya karena persyaratan yang sama bagi keduanya, seperti tingkat suku bunga yang sama atau bahkan lebih tinggi kepada pengusaha kecil daripada yang dikenakan kepada pengusaha besar, dan keharusan memiliki kolateral (jaminan) dengan nilai yang lebih tinggi dari pinjaman modal dengan mengabaikan kenyataan apakah mereka akan menghasilkan keuntungan di atas rata-rata dari investasi modal mereka. Hal ini merupakan preseden buruk bagi masyarakat karena akan mengakibatkan pemihakan kepada satu kelas sosial tertentu saja, dan menimbulkan kegagalan masyarakat dalam memanfaatkan bakat wirausahanya secara maksimal. Penggunaan sistem kemitraan bagi hasil berdasarkan Syariah diharapkan mampu menanggulangi permasalahan modal dan peluang usaha yang terjadi selama ini karena akan menyuburkan kemampuan wirausaha di kalangan anggota masyarakat yang lemah dari sisi permodalan, sehingga usaha kecil dan mikro mampu menyumbang kepada output, lapangan pekerjaan, dan distribusi pendapatan. Dengan adanya penanggungan resiko dan keuntungan bersama oleh lembaga keuangan akan mengurangi beban pengusaha pada saat-saat sulit dan mengganti membayar lebih tinggi pada masa-masa untung, dan lembaga keuangan bersedia menanggung resiko usaha tanpa mengurangi kekuatan finansialnya, karena terbangunnya sitem pencadangan pengganti kerugian (loss-offsetting reserves). Penulis : MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami) --------------------------------- [1] Umer Chapra, M, Dr, Sistem Moneter Islam, terjemahan, Jakarta: Gema Insani & Tazkia Cendekia, 2000 [2] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2001 [3] Nejatullah Siddiqi, M, Dr, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, terjemahan, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996 [4] Syafi'i Antonio, M, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Jakarta: Tazkia Institute, 2000 [5] Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, terjemahan, Jakarta: Gema Insani Press, 1997 To subscribe e-mail to: [EMAIL PROTECTED]
SPONSORED LINKS
YAHOO! GROUPS LINKS
|