* Dokumen Asli Soeharto Belum Ditemukan etc
 Koran Tempo - Senin, 04 Juni 2007

JAKARTA -- Kejaksaan Agung hingga saat ini masih mencari dokumen asli
terkait dengan yayasan Soeharto yang sedianya dijadikan barang bukti
dalam penuntutan perdata terhadap mantan presiden tersebut. "Saya
tidak tahu apakah dokumen itu hilang, disimpan, atau bagaimana. Yang
jelas, sedang dicari," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan
Agung Salman Maryadi kepada Tempo kemarin.

Dokumen itu disimpan oleh Kejaksaan Tinggi Jakarta setelah kasus
tindak pidana korupsi Soeharto tak dapat disidangkan. Namun, saat tim
jaksa pengacara negara pimpinan Dachmer Munthe akan memakainya dalam
tuntutan perdata, yang diserahkan hanya fotokopiannya.

Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Alex Sato Bya pun
mengaku tak tahu di mana persisnya berkas asli itu berada. ''Saat 
saya
terima sembilan filing cabinet berkas dalam keadaan fotokopian,''
katanya.

Agak susah melacaknya karena sudah enam tahun dokumen itu "tak
diperhatikan". Pada September 2000 ketua majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, Lalu Mariyun, menolak mengadili perkara 
karena
Soeharto sakit permanen. Pada Mei 2006 Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh
menghentikan penuntutan perkara. Di antara dua waktu itu, berkas
tersebut cuma teronggok.

Tujuh tahun lalu, Chairul Imam, mantan Direktur Tindak Pidana Korupsi
Kejaksaan Agung, telah mendapatkan dokumen-dokumen asli. Bahkan ia
sempat mengecek keabsahan dokumen tersebut ke sejumlah saksi kunci,
seperti Bustanil Arifin, mantan Menteri Koperasi yang juga Bendahara
Yayasan Amal Bhakti Pancasila. "Ah, masak sih hilang? Kalau benar,
pasti ada sabotase," kata Chairul Imam berang.

Meski berkas belum ditemukan aslinya, proses penuntutan perdata
terhadap Soeharto jalan terus. Menurut Munthe, dokumen fotokopian 
yang
diperlukan nantinya akan dilegalisasi dan dikonfirmasi ke beberapa
sumber yang terkait. Timnya, kata dia, akan meminta konfirmasi kepada
43 saksi yang bisa membenarkan keabsahan surat itu.

Menurut Munthe, walau tidak mau mengungkap siapa saja saksi yang akan
diperiksa, saksi yang akan dimintai keterangan oleh tim jaksa adalah
saksi yang pernah dipanggil dan terkait dengan kasus pidana Soeharto.
''Juga tim jaksa yang kala itu menangani,'' katanya.

''Selain itu, akan diminta keterangan saksi ahli,'' katanya. Dengan
legalisasi dan konfirmasi itu, dokumen fotokopian pun akan sesakti
aslinya. "Legalisasi dan pembenaran saksi bisa menjadikan dokumen
menjadi alat bukti,'' ujarnya.

Hal yang sama dikatakan oleh Direktur Perdata Kejaksaan Agung Yoseph
Suardi Sabda. Dia mengatakan, untuk memperkuat gugatan perdata, 
memang
harus dilampirkan bukti dokumen asli.

''Jika memang tidak ada, legalisasi pun bisa dikuatkan dengan
pengesahan penyidik, notaris, atau pejabat yang berwenang,'' katanya.

Namun, seorang jaksa yang menolak namanya dikutip meragukan dokumen
itu hilang. Dia khawatir berkas penting itu disimpan di tempat lain
karena khawatir "dihilangkan". Ia menunjuk sejumlah insiden
mencurigakan sepanjang penyidikan kasus korupsi Soeharto: ledakan bom
di Gedung Bundar pada Juli 2000 dan kebakaran di gedung Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan tiga bulan sesudahnya. 
Setidaknya,
"Salinan berkas perkara disimpan di dua tempat itu," katanya. Hingga
kini tak jelas di mana berkas perkara Soeharto itu disimpan. SANDY
INDRA PRATAMA | WAHYU DHYATMIKA

Sumber: Koran Tempo - Senin, 04 Juni 2007
=================
* Tiga Saksi Kasus Soeharto Sudah Dipastikan
 Kompas - Sabtu, 02 Juni 2007

Kejaksaan Agung mulai memastikan keterangan sejumlah saksi yang 
pernah
memberikan keterangan dalam penyidikan perkara dugaan korupsi mantan
Presiden Soeharto. Keterangan saksi itu digunakan untuk menguatkan
barang bukti berupa fotokopi dokumen-dokumen, yang akan digunakan
dalam menggugat perdata Soeharto dan Yayasan Supersemar.

Direktur Perdata pada Bagian Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan
Agung Yoseph Suardi Sabda, Kamis (31/5), menyampaikan, tiga saksi
sudah didatangi dan dipastikan keterangannya. Namun, Yoseph menolak
menyebutkan siapa saja saksi yang dimintai keterangan itu.

"Keterangan mereka menguatkan barang bukti dokumen yang kami miliki,"
kata Yoseph.

Dengan demikian, meskipun bukti berupa fotokopi dokumen, diyakini hal
itu dapat mendukung gugatan perdata atas perbuatan melawan hukum
Soeharto dan Yayasan Supersemar. Rencananya, dalam gugatan tersebut,
Kejaksaan selaku jaksa pengacara negara akan mengajukan ganti rugi
materiil Rp 1,5 triliun dan imateriil Rp 10 triliun.

Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Salman
Maryadi mengatakan, Bagian Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan
Agung akan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam mencari
saksi-saksi kasus Soeharto.

Yoseph Suardi Sabda pernah menyampaikan, sebanyak 43 saksi yang 
pernah
bersaksi saat pemeriksaan perkara Soeharto akan disortir lagi.

"Dicari, siapa yang relevan untuk perkara perdata. Harus dipastikan
juga mereka mau bersaksi dalam gugatan perdata," ujar Yoseph.

Kasus PT Timor disidik

Dugaan kerugian negara, sesuai informasi tim penyidik, masih dihitung
dengan meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan,"
kata Salman Maryadi pada Kamis siang.

Dihubungi Kamis malam, Elza Syarief, salah seorang pengacara Hutomo
Mandala Putra atau Tommy Soeharto—pemilik PT TPN—mengaku sudah
mendengar perihal penyidikan jaksa itu. Begitu pula kliennya. Namun,
Elza menolak menanggapi dimulainya penyidikan perkara yang diduga
melibatkan kliennya di PT TPN, yang tak lama dilakukan setelah
penyidikan dugaan korupsi di Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh.
"Kita lihat saja nanti," kata Elza. (idr)

Sumber: Kompas - Sabtu, 02 Juni 2007
=========================
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=174422

*  PERILAKU HAKIM: Reformasi Peradilan Gagal Total 

Senin, 4 Juni 2007
JAKARTA (Suara Karya): Reformasi peradilan di Indonesia gagal total. 
Karena itu, seperti laporan Transparency International, hakim di 
Indonesia dapat disuap untuk memperlambat atau mempercepat proses 
hukum di pengadilan, menerima atau menolak permintaan banding, 
mempengaruhi rekannya sesama hakim, atau menjatuhkan putusan 
tertentu. 

Demikian rangkuman pendapat Direktur Pusat Kajian Antikorupsi 
(Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) Denny Indrayana, dosen ilmu 
hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Depok Rudy Satriyo 
Mukantardjo, dan Ketua Divisi Monitoring Pengadilan Indonesia 
Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho saat dihubungi secara 
terpisah, kemarin, berkaitan dengan Global Corruption Report (GCR) 
2007 sebagai hasil studi Transparency International di 32 negara. 

Menurut Denny, laporan itu mencerminkan institusi peradilan belum 
tersentuh reformasi. Sedangkan Emerson menyatakan, reformasi 
peradilan telah gagal. 

Kondisi peradilan seperti tertuang dalam GCR 2007, menurut Denny, 
juga akibat ketidaktegasan politik. "Sebab, bidang politik juga 
belum tersentuh reformasi. Baru birokrasi yang sudah mengalami 
reformasi," katanya. 

Menurut Denny, keberhasilan reformasi peradilan sangat berkorelasi 
dengan reformasi politik. Reformasi peradilan bisa berjalan baik, 
katanya, jika diiringi dengan kemauan politik yang kuat. Sedangkan 
kehidupan politik yang baik bisa terwujud jika pengadilan kuat dan 
adil. Karena itu, pembenahan kedua sektor itu harus dilakukan 
sinergis. "Jangan lupa, mafia peradilan juga harus diberantas," kata 
Denny. 

Menurut Emerson, gagalnya reformasi peradilan mengesankan pembiaran, 
terutama terhadap sepak-terjang mafia peradilan. "Fenomena tersebut 
berlangsung dari tahun ke tahun. Tetapi tidak ada pembenahan yang 
berarti di institusi kejaksaan, kepolisian, bahkan hakim sendiri. 
Mafia peradilan tetap tumbuh subur," katanya. 

Dalam pandangan Rudy, kondisi peradilan Indonesia yang digambarkan 
GRC 2007 harus segera ditanggapi serius. Antara lain adalah 
melakukan penilaian terhadap setiap hakim secara periodik, terutama 
menyangkut kemampuan menangani perkara. (Nefan Kristiono
====================

Kirim email ke