Tidak Ada Korelasi antara Gedung Mewah dan Kemiskinan

Tak pelak lagi, salah satu anggota DPR yang kerap membuat pernyataan
kontroversial adalah Pius Lustrilanang. Posisi politisi Partai Gerindra
sebagai Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR membuat dia
acap tampil di media massa guna menjelaskan keputusan-keputusan yang
telah dikeluarkan BURT. Beberapa bulan lalu, misalnya, ia harus
berjibaku untuk mempertahankan ide “dana aspirasi” yang memperoleh
penolakan luas dari masyarakat.

Kali ini, bersama Ketua BURT yang juga Ketua DPR Marzuki Alie, ia
kembali harus jungkir balik mencoba mempertahankan rancangan gedung
baru DPR yang nilai gedung beserta perlengkapannya mencapai Rp 1,8
triliun. Rencana ini pun kembali menuai kritik dan kecaman dari beragam
lapisan masyarakat karena dianggap melukai rasa keadilan masyarakat
serta tidak sensitif terhadap kondisi sebagian besar masyarakat yang
masih memprihatinkan.

Entah karena kelelahan menghadapi serangan yang bertubi-tubi atau memang 
demikianlah kemampuan berpikirnya, Pius menangkis
dengan jawaban, “Tidak ada korelasi antara membangun gedung DPR dengan
kemiskinan. Kalau masyarakat miskin, Indonesia memang miskin. Tapi kita
kan tidak berhenti berjuang.”

Ada beberapa kesalahan berpikir mendasar yang dilakukan Pius terkait
pernyataannya itu. Pertama, rencana pembangunan gedung beserta
fasilitasnya yang cenderung mengada-ada telah memaksa negara
menyisihkan dana begitu besar dan pada saat yang sama harus
mengesampingkan banyak persoalan kerakyatan yang lebih memerlukan
dukungan kebijakan penganggaran. Dana sebesar itu, misalnya, dapat
menjadi investasi tahap awal pembangunan monorel
di Jakarta yang akan berkontribusi mengurangi kemacetan parah di
ibukota. Berkurangnya kemacetan berarti berkurangnya pemborosan bahan
bakar, waktu, dan tenaga, yang pada akhirnya diharapkan akan dapat
meningkatkan produktivitas masyarakat.

Biaya pembangunan gedung baru plus perlengkapannya yang harga
rata-rata satu ruangan anggota DPR mencapai Rp 2,8 miliar itu juga
dapat digunakan untuk membiayai bantuan iuran
jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) bagi lebih dari 22 juta warga
miskin selama satu tahun. Rakyat miskin yang selama ini hanya dapat
menyerah kepada nasib ketika sakit, akan berkesempatan memperoleh
pelayanan kesehatan tanpa harus terlalu risau dengan pembiayaannya.
Masyarakat miskin yang sehat tentu akan lebih produktif dan berpeluang
meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

Kedua, berhubungan dengan kemampuan berempati dan memahami.
Bagaimana rakyat akan percaya bahwa mereka yang mengaku sebagai wakil
rakyat akan mampu merasakan beratnya kehidupan yang selama ini dijalani
rakyat kecil bila ruangan seluas 120 meter persegi, yang dibangun
dengan biaya Rp 10 juta per meter persegi,
untuk satu anggota DPR itu masih lebih besar daripada luas lima rumah
sederhana sehat bersubsidi, yang masing-masing hanya 21 meter persegi?
Apatah lagi bila dibandingkan dengan mereka yang berumah kardus di
pinggir kali atau rel kereta api?

Bila puluhan juta rakyat masih berkubang dengan kemiskinan sementara
wakil rakyat bergelimang kemewahan, sebenarnya mereka mewakili siapa?
Atau, barangkali Pius memang sadar dan berkata benar, bahwa tidak ada
korelasi antara gedung mewah dan kemiskinan. Karena, wakil rakyat di
gedung mewah dan rakyat miskin yang (diklaim) diwakilinya sesungguhnya
hidup di dua alam yang terpisah dan sama sekali tidak berhubungan…
                                                
                                                


      

Kirim email ke