PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL JAMAÂ’AH TERHADAP MASALAH KUFUR DAN TAKFIR

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Sumber : almanhaj.or.id

Definisi Kufur
Kufur secara bahasa, berarti menutupi. Sedangkan menurut syaraÂ’, kufur adalah, 
tidak beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , 
baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya.[37] Orang yang melakukan 
kekufuran, tidak beriman kepada Allah dan Rasul- Nya disebut kafir.

Prinsip-Prinsip Ahlus Sunnah Dalam Masalah Kufur Dan Takfir
Masalah takfir (kafir-mengkafirkan) adalah masalah yang sangat berbahaya. 
Karena itu, para ulama sangat berhati-hati dalam masalah ini, sebagaimana 
penjelasan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Karena inilah, wajib 
berhatihati dalam mengkafirkan kaum Muslimin dengan sebab dosa dan kesalahan 
(yang dilakukan). Karena hal ini adalah bidÂ’ah yang pertama kali muncul dalam 
Islam, sehingga pelakunya mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah 
serta harta mereka”.[38]

Di bawah ini saya akan jelaskan kaidah-kaidah menurut para ulama Ahlus Sunnah 
tentang masalah kufur dan takfir.

[1]. Masalah pengkafiran adalah hukum syarÂ’i dan tempat kembalinya kepada Allah 
Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[2]. Barangsiapa yang tetap keislamannya secara meyakinkan, maka keislaman itu 
tidak bisa lenyap darinya, kecuali dengan sebab yang meyakinkan pula.[39]

[3]. Tidak setiap ucapan dan perbuatan -yang disifatkan nash sebagai kekufuran- 
merupakan kekafiran yang besar (kufur akbar) yang mengeluarkan seseorang dari 
agama, karena sesungguhnya kekafiran itu ada dua macam, yaitu: kekafiran kecil 
(asghar) dan kekafiran besar (akbar). Maka, hukum atas ucapan-ucapan maupun 
perbuatan-perbuatan ini, sesungguhnya berlaku menurut ketentuan metode para 
ulama Ahlus Sunnah dan hukumhukum yang mereka keluarkan.

[4]. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir kepada seorang muslim, kecuali telah 
ada petunjuk yang jelas, terang dan mantap dari al-Qur‘an dan as-Sunnah atas 
kekufurannya. Maka, dalam permasalahan ini, tidak cukup hanya dengan syubhat 
dan zhan (persangkaan) saja.

Ahlus Sunnah tidak menghukumi atas pelaku dosa besar tersebut dengan kekafiran. 
Namun menghukuminya sebagai bentuk kefasikan dan kurangnya iman, apabila bukan 
dosa syirik dan dia tidak menganggap halal perbuatan dosanya. Hal ini karena 
Allah TaÂ’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni 
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. 
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang 
besar” [An-Nisa‘: 48]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam memperingatkan dengan keras tentang 
tidak bolehnya seseorang menuduh orang lain dengan “kafir” atau “musuh Allah”. 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

"Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya “wahai kafir”, maka dengan 
ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya, apabila seperti yang 
ia katakan; namun apabila tidak, maka akan kembali kepada yang menuduh” [40]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

“ ... Dan barangsiapa yang menuduh kafir kepada seseorang atau mengatakan ia 
musuh Allah, sedangkan orang tersebut tidaklah demikian, maka tuduhan tersebut 
berbalik kepada dirinya sendiri”.[41]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan ataupun kekufuran, 
karena tuduhannya akan kembali kepada dirinya, jika orang yang dituduh tidak 
seperti yang ia tuduhkan.[42]

[5]. Terkadang ada keterangan dalam al-Qur‘an dan as-Sunnah yang mendefinisikan 
bahwa suatu ucapan, perbuatan atau keyakinan merupakan kekufuran (bisa disebut 
kufur). Namun, tidak boleh seseorang dihukumi kafir, kecuali telah ditegakkan 
hujjah atasnya dengan kepastian syarat-syaratnya, yakni mengetahui, dilakukan 
dengan sengaja dan bebas dari paksaan, serta tidak ada penghalang-penghalang 
(yang berupa kebalikan dari syarat-syarat tersebut).[43]

Dan yang berhak menentukan seseorang telah kafir atau tidak adalah Ahlul ‘Ilmi 
yang dalam ilmunya, dan para ulama Rabbani44 dengan ketentuan-ketentuan 
syariÂ’at yang sudah disepakati.

[6]. Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan orang yang dipaksa (dalam keadaan 
diancam), selama hatinya tetap dalam keadaan beriman. Allah Subhanahu wa TaÂ’ala 
berfirman

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat 
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang 
dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya 
untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar” 
[An-Nahl:106]

[7]. Kufrun akbar (kekafiran besar) ada beberapa macam, sebagai berikut.
a. Juhud (mengingkari)
b.Takdzib (mendustakan)
c. Iba‘ (sikap enggan)
d. Syakk (keraguan)
e. Nifaq (kemunafikan)
f. IÂ’radh (sikap berpaling)
g. Istihza‘ (memperolok-olok)
h. Istihlal (penghalalan)

[8]. Sebab-sebab yang dapat membawa kepada kekafiran besar ada tiga macam, 
yaitu: perkataan, perbuatan, dan i’tiqad (keyakinan). Di antara kufur ‘amali 
(perbuatan) dan qauli (ucapan), ada yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama 
dengan sendirinya dan tidak mensyaratkan penghalalan hati. Yaitu sesuatu 
perbuatan atau perkataan yang jelas bertentangan dengan iman dari segala 
seginya, misalnya menghujat Allah TaÂ’ala, mencaci-maki Rasul Shallallahu 
‘alaihi wa sallam, bersujud kepada berhala, membuang mushaf al Qur`an di tempat 
sampah, dan perbuatan-perbuatan lain yang semakna dengan itu.

Dijatuhkannya hukum kufur ini kepada orang-orang tertentu tidak boleh, 
melainkan setelah memenuhi syarat-syarat (kufur) yang bisa diterima, 
sebagaimana perbuatanperbuatan lain yang menyebabkan kafir pelakunya.

[9]. Sesungguhnya amalan kekafiran adalah kufur dan bisa menyebabkan pelakunya 
kafir, sebab keadaannya menunjukkan kepada batinnya yang juga kufur. Ahlus 
Sunnah tidak mengatakan seperti ucapannya para ahli bid’ah: “Amalan kekafiran 
tidak kufur, tapi dia menunjukkan kepada kekufuran!” Perbedaan keduanya jelas.

[10]. Sebagaimana ketaatan merupakan sebagian dari cabang-cabang iman, demikian 
juga maksiat merupakan sebagian dari cabang kekafiran. Masing-masing sesuai 
dengan kadarnya.

[11]. Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul kiblat (kaum 
Muslimin), yang dikarenakan dosa-dosa besarnya. Mereka mengkhawatirkan 
terjadinya nash-nash ancaman kepada pelaku dosa-dosa besar, walaupun mereka 
tidak kekal di dalam neraka. Bahkan mereka akan bisa keluar dengan syafaÂ’at 
para pemberi syafaÂ’at, dan karena rahmat Allah TaÂ’ala disebabkan pada mereka 
masih ada tauhid. Pengkafiran karena dosa besar adalah madzhab Khawarij yang 
keji.[45]

Perbedaan Antara Kufur Besar dan Kufur Kecil
[1]. Kufur besar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menghapuskan 
(pahala) amalnya, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari 
agama Islam, juga tidak menghapuskan (pahala) amalnya, tetapi bisa mengurangi 
(pahala)nya sesuai dengan kadar kekufurannya, dan pelakunya tetap dihadapkan 
dengan ancaman.

[2]. Kufur besar menjadikan pelakunya kekal di dalam neraka, sedangkan kufur 
kecil, jika pelakunya masuk neraka, maka ia tidak kekal di dalamnya, dan bisa 
saja Allah TaÂ’ala memberi ampunan kepada pelakunya sehingga ia tidak masuk 
neraka sama sekali.

[3]. Kufur besar menjadikan halal darah dan harta pelakunya, sedangkan kufur 
kecil tidak demikian.

[4]. Kufur besar mengharuskan adanya permusuhan yang sesung-guhnya, antara 
pelakunya dengan orang-orang mukmin. Dan orang-orang mukmin tidak boleh 
mencintai dan setia kepadanya, betapa pun ia adalah keluarga terdekat. Adapun 
kufur kecil, maka ia tidak melarang secara mutlak adanya kesetiaan, tetapi 
pelakunya dicintai dan diberi kesetiaan sesuai dengan kadar keimanannya, dan 
dibenci serta dimusuhi sesuai dengan kadar kemaksiatannya.[46] Wallaahu aÂ’lam.

[Dinukil dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007M. Judul Lengkapnya 
Hakikat Iman, Kufur, Dan Takfir Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah & Menurut 
Firqah-Firqah Yang Sesat. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat 
Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[37]. Majmu’ Fatawa’ ‘ (XII/335), dan lihat ‘Aqidatut-Tauhid, Syaikh Shalih 
al-Fauzan, halaman 81.
[38]. MajmuÂ’ FatawaÂ’ (XIII/31)
[39]. MajmuÂ’ FatawaÂ’ (XII/466).
[40]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 60), Abu ‘Awanah (I/23), 
Ibnu Hibban (no. 250-at-Ta’liqatul-Hisan ‘ala Shahih Ibni Hibban), dan Ahmad 
(II/44) dari Sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma .
[41]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 61), dari Sahabat Abu Dzar 
Radhiyallahu 'anhu
[42]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6045) dan Ahmad (V/181), 
dari Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu
[43]. Syarat-syarat seseorang bisa dihukumi kafir: (1). mengetahui (dengan 
jelas), (2). dilakukan dengan sengaja, dan, (3). tidak ada paksaan.
Sedangkan intifaÂ’ul mawaniÂ’ (tidak ada penghalang yang menjadikan seseorang 
dihukumi kafir), yaitu kebalikan dari syarat tersebut di atas. (1). Tidak 
mengetahui, (2). Tidak disengaja, dan (3). Karena dipaksa. Lihat Mujmal 
Masa-ilil Iman wal Kufr al-‘Ilmiyyah fi Ushulil-‘Aqidah as-Salafiyyah, Cetakan 
II Tahun 1424 H, halaman 28-35, dan MajmuÂ’ FatawaÂ’ (XII/498).
[44]. Rabbani, adalah orang yang bijaksana, ‘alim, dan penyantun, serta banyak 
ibadah dan ketakwaannya. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/405).
[45]. Lihat bahasan kufur dan takfir dalam MajmuÂ’ al-Fatawa (XII/498) dan 
Mujmal Masa-ilil-Iman wal-Kufr al-‘Ilmiyyah fi Ushulil-‘Aqidah as-Salafiyyah, 
oleh Musa Alu Nashr, ‘Ali Hasan al-Halabi al-Atsari, Salim bin ‘Id al-Hilali, 
Masyhur Hasan Alu Salman, Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah, Basim bin Faishal 
al-Jawabirah - -, Cetakan II Tahun 1424 H, halaman 28-35. Lihat pula Al-Wajiz 
fi ‘Aqidatis-Salafish-Shalih, ‘Abdullah bin ‘Abdil Hamid al-Atsari, dimuraja’ah 
dan ditaqdim oleh beberapa ulama, Darur-Rayah, Cetakan II Tahun 1422 H, halaman 
121-126, dan Fitnatut-Takfiir, oleh Muhadditsul-‘Ashr Syaikh Muhammad 
Nashiruddin al-Albani, Taqdim : Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dan Ta’liq : 
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin , dikumpulkan oleh ‘Ali bin Husain Abu 
Lauz, Dar Ibnu Khuzaimah, Cetakan II Tahun 1418 H, dan Tabshir bi 
Qawa’idit-Takfiir, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, Cetakan I Tahun 1423 H.
[46]. ‘Aqidatut Tauhid, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan, 
halaman 84. Pembahasan tentang pembatal-pembatal Islam dapat dilihat pada buku 
saya, Prinsip Dasar Islam, Pustaka at-Taqwa, Bogor, Cetakan II.

From: daarut-tauhiid@yahoogroups.com [mailto:daarut-tauhiid@yahoogroups.com] On 
Behalf Of A Nizami
Sent: Thursday, August 09, 2012 8:28 AM
To: daarut-tauhiid@yahoogroups.com
Subject: [daarut-tauhiid] Jangan Mudah Mengkafirkan Sesama Muslim



Assalamu'alaikum wr wb,

Jangan Mudah Mengkafirkan Sesama Muslim
Sesungguhnya ada 6 Rukun Iman (Allah, Malaikat, Kitab Suci, Nabi, Hari Akhir, 
dan Qadla serta Qadar) dan 5 Rukun Islam (Mengucapkan 2 kalimat Syahadah, 
Shalat 5 waktu, Puasa di bulan Ramadhan, Zakat, dan Haji jika mampu). Jika 
mengingkari salah satunya, misalnya tidak mau shalat, baru kita bisa mengatakan 
orang itu kafir. Atau mengaku ada Nabi setelah Nabi Muhammad.

Namun jika tidak, kita harus hati-hati dalam mengkafirkan seseorang. Karena 
dosanya besar. Jika yang dituduh tidak kafir, maka kitalah yang kafir.

Tuduhan KAFIR adalah tuduhan yang amat berat. Jika seorang suami dinyatakan 
kafir, maka dia harus diceraikan dari istrinya yang Muslim. Hubungan waris 
dengan keluarganya yang Muslim putus. Saat meninggal, tidak boleh disholatkan 
dan tidak boleh didoakan. Jadi tuduhan kafir bukan tuduhan yang main-main.

Ada kelompok Khawarij yang begitu mudah mengkafirkan seorang Muslim bahkan 
menghalalkan darahnya untuk dibunuh. Mereka menganggap hanya kelompok mereka 
saja yang paling benar. Para ulama sepakat bahwa kelompok Khawarij ini sudah 
keluar dari Islam. Semoga kita tidak terjebak dalam kelompok ini.

Tiga perkara berasal dari iman: (1) Tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan 
“Laailaaha illallah” karena suatu dosa yang dilakukannya atau mengeluarkannya 
dari Islam karena sesuatu perbuatan; (2) Jihad akan terus berlangsung semenjak 
Allah mengutusku sampai pada saat yang terakhir dari umat ini memerangi Dajjal 
tidak dapat dirubah oleh kezaliman seorang zalim atau keadilan seorang yang 
adil; (3) Beriman kepada takdir-takdir. (HR. Abu Dawud)

Jangan mengkafirkan orang yang shalat karena perbuatan dosanya meskipun (pada 
kenyataannya) mereka melakukan dosa besar. Shalatlah di belakang tiap imam dan 
berjihadlah bersama tiap penguasa. (HR. Ath-Thabrani)

Dari Abu Musa r.a., katanya: “Saya berkata: “Ya Rasulullah, manakah kaum 
Muslimin itu yang lebih utama?” Beliau s.a.w. menjawab: “Yaitu yang orang-orang 
Islam lainnya merasa selamat daripada gangguan lisannya -yakni pembicaraannya- 
serta dari tangannya.” (Muttafaq ‘alaih)

Di saat Usamah, sahabat Rasulullah saw, membunuh orang yang sedang mengucapkan, 
“Laa ilaaha illallaah, ” Nabi menyalahkannya dengan sabdanya, “Engkau bunuh 
dia, setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah.” Usamah lalu berkata, “Dia 
mengucapkan Laa ilaaha illallaah karena takut mati.” Kemudian Rasulullah saw. 
bersabda, “Apakah kamu mengetahui isi hatinya?” [HR Bukhari dan Muslim]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan 
kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. 
Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi 
yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu 
sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. 
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[1410] dan 
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” 
[Al Hujuraat 11]

[1409]. Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama 
mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.

[1410]. Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang 
digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan 
seperti: hai fasik, hai kafir dan sebagainya.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), 
karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari 
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang 
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka 
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. 
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” [Al Hujuraat 12]

Dari ayat di atas, sering orang suka mencari-cari kesalahan orang lain. Padahal 
kalau dia introspeksi, bisa jadi kesalahannya lebih banyak daripada orang yang 
dia cari.

Ash-Shahih (Shahih al-Bukhari), dari Tsabit bin adh-Dhahhak, dari Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

“… Dan melaknat seorang Mukmin seperti membunuhnya. Siapa saja yang menuduh 
seorang Mukmin dengan kekafiran, maka ia seperti membunuhnya”.

“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya “hai kafir”, maka ucapan itu akan 
mengenai salah seorang dari keduanya.” [HR Bukhari]

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam bersabda:

“Bila seseorang mengkafirkan saudaranya (yang Muslim), maka pasti seseorang 
dari keduanya mendapatkan kekafiran itu. Dalam riwayat lain: Jika seperti apa 
yang dikatakan. Namun jika tidak, kekafiran itu kembali kepada dirinya 
sendiri”.[HR Muslim]

Dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa memanggil seseorang dengan kafir atau mengatakan kepadanya “hai 
musuh Allah”, padahal tidak demikian halnya, melainkan panggilan atau 
perkataannya itu akan kembali kepada dirinya”.[HR Muslim]

Janganlah kita mengkafirkan seorang Muslim hanya karena dia tidak mampu 
melaksanakan 100% dari perintah Allah dalam Al QurÂ’an. Itu bukan berarti dia 
kafir. Tapi karena memang manusia itu sifatnya lemah. Tempat salah dan lupa. 
Hanya Nabi yang mampu melaksanakan 100% perintah Allah. Hanya Nabi yang 
maksum/terlindung dari dosa. Kita semua niscaya tak lepas dari dosa. Jadi 
jangan seenaknya mengkafirkan sesama Muslim.

Saat jumhur Ulama telah sepakat bahwa satu kelompok seperti Ahmadiyyah atau 
Islam Liberal itu sesat, kita wajib tunduk dengan meyakini mereka sesat. Namun 
jika jumhur Ulama tidak menyatakan demikian, cuma segelintir dari kelompok 
ekstrim saja yang menyatakan sesat bahkan kafir, hendaknya kita tidak 
ikut-ikutan mengkafirkan mereka. Sebab jika ternyata pendapat mayoritas ulama 
benar, bahwa mereka tidak sesat/kafir, maka kitalah yang kafir. Jadi 
mengkafirkan sesama Muslim itu gampang. Tapi resikonya berat. Kita bisa kafir 
dan masuk neraka.




------------------------------------

====================================================
Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung - Jakarta - Batam
====================================================
 Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar 
====================================================
       website:  http://dtjakarta.or.id/
====================================================Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/daarut-tauhiid/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    daarut-tauhiid-dig...@yahoogroups.com 
    daarut-tauhiid-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    daarut-tauhiid-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke