Saya setuju dengan pendapat dari pak
laksono, solusi memang diperlukan untuk mengatasi pemerataan penggunaan dana
BPJS. Selain solusi juga perlu dibentuk suatu system untuk memonitor dan
mengevaluasi penggunaan dana BPJS.
 
Solusi untuk pemerataan dokter spesialis
dan alat kesehatan di berbagai daerah juga harus dipecahkan, sebenarnya apakah
yang membuat tenaga kesehatan tersebut “tidak bersedia”untuk ditempatkan di
daerah (terutama daerah selain jawa), tentunya hal tersebut tidak lepas dari 5
M, Man (sebagai sumber daya manusia) tidak bisa disamakan dengan “M” yang  lain 
yaitu berupa Money, Material, Methods, dan
Machine yang cenderung berupa barang/abstrak. Untuk Sumber daya manusia, solusi
yg dipikirkan juga berupa kepuasan kerja mereka, penghasilan dan juga rasa aman
saat bekerja di daerah. 
Selama pengambil kebijakan bisa memikirkan
hal tersebut, mungkin ke depannya pemerataan penempatan dokter spesialis bisa
diatasi.
 
Semoga Kesehatan di Indonesia bisa lebih
baik, terima kasih.
 
 
 
 
Novian S. Hadi
Mahasiswa S2 IKM UGM, Gizi Kesehatan, 2013
 


________________________________
 Dari: Laksono Trisnantoro <trisnant...@yahoo.com>
Kepada: "desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com" 
<desentralisasi-kesehatan@yahoogroups.com> 
Dikirim: Kamis, 10 Oktober 2013 8:33
Judul: Re: [des-kes] Fwd: Kekurangan Dokter Spesialis
 


  
Pak Billy, kekurangan ini yang perlu dicari solusi. Kalau tidak ada solusi yang 
dikawatirkan dana BPJS akan tersedot ke daerah-daerah yang mempunyai spesialis 
dan sub-spesialis. Benefit Package BPJS boleh dikatakan un-limited. RS-RS 
pemerintah dan swasta dan spesialis/sub-spesialis di daerah perkotaan sudah 
siap-siap menggunakan dana BPJS, termasuk untuk melayani masyarakat kelas 
menengah yang ikut BPJS. Satu skenario buruk adalah justru dana BPJS untuk 
daerah sulit tidak banyak diserap (karena kekurangan spesialis dan fasilitas 
kesehatan), dan akan diserap oleh daerah maju. Bisa terjadi saudara-saudara 
kita di NTT dan Papua "mendanai" kita yang di Jawa.

Mari kita monitor perkembangannya. Semoga skenario tersebut tidak jalan.

Salam


Laksono Trisnantoro
Dosen Bagian IKM Fakultas Kedokteran UGM
Peneliti pada Pusat Kebijakan dan Manajemen (PKMK) FK UGM.



On Thursday, October 10, 2013 7:28 AM, Billy N. <bi...@mediator.web.id> wrote:
 
  
Yang dibutuhkan di negeri ini yang begitu luas adalah pisau 'MacGyver'
atau dokter yang lebih umum. Dokter umum, bedah umum, penyakit dalam
umum, pediatri umum, dst bukan yang terlalu spesifik. Jika ada kasus
yang betul-betul spesifik, perbaiki infrastruktur transportasi,
kirim/rujuk saja.
Tapi dengan dalih arogansi bidang keahlian, bidang-bidang keahlian
umum itu kompetensinya dipangkas saat pendidikan, entah dipaksa
kurikulumnya atau waktu pendidikannya dikurangi, atau ada di kurikulum
namun nggak diberikan kesempatan belajar hal-hal yang seharusnya
dipelajari berdasarkan kurikulum. Yang kompeten pun dihalang-halangi
untuk praktikkan kompetensinya.
Aceh kurang dokter bedah anak, Kalbar nggak ada dokter bedah onkologi,
yang sebagian besar kasusnya kompeten dikerjakan dokter bedah umum.
Sebagian besar kasus umum untuk urologi, ortopedi, bedah onkologi,
bedah plastik, dst bisa dikerjakan dokter bedah umum. Kasus-kasus
kardiologi atau pulmonologi non intervensi semuanya bisa ditangani
oleh dokter umum, penyakit dalam (dewasa) atau pediatri (anak). Juga
untuk penyakit kulit & kosmetik medik, sudah banyak pelatihannya untuk
dokter umum, yang penting standar & pengawasannya jelas.
Buat apa mendidik dokter mata kalau akhirnya hanya mengerjakan
kasus-kasus katarak, dokter obgin hanya untuk SC, dokter THT hanya
untuk tonsilektomi, dokter radiologi hanya untuk USG & baca foto
toraks, dokter saraf hanya urus stroke, dst? Susah didistribusikan,
biaya lebih mahal. Lebih baik latih dokter umum untuk tambah
kompetensinya.
Rehabilitasi medik, anestesi, patologi klinik, dst di berbagai negara
lain 'dibagi' dengan profesi lain seperti sarjana fisioterapi/terapi
fisik, sarjana perawat penata anestesi, sarjana ilmu laboratorium
medik, dst.
Dunia cukup untuk semua manusia, tapi nggak cukup untuk 1 orang tamak.
---

http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002569032
Bengkulu Kekurangan Dokter Spesialis

Provinsi Bengkulu kekurangan dokter spesialis. Lowongan untuk dokter
spesialis pada perekrutan calon pegawai negeri sipil beberapa waktu
lalu tidak menarik pelamar.
Kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Bengkulu Tarmizi, Rabu
(9/10), di Bengkulu, menuturkan, hingga batas akhir penerimaan berkas
formulir CPNS formasi tenaga kesehatan, khususnya dokter spesialis dan
perawat jiwa, tidak ada pelamar.
Dokter spesialis yang tidak ada pelamarnya adalah dokter spesialis
kulit dan kelamin, spesialis urologi, spesialis rehabilitasi medik,
spesialis bedah forensik, dan spesialis bedah saraf. Selain itu,
dokter spesialis radiologi, spesialis paru, spesialis mata, spesialis
penyakit dalam, spesialis kebidanan, spesialis anestesi, spesialis
jantung, dan spesialis saraf dengan kuota masing-masing satu orang.
Yang juga kosong tanpa pelamar adalah dokter spesialis kesehatan jiwa,
spesialis ortopedi, spesialis telinga, hidung, tenggorok (THT), serta
dokter spesialis bedah yang kuotanya masing-masing dua orang.

Perjalanan karier
Ketua Ikatan Dokter Indonesia Provinsi Bengkulu Hamzah mengatakan,
kesejahteraan bukan faktor utama pertimbangan dokter spesialis dalam
bekerja di satu daerah. Ada hal lain yang harus dipertimbangkan
pemerintah daerah dalam menarik dokter spesialis, yakni perjalanan
karier dokter.
Seorang dokter umum biasanya bekerja dulu beberapa tahun untuk
menabung biaya melanjutkan spesialisasi. Umumnya mereka kuliah
spesialisasi di atas usia 30 tahun. Sementara itu, batas usia dalam
lowongan CPNS adalah 35 tahun.
Lingkungan dan suasana kerja, kata Hamzah, harus mendukung perjalanan
karier dan peningkatan kompetensi dokter. Dengan demikian, dokter akan
merasa nyaman berkarier. Hal yang menghambat misalnya dokter spesialis
dilarang kepala daerah ikut pelatihan di luar daerah.
Menurut Hamzah, saat ini di Provinsi Bengkulu ada sekitar 30 dokter
spesialis yang tersebar di 10 kabupaten/kota. Jumlah ini masih kurang
dan tidak merata. Sebagian besar dokter berada di kota. Ada daerah
yang belum memiliki dokter spesialis, seperti Kabupaten Kaur, Lebong,
dan Bengkulu Tengah.
Jalan keluar bagi daerah tersebut adalah mendatangkan dokter spesialis
dari Kota Bengkulu sebulan atau seminggu sekali. Selain itu, ada
program Kementerian Kesehatan dengan menugaskan dokter spesialis ke
daerah tertentu secara bergantian setiap enam bulan. Di Bengkulu,
program ini ada di Kabupaten Bengkulu Utara dan Mukomuko.
Hamzah menyatakan, dokter spesialis yang ada jumlahnya masih minim,
yakni dokter spesialis THT hanya satu orang, dokter mata dua orang,
dan dokter saraf satu orang. Dokter spesialis yang tidak ada adalah
dokter bedah saraf, spesialis urologi, dan spesialis bedah tulang
belakang.
Hamzah mengusulkan pemerintah daerah bisa menambah dokter spesialis
dengan menyekolahkan dokter umum yang ada dengan perjanjian. Setelah
disekolahkan spesialis, dokter bersangkutan harus mengabdi dalam kurun
waktu tertentu di daerah terkait.



Kirim email ke