Kompas, Kamis, 10 Maret 2005

Ketika Alam Tidak Lagi Memberi...

NUSA Tenggara Barat termasuk daerah yang melaksanakan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan/GNRHL (Gerhan) di Tanah Air. Latar belakangnya adalah tentu kondisi sumber daya alam lahan dan hutan yang rusak parah oleh penebangan dan pencurian kayu. Akibatnya, antara lain sumber air yang tersedia menyusut debit airnya yang menjadikan distribusi air ke hilir terus berkurang bagi irigasi sawah berlahan basah seluas 495.586 hektar di NTB.

Adanya lahan kritis di dalam dan kawasan hutan adalah konsekuensi lain perlakuan hutan secara destruktif. Untuk memulihkan kondisi itu, Pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota di NTB dihadang masalah dana yang terbatas, karena satu hektar (ha) lahan memerlukan biaya konservasi dengan sistem terasering sekitar Rp 3 juta-Rp 4 juta.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan NTB, Ir Baderun Zaenal, ada 62.000 ha lahan kritis yang menjadi sasaran rehabilitasi selama lima tahun (2003-2007), yang realisasi pelaksanaan tahap pertamanya pada akhir Desember 2004.

Dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota masing-masing untuk areal seluas 100 ha per tahun, APBD provinsi sekitar 200 ha, dan dana APBN (Departemen Kehutanan) sebesar Rp 1,8 miliar, dari total dana yang dicadangkan untuk itu sebesar Rp 53 miliar.

Jenis tanaman yang ditanam berupa tanaman beringin, sengon, kemiri, dua banga, jati, mahoni, buah-buahan, dan lainnya. Penanamannya diprioritaskan pada lahan kering dan miring di kawasan hulu daerah aliran sungai, daerah tangkapan air, sumur resapan, embung, dan dam pengendali.

Pelaksanaan tahap pertama Gerhan, dari target 16.000 ha setahun, mencakup 11.250 ha dalam kawasan hutan, 5.500 ha hutan rakyat. Selain itu, dilakukan pembinaan terhadap 165 kelompok tani yang tiap kelompok beranggotakan 20-25 orang; pelatihan petani sebanyak 3.990 orang dari target 3.040 orang; membenahi 123 unit sumur resapan, embung, dan dam pengendali. Saat ini tercatat 10.000 bibit pohon yang sudah ditanam, selain 200.000 bibit bantuan Dinas Kehutanan NTB, di samping pengadaan bibit sebanyak 17 juta batang yang diserahkan kepada pihak ketiga di bawah koordinasi bidang Balai Pengelolaan DAS Dinas Kehutanan NTB.

MEKANISME itu ditempuh agar terjadi proses transparansi, check and balance dalam pelaksanaan Gerhan. Karena itu, selain dilengkapi tim penilai yang menyeleksi bibit, juga sebagai pendamping masyarakat dilibatkan kelompok lembaga swadaya masyarakat. Itu mengingat pengadaan bibit dilaksanakan secara berjenjang, dari Dinas Kehutanan provinsi ke Dinas Kehutanan di kabupaten/kota yang meneruskan ke kelompok tani.

"Kelompok petani bisa saja menolak jika bibit yang diberikan tidak sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Begitu juga dengan tim penilai akan menolak jika pihak ketiga menyerahkan bibit yang tidak layak tanam," ujar Baderun.

Penyaluran dana Gerhan langsung dikirim KPKN ke rekening kelompok tani. Berbeda dengan sistem yang lalu, yaitu tiap program kegiatan masyarakat, dananya harus melewati pimpinan proyek, pimpinan pelaksana, pelaksana dan mandor. "Dulu kan ada filosofi begini, talang harus bersih dulu, baru dicecerkan ke mana-mana. Cara itu kini di-by passed," ucap Baderun.

Pencairan dana untuk upah pekerja dan lainnya itu bisa terlaksana atas rekomendasi Petugas Lapangan Gerhan, dan pembayarannya berdasarkan hasil volume pekerjaan, minimal 60 persen pekerjaan diselesaikan. Demi terjalinnya mekanisme kontrol, LSM dan kelompok tani diharapkan saling bersinergi dengan Tim Pengendali yang juga bertugas melakukan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan penyebaran informasi.

Ditanya kendala pelaksanaan kegiatan lapangan, Baderun belum bisa merinci, dan hanya menunjuk capaian jumlah distribusi bibit dan lainnya yang merupakan hasil rapat evaluasi Gerhan pertengahan Februari lalu.

Ada pendapat, agar lebih efektif, efisien, dan memudahkan pengawasan, maka sasaran penanaman dimulai dari areal berskala kecil (50 ha-100 ha). Menurut Baderun, realitas lapangan menuntut percepatan mengingat laju kerusakan di dalam dan luar kawasan hutan mencapai 52 ha setahun. Jika setahun bisa ditanami bibit pohon seluas 15.000 ha, maka baru bisa tuntas dalam waktu 35 tahun.

Alasan lain percepatan, yaitu kebutuhan kayu lokal untuk pertukangan di NTB sebanyak 80.000 meter kubik (setara 160.000 meter kubik kayu bulat). Pasokan kebutuhan lokal mencapai 30 persen, dan 70 persen keperluan itu akan memancing kegiatan penebangan liar. Keperluan kayu bakar penduduk di NTB (400.000 meter kubik setahun) pun akan meningkat seiring kenaikan harga BBM. (rul)


Do you Yahoo!?
Yahoo! Small Business - Try our new resources site!
Yahoo! Groups Sponsor
ADVERTISEMENT
Children International
Would you give Hope to a Child in need?
 
· Click Here to meet a Girl
And Give Her Hope
· Click Here to meet a Boy
And Change His Life
Learn More


Yahoo! Groups Links

Kirim email ke