--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Batara Hutagalung
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Catatan moderator: Diloloskan atas dasar bobot konsep pluralisme yang
terkandung di dalam tulisan ini.


=======================================


Rekan-rekan milis budaya_tionghua yang budiman,
  saya postingkan tulisan di bawah ini, yang sekaligus sebagai
perkenalan saya di milis ini.
  Tulisan ini merupakan catatan perjalanan spiritual saya dan
pandangan saya terhadap keberagaman secara keseluruhan.
  Semoga saya dapat memberikan kontribusi yang positif dalam bertukar
pikiran melalui milis budaya_tionghua ini.
  
  Salam
  
  Batara R. Hutagalung
  Weblog: http://batarahutagalung.blogspot.com
  ==============================
  
  Renungan Waisak 2550 (2006 M)
  
  Putraku Pindah Agama. Alhamdulillah, Puji Tuhan, Buddha Memberkati
  
  Menjelang perayaan Trisuci Waisak -yaitu hari kelahiran Pangeran
Siddharta Gotama (Gautama), hari tatkala Sang Pertapa Gotama mencapai
pencerahan yang sempurna setelah bersamadhi di bawah pohon Bodhi, dan
juga hari meninggalnya Sang Budhha Gotama yang oleh penganut ajaran
Buddha dinamakan Parinibbana (Sansekerta: parinirvana) Sang Buddha-
aku merenungkan banyak hal yang menyangkut diriku, putraku,
keluargaku, masyarakat di lingkunganku, bangsaku dan juga masyarakat
internasional, terutama yang sehubungan dengan kehidupan dan kerukunan
beragama.
  Beberapa tahun belakangan, di seluruh dunia banyak terjadi konflik
kekerasan yang menggunakan simbol-simbol keagamaan dan mengatasnamakan
agama, bahkan pembunuhan ratusan sampai ribuan manusia juga atas nama
agama. Masing-masing pihak menyatakan bahwa yang dilakukannya adalah
demi agamanya, demi Tuhannya, demi Allahnya.
  Aku sungguh tidak dapat mengerti, mengapa agama yang seharusnya
membawa kedamaian di muka bumi, mengajarkan manusia untuk saling
mengasihi, justru digunakan sebagai alasan dan pembenaran untuk
pembunuhan sesama manusia, dan bahkan yang berasal dari satu agama,
namun berbeda aliran. Kelompok yang satu menyatakan, bahwa yang
diyakini oleh kelompok lain adalah aliran sesat.
  Ada kelompok yang selalu merasa terganggu bukan hanya dengan
keberadaan komunitas agama yang berbeda, namun juga tidak memberikan
toleransi terhadap perbedaan sekecil apapun, selain keyakinan yang
dianutnya. Semua ingin diseragamkan. Budaya, perilaku, ukuran moral,
cara berbusana dsb. ingin diseragamkan.
  Apakah agamanya yang salah? Apakah Tuhannya atau Allahnya yang salah
menurunkan ajaran? Ataukah manusianya yang tidak mengerti makna ajaran
yang sebenarnya? Aku tak tahu. Belum tahu. Mungkin tak pernah akan tahu.
  Aku sendiri dibesarkan di keluarga Kristen Protestan. Mengenai
atribut Protestan baru kuketahui ketika aku kuliah di Universitas
Hamburg, Jerman (dahulu Barat), di tahun 70-an. Kata tersebut berasal
dari kata protes, yaitu protes terhadap gereja katolik di Jerman. Pada
31 Oktober 1517 di Wittenberg, Jerman, Dr. Martin Luther yang waktu
itu beragama Katholik, menyampaikan 95 thesisnya yang merupakan
reformasi terhadap gereja Katholik. Dia membentuk komunitasnya sendiri
dan komunitasnya disebut sebagai Protestan, yaitu yang melakukan
protes. Di Jerman sendiri, pengikut Martin Luther menamakan diri
sebagai Evangelis Lutheran.
  Abad 16 - 17 di Eropa sedang berkecamuk wabah reformasi, bukan hanya
di Jerman. Namun sempalan Katholik di Jerman tidak mengalami
penderitaan seperti yang dialami oleh sempalan Katholik di Perancis,
yang dinamakan kaum Hugenott. Tahun 1685 sekitar 50.000 orang Hugenott
dari Perancis melarikan diri ke Jerman dan sebagian besar ditampung di
Prusia.
  Konflik antara Kristen Katholik dan Kristen Protestan di Eropa
berlangsung cukup lama dan mengakibatkan pertumpahan darah yang besar,
seperti juga yang terjadi antara Islam aliran Syiah dan Islam aliran
Suni, yang juga telah berlangsung lebih dari seribu tahun dan menelan
korban yang luar biasa besarnya di kedua belah pihak. Konflik ini
masih berlangsung hingga sekarang, seperti terlihat di Irlandia Utara
antara Kristen Katholik dengan Kristen Protestan, dan di Irak antara
kelompok Suni dan kelompok Syiah.
  
  Di Universitas Hamburg, aku mengambil jurusan sosiologi dan
psikologi sebagai vak utama (Hauptfächer), dan filosofi sebagai vak
tambahan wajib (Pflicht-Nebenfach). Aku harus membiayai sendiri biaya
hidup dan studiku, dan karena menghadapi beberapa kesulitan, aku tak
dapat menamatkan studiku.
  Gedung fakultas teologi letaknya tepat di muka asrama tempatku
tinggal. Aku memang juga gemar membaca buku-buku berbagai agama,
sehingga aku juga sering mengikuti kuliah-kuliah teologi. Di Uni
Hamburg, untuk banyak jurusan dan sejauh tempat tersedia, para
mahasiswa dapat mengikuti kuliah dari beragam jurusan. Apabila telah
terdaftar sebagai mahasiswa di Uni Hamburg, dia cukup mencatatkan nama
di fakultas yang bersangkutan, dan mencatatkan nama pada daftar yang
tersedia di awal semester, kemudian dia dapat mengikuti kuliah yang
diminatinya.
  Yang mengambil jurusan Teologi Kristen di Uni Hamburg, tidak hanya
dari yang beragama Kristen Protestan, melainkan juga yang
berlatarbelakang agama lain, bahkan ada beberapa pendeta Buddhis.
  Waktu itu di Hamburg ada seorang Pendeta Kristen dari Indonesia,
Mangasi S. Siahaan, yang sedang melanjutkan studinya di bidang
teologi, dan kemudian berhasil meraih gelar Doktor Theologi di Uni
Hamburg, kalau tak salah, dengan atribut Magna Cum Laude. Seringkali
sebelum kuliah, dia mampir ke asramaku untuk ngopi dan ngobrol, dan
berdiskusi mengenai berbagai hal, termasuk mengenai keagamaan.
  Juga ada Pendeta Kristen muda dari Indonesia, Sahat Tobing, yang
juga melanjutkan studinya di Uni Hamburg. Dan masih ada beberapa
Pendeta Kristen  Indonesia lain, yang juga sering berdiskusi denganku
mengenai agama.
  Aku juga mempunyai seorang teman baik orang Jerman, Peter Marwedel,
anggota Partai Komunis Jerman (KPD). Aku sering menyindir dia, karena
dia memiliki mobil Mercedez Benz. Aku bilang, " Peter, kamu seorang
komunis, kok naik Mercedez? Seharusnya kamu naik Volkswagen (VW)." Dia
menjawab:" Aku `kan sering ke luar kota, jadi perlu mobil dengan mesin
yang kuat."
  Aku katakan: "Ah Peter, itu cuma alasan pembenaranmu. Menurutku, kau
seorang komunis yang berpikiran kapitalistik." Peter cuma
cengar-cengir saja dan bilang: "Terserah. Apapun pendapatmu, itu hakmu
untuk menilai tindakanku. Aku tak akan berubah hanya karena ucapanmu."
Kami tetap berteman baik, walaupun sering berdebat dan berbeda pendapat.
  Dengan merekalah aku sering berdiskusi. Mendiskusikan berbagai
agama, berbagai ajaran, berbagai jalan keselamatan, berbagai thesis
dan anti-thesis.
  Dari semua ajaran yang aku pelajari dan diskusikan, jalan
keselamatan yang ditawarkan oleh Sidharta Gotama (Gautama) yang paling
menarik bagiku. Yang sangat terkesan bagiku dari ajarannya adalah,
bahwa segala sesuatunya terpulang pada diri kita sendiri. Semua
perbuatannmu adalah tanggungjawabmu sendiri. Untuk perbuatan baik, kau
akan menerima balasan yang baik, dan untuk perbuatanmu yang buruk, kau
akan menerima akibat yang buruk juga. Jangan menggantungkan nasibmu
atau apapun kepada sesuatu yang kau tak ketahui. Itulah esensi yang
kutangkap dari sekian banyak buku mengenai ajarannya yang dinamakan
Buddhisme.
  Menurut pendapatku, di dalam ajaran Buddha, tidak ada dogma,
melainkan semuanya anjuran. Mengenai apakah mematuhi dan
menjalankannya atau tidak, adalah tanggungjawab kita sendiri.
  Salah satu dasar ajaran Buddha adalah Panca – Sila. Kata Panca-Sila
ini diadopsi oleh Ir. Sukarno untuk memberi nama lima prinsip dasar
negara Republik Indonesia, yang dibacakannya pada 1 Juni 1945.
  Kata Panca-Sila sendiri berasal dari bahasa Pali. Panca artinya lima
dan Sila pengertian sebenarnya adalah dasar, namun dalam pengertian
Buddhis, Sila adalah kerelaan jiwa diri sendiri, setelah memahami
mengenai sebab dan akibat, untuk kemudian memegang dan menjalankannya
agar kita dapat mencapai Pencerahan dan Nirvana (Pali: Nibbana).
Nirvana bukanlah suatu tempat seperti surga, melainkan suatu keadaan,
di mana mata-rantai atau lingkaran dari
kelahiran-dewasa-sakit-mati-lahir kembali, dst. telah diputus.
  Jika melanggar Sila, kita sendiri yang akan menanggung akibatnya dan
ini bukan merupakan hukuman dari Buddha.
  Kelima sila dalam Panca – Sila yang dianjurkan untuk dipegang dan
dilaksanakan adalah
   
   Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami (Menahan diri dari
pembunuhan),  
   Adinadana veramani (Menahan diri dari pencurian),  
   Kamesumicchacara veramani (Menahan diri dari perzinaan)  
   Musavada veramani (Menahan diri dari pendustaan),  
   Sura-meraya-majja pamadtthana veramani (Menahan diri dari minuman
dan barang-barang yang memabukkan).
  
  Sejak tahun 1974, aku memutuskan masuk agama Buddha dan mencoba
mengikuti semua anjuran Buddha. Dalam pemahamanku mengenai sila
pertama, yang dimaksud dengan  pembunuhan, adalah termasuk pembunuhan
terhadap hewan untuk santapan manusia. Aku dapat menerima pendapat,
bahwa hewanpun mempunyai hak hidup yang sama. Oleh karena itu, juga
sejak tahun 1974 aku memutuskan untuk hidup sebagai seorang
vegetarian, alias tidak makan daging dan ikan samasekali. Sehubungan
dengan sila kelima, sejak lima tahun aku sudah berhenti minum alkohol.
Dahulu ketika masih di Jerman, itulah minumanku sehari-hari. Mengenai
sila-sila yang lain, perlahan-lahan aku usahakan untuk kupenuhi. Terus
terang aku akui, masih sulit sekali untuk dilaksanakan sepenuhnya.
Sangat sulit! Mungkin kalau aku bisa menjalankan kelima sila tersebut
dengan sempurna, maka aku dapat mencapai pencerahan yang sempurna
juga. Tapi sekarang belum …
  Dari kumpulan tulisan ucapan Buddha Gotama –yang ditulis oleh
muridnya, Ananda- yaitu Tripitaka, atau Tiga Keranjang (Drei Körbe)
yang tebalnya ribuan halaman, mungkin belum separuhnya yang kubaca.
  Aku juga tidak mau mengikuti aliran apapun, apakah itu Mahayana,
Hinayana, Theravada, Zen Buddhisme, Buddhisme Tibet, karena semua
aliran itu merupakan sinkretisme, telah bercampur dengan nilai-nilai
agama setempat, sebelum datangnya Buddhisme. Sinkretisme ini terdapat
di semua agama. Masih banyak orang Jawa yang beragama Islam, dalam
melakukan ritual adat, memberikan sesajen untuk Dewi Sri. Dalam ajaran
Islam `kan tak ada Dewi Sri. Juga tak ada Nyai Roro Kidul.
  Aku hanya membatasi diri untuk memahami nilai-nilai dasar yang
terkandung dalam inti ajaran Buddha, dengan pemahamanku sendiri, bukan
berdasarkan pemahaman orang lain. Bukan berdasarkan interpretasi orang
lain.
  Aku bersyukur, bahwa belum pernah terjadi, ada aliran dalam
Buddhisme disebut sebagai aliran sesat dan dilarang oleh aliran atau
kelompok lain, seperti yang terjadi pada komunitas Ahmadiyah di
Indonesia, atau pada Lia Aminuddin, yang ditangkap oleh Polisi, dengan
tuduhan penghinaan terhadap agama. Lia Aminuddin mengaku mendapat
wahyu dari Malaikat Jibril. Demikian juga dengan seseorang yang
katanya biasa melakukan Shalat dengan bersiul. Kini diapun mendekam di
tahanan.
  Padahal Undang-Undang Dasar '45 (UUD '45) menjamin kebebasan
beragama setiap warga. Bab XI mengenai Agama, Pasal 29 (2) berbunyi::
  "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu."
  Selain itu, Bab X A mengenai Hak Asasi Manusia, Pasal 28 E (2) berbunyi:
  "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya."
  Pasal 28 I (2) berbunyi:
  "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu."
  Pasal 28 J (1) berbunyi:
  "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara."
  Jadi sangat mengherankan, bahwa para penyelenggara negara, tidak
memperhatikan Undang-Undang Dasar, yang seharusnya menjadi landasan
dan acuan semua ucapan, keputusan dan tindakan mereka.
  Kini, tahun 2006, oleh Mendagri dan Menteri Agama diterbitkan Surat
Peraturan Bersama (SPB) yang menggantikan Surat Keputusan Bersama
(SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, SKB no. 01
BER/MDN-MAG/1969, tahun 1969, yang mengatur agar pendirian tempat
ibadah harus dengan seizin masyarakat setempat. Sepertinya, di negeri
ini, segala sesuatu yang semakin dicoba untuk diatur, semakin
mabur-adul. Dari data-data yang diperoleh berbagai pihak, sebelum
dikeluarkannya SKB tahun 1969, perusakan, pembakaran dan penutupan
gereja relatif kecil, dibandingkan setelah dikeluarkannya SKB dua Menteri.
  Bahkan, apabila dicermati, SPB dua Menteri tahun 2006 ini jauh lebih
mengerikan dibandingkan dengan SKB tahun 1969, karena dalam SPB,
kehidupan dan kerukunan beragama "dikendalikan" oleh Gubernur, Bupati,
Walikota dan pejabat-pejabat setempat.
  Dari tahun 1965 s/d 1974 (10 tahun) terjadi perusakan 46 Gereja atau
rata-rata 4,6 gedung Gereja yang dirusak per tahun. Kemudian antara
tahun 1975 s/d 1984 (10 tahun) jumlah Gereja yang dirusak meningkat 89
buah atau rata-rata 8,9 per tahun. Demikian pula antara tahun 1985 s/d
1994 (10 tahun) terjadi peningkatan 2 x lipat dari jumlah sebelumnya,
yaitu 132 buah atau rata-rata 13,2 per tahun. Dan dalam 2 tahun
terakhir, 1995-1997 (2 tahun), terjadi peningkatan yang sangat
mencolok dimana jumlah Gereja yang dirusak menjadi 105 buah atau
rata-rata 52,5 per tahun (lihat Tabel 1). Hingga 1 Juli 1997, telah
terjadi penutupan, perusakan dan pembakaran 374 Gereja. Perusakan
tersebut diatas, belum termasuk perusakan rumah ibadah agama lain
seperti Vihara maupun fasilitas Pemerintah, swasta dan fasilitas umum.
Selanjutnya lihat tabel di bawah ini:
(lihat:http://www.fica.org/persecution/374.html)
  
  Periode            Jumlah Persentase(%)  Rata-rata/tahun
  1945-1954            0                        0                      0
  1955-1964            2                        0                      0.2
  1965-1974            46                    13                     4.6
  1975-1984            89                    24                      8.9
  1985-1994            132                  35                    13.2
  1995-1997            105                  28                    52.5
  Total    374                                 100%            
  
  Sayang aku belum mendapat data yang akurat mengenai jumlah gereja,
vihara, dll. Yang dirusak, dibakar atau ditutup paksa antara 1997 –
2006. Menurut perkiraan beberapa pihak, hingga tahun 2006, jumlah
gereja saja yang dirusak, dibakar atau ditutup paksa dapat melebihi
angka 1.000 (!). Luar biasa! Ini terjadi di negara, di mana salah satu
prinsip dasar negara adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa."
  Sudah seharusnya, para penyelenggara negara memperhatikan UUD '45
dan melaksanakannya secara konsekwen, karena apabila diteliti, baik
SKB maupun SPB dua Menteri mengenai pendirian rumah ibadah, jelas
melanggar UUD '45.
  Mungkin ada yang dapat mengajukan hal ini sebagai Judicial Review ke
Mahkamah Konstitusi.
  Buddhisme Tibet, sebagaimana diakui oleh Dalai Lama, dibawa oleh
seorang murid dari Dharmakirti, yang hidup di Sriwijaya, Sumatera pada
abad ke 7. Dia adalah seorang pakar logika yang sangat ternama di
seluruh dunia Buddhis di Asia  Timur. Banyak orang datang ke Sriwijaya
dari berbagai penjuru dunia, untuk berguru pada Dharmakirti. Di masa
itu, Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di Asia Tenggara.
Sriwijaya, sebagai negara maritim, tidak hanya dikenal dengan kekuatan
armadanya, melainkan juga kebudayaan yang tinggi. Hal ini dapat
dilihat dari pembangunan berbagai Candi di Jawa, seperti Candi
Borobudur dan Candi Mendut.
  Memang sangat mengherankan, di Sumatera sendiri tidak terlihat sisa
candi Buddha peninggalan kerajaan Sriwijaya. Mengapa dibangun candi
hanya di Pulau Jawa, sedangkan di Sumatera sendiri, sebagai pusatnya
waktu itu, tidak dibangun candi sama sekali? Ataukah seperti halnya di
banyak tempat, ketika masuk agama-agama baru, maka tempat-tempat
beribadah atau pemujaan dari agama lama dihancurkan total? Apabila
demikian halnya, maka hal ini sangat disayangkan, karena kita
kehilangan sebagian dari budaya kita yang kaya dengan ragamnya.
  Candi Borobudur pun, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit yang
beragama Hindu-Buddha, ditelantarkan sehingga tertutup hutan lebat
selama sekitar 5 abad, sampai ditemukan kembali oleh Thomas Stamford
Raffles, ketika Inggris berkuasa di Nusantara tahun 1811 – 1816.
  Mengenai perkembangan agama Islam di Nusantara ada dua pendapat,
yang masing-masing merasa paling benar. Pendapat pertama menyatakan,
bahwa perkembangan Islam di Nusantara berlangsung damai, dan semua
–dari raja sampai rakyatnya- masuk Islam dengan sukarela. Pendapat
kedua menyatakan, bahwa masuknya Islam memang secara damai, yaitu
dibawa oleh para pedagang dan tokoh-tokoh Islam waktu itu, namun dalam
perkembangan dan penyebaran selanjutnya, dilakukan dengan kekerasan
senjata, sebagaimana digambarkan dalam beberapa penulisan, antara lain
Serat Dharmogandul, mengenai jatuhnya Majapahit, dan buku yang disusun
oleh Ir. M.O. Parlindungan Siregar yang berjudul "Pongkinangolngolan
Sinambela gelar Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah
Batak 1816 – 1833." Parlindungan Siregar menulis berdasarkan catatan
ayahnya yang mendengar sendiri dari beberapa saksi mata. Catatan
sejarah tersebut dihimpun dari tahun 1851 – 1941. Disebutkan, bahwa
bala tentara kaum Paderi dari
Sumatera Barat menyerbu Tanah Batak tahun 1816, dan memaksa semua
orang di wilayah yang telah ditaklukkan untuk masuk Islam. Mungkin hal
ini yang menerangkan, mengapa Batak Selatan yang berbatasan dengan
Sumatera Barat boleh dikatakan seluruhnya beragama Islam, dan di Batak
Utara banyak yang memeluk agama Kristen, baik Protestan maupun
Katolik, dan masih banyak juga yang menganut ajaran Batak asli, yaitu
Parmalim.
  Kembali ke keluargaku.
  Kedua orang tuaku beragama Kristen Protestan dan mereka sangat rajin
ke gereja, bahkan sampai di hari tua mereka, menjelang usia 90 tahun.
Walaupun harus didorong di kursi roda, setiap hari minggu mereka ke
gereja. Kini mereka telah tiada.
  Kakak perempuanku yang paling tua, menikah dengan seorang pria dari
Bali, Prof. Ida Bagus Adnyana Manuaba, dari kasta Brahmana. Suami
kakakku beragama Hindu, sedangkan kakakku tetap beragama Kristen.
Mereka dikaruniai tiga putri dan dua putra. Ketiga putrinya menikah
dengan tiga pria beragama Islam, dan keluarga mereka beragama Islam,
sedangkan keluarga kedua putranya beragama Hindu.
  Abangku yang kedua, keempat dan kelima beragama Kristen, sedangkan
abangku yang ketiga, menikah dengan seorang perempuan dari Purwokerto
yang beragama Islam. Abangku memilih untuk pindah ke agama Islam. Tak
ada seorangpun dari keluarga kami yang Kristen menuduhnya "murtad."
Tahun lalu dia menunaikan ibadah Haji. Aku sekarang dengan senang hati
memanggilnya Pak Haji, dan dia gembira dengan sebutan ini.
  Ketika aku menyatakan, bahwa aku kini beragama Buddha dan isteriku
yang berasal dari Jawa Tengah beragama Islam, aku tidak dikucilkan
dari keluarga besar, apalagi dianggap "murtad." Semua biasa-biasa
saja. Semua diterima dengan tangan terbuka dan hati yang jernih.
  Dengan demikian, kami enam orang kakak-beradik menganut empat agama
–Kristen, Islam, Hindu dan Buddha- dan hidup rukun, tanpa pernah ada
pertengkaran mengenai agama. Saling menghargai agama yang lain, dan
tidak pernah memaksakan, bahwa yang lain harus mengikuti agama yang
dianutnya.
  Bila aku sedang berkunjung ke rumah abangku dan sedang ada kebaktian
Kristen, aku juga mengikutinya dan juga sembahyang secara Kristen. Tak
masalah bagiku. Juga bila abangku yang Islam meneleponku dan
menanyakan bagaimana kabarku, sering aku menjawab: "Alhamdulillah
baik-baik saja. Insya Allah semua tetap berlangsung dengan baik." Tak
masalah bagiku untuk menggunakan bahasa yang dia pergunakan.
  Di keluarga besar Hutagalung yang berasal dari kakek kami yang biasa
dipanggil sebagai Opung (kakek) Thomas  (bila dihitung sampai cucu dan
buyut jumlahnya sudah mencapai ratusan), yang beragama Islam dan
Kristen cukup seimbang, dan saling mengunjungi di hari besar
masing-masing agama.
  Ikatan adat orang Batak cukup kuat, sehingga berbagai upaya untuk
mengadu-domba orang Batak hingga kini tidak berhasil. Dalam
upacara-upacara adat, tidak dilihat seseorang memeluk agama apa. Yang
dilihat hanya kaitannya dalam adat Batak yang berpegang pada Dalihan
Na Tolu. Juga tidak peduli, apakah dia seorang Menteri atau Jenderal.
Apabila dalam hirarki keluarga dan adat dia berada di posisi agak
rendah, maka dalam upacara adat, dia kebagian kerja yang sesuai dengan
tingkatnya menurut adat.
  Putraku kini berusia 11 tahun.
  Suatu hari, ketika dia di kelas 3 SD, dia pulang dari sekolah dan
bertanya kepadaku: "Papa, apa sih artinya Kafir?"
  Aku balik bertanya kepadanya: "Mengapa kamu tanya itu?"
  Dia menjawab: "Tadi ada temanku bilang kepadaku, Kafir lu!"
  Aku tertegun. Sejenak aku tak tahu apa yang harus kukatakan kepada
putraku. Apakah dia harus membalas temannya dengan mengatakan, "dasar
Islam goblok lu", atau maki-makian lain? Temannya itu pasti juga akan
mengadukan kepada ayahnya, apa yang dikatakan oleh putraku. Dan ini
pasti akan berbuntut panjang. Bisa jadi panjang buntutnya seperti yang
terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
  Akhirnya aku hanya mengatakan kepada putraku: "Sudah, tak usah
dihiraukan omongannya. Bilang saja, ngomong gitu nggak baik."
  Saat itu aku menyadari, bagaimana rawannya kehidupan beragama di
negara yang berdasarkan Pancasila ini. Seandainya aku juga seorang
yang emosinya tinggi, tentu sudah terjadi keributan. Aku juga
menyadari, bahwa tak mungkin anak kelas 3 SD akan terpikir untuk
memaki-maki teman sekelasnya dengan persoalan agama. Aku tak tahu,
apakah ini hasil didikan orang tuanya, kakaknya, guru agamanya,
pamannya atau entah siapa. Yang jelas tak mungkin dari anak kelas 3 SD.
  Sejak itu, aku selalu sangat berhati-hati dalam mendidik putraku
mengenai hal-hal yang sehubungan dengan agama, etnis dan kehidupan di
masyarakat.
  Mengingat latarbelakang diriku sendiri, juga sesuai dengan esensi
ajaran Buddha yang kutangkap dan kupahami, sudah sejak tiga tahun aku
bekali putraku dengan pesan, bahwa segala sesuatunya terpulang pada
dirinya sendiri. Semua perbuatannnya adalah tanggungjawabnya sendiri.
Untuk perbuatan baik, dia akan menerima balasan yang baik, dan untuk
perbuatan yang buruk, dia akan menerima akibat yang buruk juga. Jangan
menggantungkan nasibnya atau apapun kepada sesuatu yang dia tak
ketahui. Semua yang dilakukannya, haruslah berdasarkan keputusannya
sendiri, termasuk dalam masalah agama.
  Kelak dia sendiri yang harus memutuskan, agama mana yang akan dia
anut, ajaran mana yang akan dia ikuti.
  Aku melihat diriku sendiri, yang pindah agama dari Kristen ke Buddha.
  Selain ajaran Buddha, puisi Gibran Khalil Gibran mengenai anak-anak
sangat berkesan di hatiku. Di dalam bukunya yang berjudul "The
Prophet" (Sang Nabi), Gibran, warga Amerika kelahiran Libanon menulis
puisi berjudul "On children."
  Khalil Gibran dilahirkan pada 6  Januari 1883 di Bsharri, Libanon
dan meninggal pada 10 April 1931 di New York City. Dia seorang penyair
dan seniman yang beragama Kristen Katolik Maronit.
  Ketika aku membaca puisinya itu, aku merasa, dia memaparkan kepadaku
suasana batinku. Gibran telah membaca apa yang kupikirkan mengenai
putraku dan masa depannya. Gibran telah menulis hampir seratus tahun
yang lalu mengenai apa yang kupikirkan sekarang, tahun 2006. Luar
biasa Gibran Khalil Gibran ini …
  Pusi Khalil Gibran dalam The PROPHET, tersebut berbunyi:
  On Children
  And a woman who held a babe against her bosom said, "Speak to us of
Children."
  And he said:
  Your children are not your children.
  They are the sons and daughters of Life's longing for itself.
  They come through you but not from you,
  And though they are with you, yet they belong not to you.
  You may give them your love but not your thoughts.
  For they have their own thoughts.
  You may house their bodies but not their souls,
  For their souls dwell in the house of tomorrow, which you cannot
visit, not even in your dreams.
  You may strive to be like them, but seek not to make them like you.
  For life goes not backward nor tarries with yesterday.
  You are the bows from which your children as living arrows are sent
forth.
  The archer sees the mark upon the path of the infinite, and He bends
you with His might that His arrows may go swift and far.
  Let your bending in the archer's hand be for gladness;
  For even as He loves the arrow that flies, so He loves also the bow
that is stable.
  
  Terjemahannya kira-kira sebagai berikut (mungkin ada yang dapat
lebih baik menerjemahkannya?):
  
  Tentang anak-anak
  Dan seorang perempuan yang sedang mendekap bayi di dadanya berkata,
bicaralah kepada kami mengenai anak-anak.
  Dan dia berkata:
  Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.
  Mereka adalah putra putri dari kehidupan yang merindukan dirinya sendiri
  Mereka datang melaluimu tetapi bukan darimu,
  Dan walaupun mereka tinggal bersamamu, mereka bukanlah milikmu.
  Kau dapat memberikan kasih-sayangmu tetapi tidak pikiranmu.
  Karena mereka mempunyai pemikiran sendiri.
  Kau dapat memberikan tempat untuk raga tetapi tidak untuk jiwa mereka,
  Karena jiwa mereka menghuni rumah masa depan, yang tak dapat kau
kunjungi, bahkan tak juga dalam mimpi-mimpimu.
  Kau dapat berupaya keras untuk menjadi seperti mereka, tetapi jangan
mencoba membuat mereka sepertimu.
  Karena kehidupan tidak berjalan ke belakang juga tak tinggal di masa
lalu.
  Kau adalah busur dari mana anak-anakmu melesat ke depan sebagai anak
panah hidup.
  Sang pemanah melihat sasaran di atas jalur di tengah keabadian, dan
DIA meliukkanmu dengan kekuatanNYA sehingga anak panahNYA dapat
melesat dengan cepat dan jauh.
  Biarkanlah liukkanmu di tyangan sang pemanah menjadi keceriaan;
  Bahkan DIA pun mencgasihi anak panah yang terbang, demikian juga DIA
mengasihi busur yang mantap.
  
  Demikian puisi Khalil Gibran, yang namanya di Amerika salah ditulis
menjadi Kahlil Gibran.
  Mengenai kumpulan puisi "The Prophet" ini, George Russel menulis:
  " I do not think that East has spoken with so beautiful a voice
since the "Gitanjali" of Rabindranath Tagore as in The Prophet of
Kahlil Gibran, who is artist as well as poet. I have not seen for
years a book more beautiful in its thought, and when reading it I
understand better than ever before what Sokrates meant in the
"Banquet" when he spoke of the beauty of thought which exercises a
deeper enchantment than the beauty of form . . . I could quote from
every page, and from every page I could find some beautiful and
liberating thought "
  
  Aku tak dapat membayangkan dunia putraku di masa depan, sebagaimana
orang tuaku dahulu tak dapat membayangkan dunia di mana aku hidup
sekarang. Aku tak akan mengekang putraku dengan nilai-nilai dan agama
yang kuyakini sekarang. Biarlah dia menemukan nilai-nilai yang
diyakininya bahwa itu adalah yang terbaik baginya. Biarlah dia
menentukan agama yang diyakininya sebagai yang terbaik baginya. Apapun
pilihannya –atau tidak memilih apapun- aku akan berbahagia atas
keputusannya, karena itulah keputusan putraku sendiri yang sangat
kukasihi, dan bukan keputusanku.
  Kelak, apabila putraku menyatakan akan pindah agama –apapun
pilihannya- aku akan mengatakan kepadanya:
  "Alhamdulillah, Puji Tuhan, Buddha Memberkati. Kau telah memilih
jalanmu, aku berbahagia bersamamu!"
  Mengenai langkahku ini aku sangat yakin, bahwa aku berada di jalan
yang benar.
  Aku ingin menutup renungan Waisak ini,  dengan lyrik lagu John Lennon:
  
  Imagine
Imagine there's no heaven,
It's easy if you try,
No hell below us,
Above us only sky,
Imagine all the people
living for today...

Imagine there's no countries,
It isnt hard to do,
Nothing to kill or die for,
No religion too,
Imagine all the people
living life in peace...

Imagine no possesions,
I wonder if you can,
No need for greed or hunger,
A brotherhood of man,
Imagine all the people
Sharing all the world...

You may say Im a dreamer,
but Im not the only one,
I hope some day you'll join us,
And the world will live as one.
  
  Putraku kuajarkan untuk menutup meditasi dan sembahyangnya dengan
kata-kata:
  "Semoga semua machluk berbahagia!"
  
  "Selamat Merayakan Trisuci Waisak Bagi Yang Beragama Buddha!"
  
  Wassalam,
  Shalom,
  Salam Sejahtera,
  Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om,
  Namo Buddhaya, Buddha Memberkati
  
  Jakarta, Waisak 2550 (13 Mei 2006)
  
  Batara R. Hutagalung
  
  
  
  

           
---------------------------------
Blab-away for as little as 1¢/min. Make  PC-to-Phone Calls using
Yahoo! Messenger with Voice.

[Non-text portions of this message have been removed]

--- End forwarded message ---







** Menyadari apa yang sesungguhnya sedang terjadi SAAT INI di dalam diri saya maupun di luar diri saya **

** Kami kembali tuk hidup dalam kekinian yang menakjubkan; tuk menanami taman hati kami benih-benih kebajikan; serta membuat fondasi pengertian dan cinta kasih yang kokoh **

** Kami mengikuti jalur perhatian penuh, latihan tuk melihat dan memahami secara mendalam agar mampu melihat hakikat segala sesuatu, sehingga terbebas dari belenggu kelahiran dan kematian **

** Kami belajar tuk: berbicara dengan penuh cinta kasih, menjadi penuh welas asih, menjadi perhatian terhadap pihak-pihak lain pagi ataupun sore hari,  membawa akar-akar suka cita ke banyak tempat, membantu sesama melepaskan kesedihan; dan tuk menanggapi dengan penuh rasa syukur kebajikan orang tua, para guru, serta sahabat-sahabat kami **




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke