Kalau Kwik yang mantan menteri saja mengeluh,
bagaimana rakyat biasa?

Sepertinya Indonesia tidak akan bisa mandiri dalam
mengelola kekayaan alamnya.

Blok Cepu, ExxonMobile & strategi besar Pertamina.


Keputusan tentang apa yang harus dilakukan terhadap
sumur minyak di Blok Cepu yang sekarang digarap
ExxonMobile (EM) antara sukar dan mudah. Orang Jawa
mengatakan gampang-gampang angel.
Gampang kalau bangsa ini berpijak pada landasan
falsafah dan prinsip. Angel kalau bangsa ini
menjerumuskan diri pada teknokrasi semata. Asal
mulanya Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto),
pemegang izin eksploitasi minyak di sumur "kecil" di
Cepu, menjual 
lisensinya kepada EM. Lisensi itu sebenarnya baru
berakhir pada 2010.

EM lalu mengeluarkan uang sebesar US$370 juta untuk
mengeksplorasi sumur tersebut. Dari hasil eksplorasi
itu, EM menemukan cadangan minyak sekitar 600 juta
barel.

Karena cadangan itu besar, EM mengajukan usul agar
kontraknya dengan Indonesia diperpanjang sampai 2030.
Usul ini tentu disertai dengan deal bisnis yang rinci.
Ketika itu, status hukum Pertamina masih berupa Perum.

Menurut undang-undang yang berlaku, yang berhak
mengambil keputusan adalah Dewan Komisaris Pemerintah
untuk Pertamina (DKPP) yang terdiri dari lima orang
menteri.

Tiga dari lima anggota DKPP setuju, sedangkan dua
lainnya tidak setuju memperpanjang kontrak dengan EM.
Karena tidak dicapai keputusan yang bulat, berdasarkan
undang-undang, keputusan harus
diambil oleh Presiden. Maka "bola panas" pindah ke
tangan Presiden Megawati Soekarnoputri. EM tidak
tinggal diam. Perusahaan AS itu mengerahkan semua
kekuatan, termasuk pemerintahnya untuk melobi keras
kepada pemerintah Indonesia.

Namun bagi penulis, upaya EM sudah merupakan "tekanan"
agar  Indonesia mau memperpanjang kontrak tersebut. Di
tengah lobi dan perundingan berjalan, tersiar kabar,
entah kabar burung atau tidak,
bahwa cadangan minyak yang sebenarnya di Blok Cepu
adalah 1,2 miliar barel, bukan 600 juta barel.
Belakangan beredar lagi kabar bahwa cadangan minyak di
blok itu bahkan bisa mencapai 2 miliar barel.

Seperti dikatakan sebelumnya, ada dua anggota DKPP
yang  tidak setuju. Yang satu atas dasar alasan
yuridis bahwa bentuk kerja sama adalah Technical
Assistance Contract (TAC), sehingga tidak bisa
lantas diubah menjadi kontrak bagi hasil. Anggota
lain, yang tidak setuju, adalah penulis dengan alasan
yang sama sekali berbeda.

Alasan penulis saat itu sangat prinsipil, yaitu bahwa
sumur di Blok Cepu memiliki cadangan minyak yang besar
dengan letak yang strategis, sehingga eksploitasi
selanjutnya relatif mudah. Maka
penulis mati-matian mempertahankan agar blok itu
sepenuhnya dieksploitasi oleh Pertamina.

Berbagai alasan dikemukakan untuk meyakinkan penulis
agar ikut menyetujui perpanjangan kontrak dengan EM.
Upaya tersebut datang dari berbagai pihak, baik
Pertamina dan Lemigas maupun EM dan Duta Besar AS
untuk Indonesia Ralph Boyce.

Semua alasan penulis tolak. Ini karena titik tolak
penulis sangat prinsipil bahwa Pertamina harus
menggunakan sumur Cepu sebagai titik tolak untuk
belajar mengeksploitasi minyak  sendiri sepenuhnya.
Kata "belajar" ditekankan karena penulis dihujani
berbagai perhitungan rugi laba, penuh dengan
angka-angka yang njlimet. Namun penulis sama sekali
tidak mau melihat angka-angka tersebut.

Berapa pun untung ruginya, penulis terima. Ini karena
bagi penulis sudah sangat memalukan setelah 60 tahun
merdeka, 92% dari minyak nasional dieksploitasi oleh
kontraktor asing.

Dikemukakan bahwa Pertamina tidak mungkin membiayai
eksploitasi sendiri. Penulis yakinkan bahwa kalau ada
cadangan minyak 600 juta barel saja, bank di seluruh
dunia akan antre memberikan kredit yang khusus dipakai
untuk mengeksploitasi sumur tersebut. Apalagi kalau
cadangannya ternyata lebih besar lagi.

Penulis lalu diyakinkan lagi dengan alasan bahwa kalau
Pertamina yang mengeksploitasi sendiri,akan merugi
karena belum berpengalaman dan korup. Upaya ini pun
penulis tolak dengan alasan bahwa penulis sama sekali
tidak berpikir tentang untung rugi.

Sumur Cepu harus dijadikan  modal untuk belajar
mengeksploitasi sendiri. Landasan argumentasi adalah
paparan direksi baru, di pimpinan Baihaki Hakim,
kepada penulis selaku Menko Ekuin dalam
kabinet Presiden Abdurrahman Wahid.

Pendirian yang penulis pertahankan sampai sekarang
merupakan pengarahan dari Presiden Wahid. Ketika itu
Baihaki Hakim mengemukakan bahwa visi dan misinya
adalah menjadikan Pertamina sebuah world class company
yang harus mampu mengembangkan diri menjadi perusahaan
multinasional seperti halnya BP, 
Shell, EM, dan sebagainya. Tekad Baihaki itu bukan
untuk gagah-gagahan tetapi karena alasan survival.

Pertamina sudah telanjur menjadi organisasi besar,
sedangkan cadangan minyak terus menyusut, selain
minyak adalah sumber daya alam yang tidak dapat
diperbarui (non renewable resource). Maka
kalau cadangan sudah menyusut menjadi demikian kecil,
Pertamina sudah harus menjadi perusahaan multinasional
yang besar sehingga sumber minyak mentahnya diperoleh
dari mana  saja.

Kalau tidak, mau diapakan organisasi Pertamina dengan
cadangan minyak yang sudah habis atau sudah demikian
kecil itu? Itulah sebabnya Presiden Wahid
memerintahkan penulis mengambil risiko agar
Pertamina menanamkan modalnya untuk eksplorasi di mana
saja.

Penulis berpesan wanti-wanti agar perhitungannya
sangat matang sehingga risiko yang diambil betul-betul
adalah well calculated risk. Penulis percaya betul
bahwa Baihaki dapat melakukannya
mengingat pengalamannya sebagai Dirut yang begitu lama
di Caltex, kontraktor terbesar di Indonesia.

Kecuali itu, diam-diam penulis minta nasehat dari
Julius Tahija, yang dengan susah payah melayani
penulis meski kesehatannya sebenarnya sudah tidak
memungkinkan lagi.

Bukan Inlander
Penulis kemudian didatangi oleh Executive Vice
President EM yang khusus terbang dari Houston, AS. Dia
mencoba meyakinkan penulis. Penulis hanya menjawab:
"Please, bolehkah saya belajar menjadi
perusahaan seperti Anda  di tanah air saya sendiri,
menggunakan sumber daya alam saya sendiri? Apakah
ExxonMobile, ketika mulai dari nol, tidak mengambil
risiko besar yang sekarang Anda gambarkan kepada saya
sebagai sesuatu yang menakutkan? Saya bukan Inlander
seperti rekan-rekan saya yang Anda temui sebelumnya."

Penulis mengatakan kalimat terakhir itu karena dia
mengatakan sebenarnya sudah sangat lama dia ingin
bertemu saya. Tetapi hampir semua menteri yang
ditemuinya menganjurkan agar jangan sekali-kali
menemui penulis. Ketika itu penulis memang sangat
emosional, marah, sehingga bersikap semakin keras.
Siapa yang tidak marah ketika mengetahui bahwa dia
ternyata dikhianati oleh sesama abdi negara untuk
kepentingan asing?

Maka ketika itu penulis ceriterakan panjang lebar
tentang sikap Bung Karno yang sengaja sangat-sangat
membatasi eksploitasi sumber daya alam oleh asing yang
memang secara mutlak diperlukan. Yang lainnya, "kita
simpan di bawah tanah sampai para insinyur kita mampu 
menggarapnya sendiri." Demikian yang dikatakan Bung
Karno kepada putrinya, Megawati Soekarnoputri, yang
masih berusia sekitar 16 tahun.

Kepada penulis juga dikatakan bahwa mereka tidak bisa
mengerti bagaimana mungkin penulis begitu tidak
rasional, sementara berpendidikan di Barat. Dengan
sabar penulis jelaskan bahwa justru
karena sekian lama berada di Eropa, justru demikian
banyak kawan yang menjadi pemimpin di Eropa, maka 
penulis dapat bercerita panjang lebar mengenai banyak
orang Eropa, seperti manusia unggul lainnya,tidak
hanya hidup dari rasio.

Terlampau panjang kalau diuraikan di sini. Cukup
penulis kemukakan bahwa tidak sembarangan
berkembangnya apa yang dinamakan Emotional
Intelligence, bukan hanya IQ. Bung Karno yang sangat
menyerap budaya Barat juga mengatakan bahwa man does
not live by bread alone.

Juga dikemukakan bahwa elit bangsa Indonesia korup,
demikian juga Pertamina, sehingga akan rugi besar bila
sumur Cepu dieksploitasi Pertamina.  Penulis kemukakan
bahwa taruhan bagi bangsa Indonesia bukan karena
korupsi kemudian menyerahkan segalanya kepada asing.
Tetapi pilihan yang dihadapi bangsa ini adalah dapat
mengatasi semua kesulitan, termasuk masalah korupsi
atau mati.

Pendirian Bung Karno
Penulis lalu kemukakan sebagai referensi pendirian
Bung Karno yang juga ditawari Belanda menunda
kemerdekaan Indonesia agar penjajah bisa mengajari
bagaimana mengurus negara bangsa sambil memberikan
bantuan uang. Kalau ingin mengetahui jawaban Bung
Karno, mohon baca pidatonya pada 1 Juni 1945 yang
terkenal dengan "Lahirnya Pancasila," mumpung bangsa
ini akan memperingati 
tanggal tersebut. Referensi lainnya adalah bagian dari
pleidooi Bung Hatta di depan pengadilan Den Haag,
Belanda, pada 1932.

Dalam perdebatan sidang pengadilan itu, majelis hakim
antara lain 
mempertanyakan apakah bangsa Indonesia mampu mengurus
diri sendiri dalam alam kemerdekaan yang dikehendaki
Bung Hatta bersama para mahasiswa Indonesia yang
bergabung dalam Perhimpunan Indonesia di Negeri
Belanda? Bung Hatta mengatakan: "Saya lebih suka
melihat seluruh kepulauan Nusantara lenyap tenggelam
di bawah laut daripada dijajah oleh Tuan-Tuan
sekalian." 
Kebetulan bagian dari pleidooi ini diucapkan pada
akhir pembelaannya. Majelis hakim lalu memvonnis
Bung Hatta bebas murni. Di Nederland, Bung Hatta
divonis bebas murni tetapi di Nederlands Indie (Hindia
Belanda), dengan alasan yang sama, tiga tahun
sebelumnya Bung Karno divonis dibuang dan di penjara.
Haruskah bangsa Indonesia sampai sekarang masih
berjiwa terjajah setelah 60 tahun merdeka? Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, yang terhormat, please,
penulis memohon 
agar jangan sampai dituruti apa yang dilakukan oleh
Rizal Malarangeng selaku chief negotiator dengan
ExxonMobile yang didampingi oleh Lin Che Wei.

Sekitar tanggal 20 atau 21 Mei malam penulis
menyaksikan kedua pejabat itu memberi keterangan di
MetroTV bahwa Indonesia akan memperpanjang kontrak
dengan ExxonMobile sampai tahun 2030 sebagai
hasil negosiasi dengan Indonesia yang diwakili mereka.

Komentar Kwik Kian Gie lainnya :

Sayapun sebenarnya heran juga . kenapa kita tidak
berani melakukan 
eksplorasi dan eksploitasi sendiri minyak bumi di
negeri ini. Kalo itu disimpan di perut bumi sih masih
mending. lha ini...
malah diserahkan ke pihak asing, kontraknya mencapai
20 - 30 tahun. Begitu kontrak habis...ya .. habislah
minyaknya.

Padahal dalam kenyataannya... untuk eksplorasi dan
eksploitasi 
itu..(biasanya dalam bentuk joint operating body)...
semua biaya nantinya akan di "charge" ke pemerintah
c.q. Pertamina... sedangkan pihak asing itu akan
mendapat bagi hasil 30%. Khabar terakhir yang saya
dengar (CMIIW) prosentase ini akan diubah menjadi 40 :
60.

Walhasil...hanya seberapa yang bisa dinikmati bangsa
ini? belum lagi yang dikorupsi. Mungkin kita perlu
banyak belajar sama China. Ketika saya punya
kesempatan berkunjung ke sana, saya  tidak melihat
eksploitasi dan eksplorasi yang besar. Di daerah
selatan, saya hanya menjumpai satu pabrik pengeboran
minyak (seperti kilang pertamina disini). Menurut
beberapa orang yang saya temui..cadangan minyak mereka
yang cukup besar itu memang "diawetkan". Agar mereka
bisa
mendapatkan minyak yang lebih besar, lebih murah dan
lebih menguntungkan ... mereka berinvestasi ke
beberapa negara kaya minyak.

Jadilah akhirnya seperti PetroChina masuk ke Indonesia
(sekarang lagi ekplorasi dan eksploitasi di daerah
Bojonegoro, Tuban dan Lamongan..yang merupakan sumur
minyak blok Cepu.

Kita ini ibaratnya "AYAM DI LUMBUNG MATI
KELAPARAN"...Negara kaya tapi rakyat tidak bisa
menikmatinya. Sedang generasi yang baru tumbuh sudah
terserang POLIO dan BUSUNG LAPAR.

Oh... nasib...nasib...

Oleh Kwik Kian Gie

Mantan Menneg PPN/ Kepala Bappenas



Bacalah artikel tentang Islam di:
http://www.nizami.org

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


Bantu Aceh! Klik:
http://www.pusatkrisisaceh.or.id 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke