Tulisan (yang menurut saya) bagus dari selingan Majalah Tempo.
Ternyata pelan tapi pasti kebenaran (akan) terkuak dan (semoga saja)
bersinar kuat.. Insya Allah..

CMIIW..

Wassalam,

Irwan.K

On 9/14/06, Nugroho Dewanto wrote:
>
>
> Kuasa Yahudi di Tanah Harapan
>
> Lobi Yahudi di Amerika Serikat bukan lagi berita baru. Tetapi publik
> gempar ketika belum lama ini John J. Mearsheimer dari Universitas
> Chicago dan Stephen M. Walt dari Universitas Harvard menerbitkan
> risalah mereka tentang dahsyatnya kekuatan lobi Yahudi di negara adidaya
> itu.
>
> London Review of Books pun bakal menggelar debat publik pada 28
> September nanti. Mearsheimer akan dihadapkan dengan Salomo Ben-Ami,
> mantan menteri luar negeri dan keamanan Israel. Politik luar negeri
> AS yang pro-Israel akibat kuatnya lobi Yahudi atau pilihan Amerika
> sendiri?
>
> ****
>
> "Di negara ini (Amerika Serikat) orang takut mengatakan yang benar,"
> ujar Uskup Desmond Tutu, peraih Hadiah Nobel untuk Perdamaian 1984
> dari Afrika Selatan. "Lobi Yahudi terlalu kuat." Tutu mengatakan itu
> kepada The Guardian, koran Inggris, empat tahun lalu, menyinggung
> kebijakan luar negeri AS yang sangat pro-Israel.
>
> Sebagian besar kelompok-kelompok berpengaruh di Amerika Serikat,
> terutama kaum politisi, akademisi, bahkan media, lebih suka berdiam
> diri. Lobi Yahudi seolah menjadi topik yang tabu dibicarakan di ranah
> publik. Namun, 28 September nanti, persoalan ini bakal diaduk-aduk
> dalam sebuah debat publik di Great Hall, Cooper Square, New York.
>
> Acara yang diselenggarakan London Review of Books itu diharapkan
> dapat menjawab pertanyaan benarkah politik luar negeri AS yang
> pro-Israel itu akibat kuatnya lobi Yahudi? Atau, jangan-jangan,
> seperti ditulis Ruth R. Wisse, profesor sastra Yahudi dari Harvard,
> dukungan itu justru pilihan sadar AS demi sebuah simbiosis mutualisme
> yang saling menguntungkan.
>
> Debat publik tersebut akan menghadirkan Salomo Ben-Ami, mantan
> Menteri Luar Negeri dan Keamanan Israel, yang juga penulis buku
> Wounds of Peace: The Israeli-Arab Strategy, dan Martin Indyk,
> Direktur Saban Center for Middle East Policy, salah seorang yang
> disebut-sebut sebagai think-tank lobi Israel.
>
> Tapi, bukan dua orang itu yang membuat debat publik tersebut menarik.
> Profesor John J. Mearsheimer dari University of Chicago yang bakal
> memanaskan adu pikiran tersebut. Bersama Stephen M. Walt dari Harvard
> University, Mearsheimer menerbitkan kertas kerja berjudul "The Israel
> Lobby and US Foreign Policy". Artikel itu dirilis di situs milik
> Harvard John Kennedy School of Government, dengan Walt sebagai dekan
> akademiknya, Maret lalu.
>
> Keduanya sudah memanaskan persoalan ini dalam lima bulan terakhir.
> Masyarakat Amerika Serikat yang selama ini enggan membicarakan lobi
> Yahudi terkaget-kaget ketika dalam kertas kerja setebal 83 halaman
> itu mereka menyimpulkan: meski populasi Yahudi di AS hanya tiga
> persendari hampir 300 juta penduduk AS lobi mereka jauh lebih kuat
> dibanding kelompok etnis atau religius mana pun!
>
> Ini bagaikan upper cut yang menonjok Israel saat sedang kelimpungan
> seusai perang melawan Hizbullah. Publik AS juga gelisah. Di Amerika
> orang tabu bicara buruk soal Israel menjelang pemilu seperti
> sekarang, apalagi tentang lobi Israel, meski sebenarnya ini bukan isu
> baru. Maklum, kelompok Yahudi cukup berperan menggolkan ataupun
> menjegal calon dari partai-partai.
>
> Toh, debat seru terjadi juga. Ada yang mendukung, tapi lebih banyak
> yang mengkritik. Dalam 15 tahun terakhir, tak ada naskah akademik
> yang memicu debat sesengit ini setelah tulisan Samuel Huntington,
> "The Clash of Civilization?" di majalah Foreign Affairs pada 1993.
>
> ***
> Hubungan baik Israel-AS bermula seusai Perang Enam Hari pada 1967
> kala Israel melawan Mesir, Yordania, Irak, dan Suriah. Terpikat oleh
> kedigdayaan Israel, AS meminta negara itu menjadi wakilnya (proxy)
> untuk membendung pengaruh Uni Soviet di Timur Tengah.
>
> Selain "mempermalukan" klien Soviet, Mesir, dan Yordania, Israel juga
> rajin mensuplai data-data intelijen penting tentang kekuatan Soviet
> selama Perang Dingin.
>
> Sebagai balas budi, menurut Mearsheimer dan Walt, Israel memperoleh
> dukungan politik dan finansial yang "wow!", terutama sejak Perang
> Oktober 1973 ketika negara itu melawan Mesir dan Suriah.
>
> Saat itu AS menaburkan bantuan darurat militer senilai US$ 2,2 miliar
> (hampir Rp 20 triliun) kepada Israel. Bantuan itu sempat dilawan oleh
> Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), antara lain dengan
> melakukan embargo minyak yang menggoyahkan perekonomian Barat. Tapi
> AS cuek, tak ambil pusing. Israel malah diberi akses membeli
> helikopter Black Hawk dan jet tempur F-16.
>
> Kini, setiap tahun Israel mendapat US$ 3 miliarsekitar seperlima
> total bantuan luar negeri AS. "Buku hijau" Badan Amerika untuk
> Pembangunan Internasional (USAID) mencatat, hingga 2003, total
> pinjaman dan hibah yang diterima Israel lebih dari US$ 140 miliar
> atau Rp 1.260 triliun, dua kali lipat anggaran Indonesia pada tahun ini.
>
> Dukungan diplomatik pun tak surut. Sejak 1982, misalnya, AS telah
> memveto 32 resolusi PBB yang menekan Israel. "Jumlah ini lebih besar
> dari total veto yang pernah dilakukan semua anggota Dewan Keamanan,"
> tulis Mearsheimer dan Walt.
>
> Sikap manis AS bisa dipahami jika Israel memang benar-benar merupakan
> kawan yang memberikan manfaat besar bagi Amerika Serikat. Sayangnya,
> menurut keduanya, tak ada bukti meyakinkan Israel menguntungkan Abang Sam.
>
> Dukungan selama perang dingin sudah jadi cerita basi. Malah, selama
> perang Irak, Israel cuma menjadi penonton karena AS mengkhawatirkan
> tanggapan buruk sekutu-sekutu Arabnya. Lalu mengapa Amerika jalan
> terus? "Penjelasannya," tulis kedua profesor itu, "ada pada kekuatan
> lobi."
>
> Cuma, menurut mereka, tak banyak yang membicarakannya secara terbuka.
> Takut dicap anti-Semit. Cap ini senjata ampuh bagi para pelobi untuk
> menyerang pengkritik Israel. Soalnya di AS, "Anti-Semit tergolong
> perilaku yang sangat buruk," kata Mearsheimer dan Walt. "Tak ada
> orang terhormat yang mau dicap demikian."
>
> Para pelobi juga menguasai media. "Komentator Timur Tengah (di AS)
> didominasi oleh orang-orang yang tak mampu mengkritik Israel," kata
> Eric Alterman, profesor Inggris di Brooklyn College yang juga
> komentator media, di MSNBC.com, Maret 2002. Dia mensurvei 66
> komentator; hanya lima yang berani mengambil posisi pro-Arab.
>
> Lagi pula, gagasan-gagasan melawan Israel sulit muncul di media-media
> besar. Mearsheimer dan Walt mengklaim, Wall Street Journal, The
> Chicago Sun-Times, The Washington Times, bahkan New York Times,
> secara rutin menulis tajuk pro-Israel.
>
> Mantan editor eksekutif Times, Max Frankel, mengakui hal ini dalam
> bukunya, The Times of My Life and My Life with the Times, 1999. "Saya
> menulisnya dari perspektif seorang pro-Israel," kata Frankel mengenai
> tajuknya.
>
> ***
> David Duke adalah orang pertama yang mendukung Mearsheimer dan Walt.
> "Sangat mengesankan," ujarnya kepada The New York Sun, 20 Maret lalu.
> "Ada lembaga di universitas terkemuka di Amerika yang akhirnya bicara
> dan mendukung gagasan yang sudah saya sampaikan sejak sebelum perang
> (Irak)".
>
> Duke adalah mantan anggota parlemen AS (House of Representatives)
> dari Louisiana. Bagi dia, Amerika memerangi Irak karena Israel.
> Dalangnya adalah para neokonservatif seperti Paul Wolfowitz, Richard
> Perle, Daniel Feith, dan Elliot Abrams. "Para neokonservatif ini
> gila," ujarnya kepada televisi Suriah, November lalu. "Mereka
> orang-orang Yahudi yang fanatik, ekstremis, dan bukan manusia normal."
>
> Tapi publik Amerika tak pernah menghiraukan Duke. Malah, kabarnya,
> badan intelijen Amerika, CIA, kini mengawasi gerak-geriknya.
> Media-media di negara itu pun tak banyak yang berminat pada gagasannya.
>
> Merujuk karya yang menghebohkan itu, ada dua cara pendukung Israel
> memainkan lobinya di AS. Pertama, mempengaruhi anggota Kongres dan
> orang-orang pemerintahan. Kedua, menguasai opini publik dengan antara
> lain mengulang-ulang mitos tentang Israel sebagai bangsa pilihan
> Tuhan, dan memastikan pandangan pro-Israel unggul dalam setiap debat
> publik.
>
> Lobi Israel dilakukan oleh organisasi seperti American-Israel Public
> Affairs Committee's (AIPAC) dan Conference of Presidents of Major
> Jewish Organizations (CPMJO). Menurut riset National Journal pada
> Maret 2005 dan Forbes pada 1997, dalam hal melobi Washington, AIPAC
> hanya kalah oleh Asosiasi Pensiunan AS (lihat "Calo Politik di
> Washington").
>
> Mereka didukung tokoh-tokoh terkemuka Kristen Evangelis seperti Gary
> Bauer, Jerry Falwell, Ralph Reed, Pat Robertson yang bernaung di
> bawah bendera the American Alliance of Jews and Christians (AAJC).
> Kelompok ini muncul pada Juli 2002 dipimpin Bauer dan Rabi Daniel
> Lapin. "Prioritas utama saya dalam kebijakan luar negeri adalah
> melindungi Israel," ujar Dick Armey, seorang Kristen Zionis, mantan
> orang kuat di parlemen, dua bulan setelah AAJC berdiri.
>
> George Sunderland, nama pena anggota Kongres AS, dalam situsnya,
> www.counterpunch.org, menulis, lobi Israel di Kongres terus menguat
> dari tahun ke tahun. Pemain utamanya AIPAC. "Bukan cuma karena uang
> yang mereka berikan (kepada para politikus), mereka juga bisa
> menghukum secara politis," tulisnya.
>
> Gagalnya senator dari Illinois, Charles Percy, kembali ke Capitol
> Hill pada 1984, misalnya, diduga karena lobi AIPAC. Mereka marah
> gara-gara Percy mendukung penjualan pesawat pengintai Awacs kepada
> Arab Saudi dan mengkritik Israel. Direktur Eksekutif AIPAC, Tom Dine,
> mengisyaratkan itu dalam sambutannya di Toronto tahun yang sama.
> "Semua orang Yahudi bersatu untuk menyingkirkan Percy," katanya. "Ini
> pesan bagi para politisi Amerika."
>
> Di pemerintahan, lobi Yahudi menancapkan kukunya dengan membantu
> biaya kampanye kandidat baik dari Republik maupun Demokrat. Koran
> Washington Post pada 2003 menghitung, 60 persen dari dana kampanye
> para calon presiden Demokrat berasal dari pengusaha Yahudi.
>
> Jerusalem Post pada 2000 melaporkan: Yahudi menyumbang 50 persen dana
> kampanye Bill Clinton pada 1996! Jimmy Carter, menurut Mearsheimer
> dan Malt, pun pernah dibuat "keder" oleh kelompok lobi. Carter
> sebenarnya ingin mengangkat George Ball, yang kritis terhadap Israel,
> sebagai Menteri Luar Negeri, tapi takut akan lobi Israel, dia
> akhirnya hanya menjadikan Ball wakil Menlu.
>
> Menurut J.J. Goldberg, editor harian Yahudi Forward di New York, kaum
> Yahudi di Amerika sebenarnya cukup liberal, termasuk dalam isu
> Israel. "Bagian terbesar orang Yahudi di AS menginginkan berdirinya
> negara Palestina," katanya. Tapi AIPAC tak peduli pada aspirasi mayoritas.
>
> Michael Massing di The New York Review of Book edisi 8 Juni 2006
> menulis, kebijakan AIPAC sangat bergantung pada para direkturnya yang
> dipilih berdasarkan kekayaan. Yang paling berpengaruh adalah Robert
> Asher, Edward Levy, Mayer Mitchell, dan Larry Weinberg. Celakanya,
> empat pengusaha kaya-raya yang dikenal sebagai "Gang of Four" ini,
> menurut editor di Columbia Journalism Review itu, tak peduli terhadap
> mayoritas Yahudi di AS yang cinta damai.
>
> Selain memenangkan dukungan AS atas konflik Palestina, prestasi
> terbesar lobi Isreal, menurut kedua peneliti itu, memaksa AS
> menginvasi Irak. Perang itu, tulis Mearsheimer dan Walt, "Didorong
> oleh niat menciptakan situasi lebih aman bagi Israel (di Timur
> Tengah)." Keduanya, antara lain, mengutip Philip Zelikow, mantan
> anggota badan penasihat presiden AS untuk urusan luar negeri.
>
> Menurut Zelikow, Irak tak mengancam AS, melainkan Israel. Bukti lain,
> tajuk mantan perdana menteri Ehud Barak dan Benjamin Netanyahu di
> Wall Street Journal yang mendesak pemerintah Bush "menindak" Irak.
> "Hampir tak diragukan, Israel dan lobilah yang mendorong perang."
>
> Tentu saja, Mearsheimer dan Walt mendapat banyak kritik dan
> caci-maki. Christopher Hitchens, seorang kolumnis terkenal di AS,
> memaki tulisan itu: "bau", sementara Forward menggelarinya karya
> "amatir yang menjijikkan".
>
> Rekan Walt dari Harvard, Alan M. Dershowitz, seorang profesor hukum,
> menilai naskah ilmiah itu "kacangan". "Mereka berdua adalah akademisi
> berbobot," ujarnya kepada Jerusalem Post, "tapi telah melakukan
> propaganda dangkal."
>
> Bahkan Noam Chomsky, profesor linguistik dari MIT, yang secara
> konsisten "menyerang" Israel sejak 1970-an, ikut mengkritik. Menurut
> dia, Mearsheimer dan Walt perlu diacungi jempol untuk keberanian
> mengambil posisi, mengingat di AS tak banyak yang nekat mengkritik
> Israel. Takut dicap anti-Semit. Cuma, katanya, tesis keduanya kurang
> meyakinkan.
>
> Dia, misalnya, mempertanyakan: kenapa tulisan itu mengabaikan
> pengaruh perusahaan minyak terhadap kebijakan AS dalam Perang Teluk?
> Padahal, seperti yang dia tulis di Z Magazine, Maret lalu, aliansi
> AS-Israel justru menguntungkan perusahaan-perusahaan energi AS-Saudi itu.
>
> Sepakat dengan Chomsky, Michael Massing menambahkan, tulisan kedua
> profesor itu lemah karena tak cukup data. Ketika bicara tentang
> kemampuan AIPAC "menghukum" politisi, misalnya, keduanya mencontohkan
> kasus Senator Percy. Padahal, itu kejadian 22 tahun lalu. "Penulis
> hanya menggunakan data-data lama."
>
> Haaretz, harian Israel yang liberal, lebih positif. Israel, katanya
> dalam editorialnya, harus sadar bahwa dunia tak bisa menunggu
> selamanya hingga mereka keluar dari Palestina. Dukungan AS pun bisa
> berubah jika Israel tak segera mengubah diri. Jadi, media itu
> menyimpulkan, "Tulisan itu tak perlu dicaci, melainkan harus diterima
> sebagai sebuah peringatan."
>
> Kritik juga datang dari Wisse, calon lawan debat keduanya. Membuka
> kritiknya pada Mearsheimer dan Walt di Jewish World Review, Wisse
> menceritakan pengalamannya saat naik taksi di Boston, awal 1980-an.
> Ketika tahu dia orang Yahudi, si sopir taksi secara spontan berkata:
> "Israel! Amerika akan selalu membelanya. Israel bertempur untuk kami
> jauh lebih baik daripada yang bisa kami lakukan sendiri."
>
> ***
> (Selingan Majalah Tempo, 10 September 2006)


[Non-text portions of this message have been removed]



Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke