Beberapa dari kita tampaknya seringkali kebingungan untuk
memahami apa yang dimaksud dengan jumlah uang beredar (JUB),  dan korelasinya 
dengan harga, sehingga seringkali
bingung menyaksikan fenomena inflasi atau jatuhnya nilai uang suatu negara,
apalagi yang ekstrem.  Alih-alih mencoba
mempelajari fenomena ini secara lebih mendalam, secara tergesa sebagian rekan –
barangkali karena terlalu bersemangat – mencoba menampilkan standar emas
sebagai alternatifnya.  Benar, standar
emas akan bisa menyelesaikan beberapa masalah, tetapi banyak juga masalah yang
tetap harus dimanage secara piawai agar ekonomi tetap sehat atau stabil
(pertumbuhan ekonomi sustainable, inflasi rendah, pengangguran rendah,
dan kemandirian ekonomi terjaga).

Tulisan ini semoga tidak menambah kebingungan akan hal itu,
dan bisa menjadi bekal untuk mendiskusikan wacana standar emas sebagai solusi 
secara
lebih elegan.

Penciptaan Uang Dalam Perekonomian Modern

Tahap 1

Pemerintah mencetak uang sebesar Rp. 1000 untuk membayar
pegawainya si A. Pemerintah juga menentukan cadangan minimum perbankan adalah
10%, jadi bila perbankan menerima simpanan dari nasabahnya, 10% wajib disimpan
sebagai cadangan, 90% sisanya boleh dipakai untuk menciptakan kredit/investasi.


Cadangan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan transaksi
harian nasabah. Dari informasi ini, bisa dibayangkan 90% uang yang tersimpan di
perbankan bisa dimainkan untuk apa saja, sukses atau tidak sukses tidak terlalu
masalah, selama kebutuhan nasabah masih bisa dilayani dengan cadangan yang 10%.
Perbankan baru kelihatan belangnya dalam menangani uang nasabah, bila nasabah
ramai-ramai (rushing) menarik dananya dari perbankan – wah ternyata duitnya
nggak ada. Masih ingat kan krisis perbankan yang terjadi di Indonesia, sehingga
pemerintah terpaksa mengeluarkan BLBI sebesar 600 trilyun. Enak sekali kan
perbankan:-) Seenaknya sendiri memainkan uang nasabah, eee …  giliran merugi 
karena asal-asalan saja
menyalurkan kredit, dikasih dana talangan lagi sama pemerintah.

Pada tahap ini JUB adalah Rp. 1.000, dalam bentuk uang
kartal. Uang kartal adalah uang logam dan kertas yang dipegang oleh masyarakat.

Tahap 2

Kita idealkan saja, si A menyimpan seluruh uangnya di bank 1.
Maka neraca bank 1 akan mencatat transaksi ini sebagai berikut:


 
  
  Asset
  
  
  Liabilities
  
 
 
  
  Cadangan Rp. 1000
  
  
  Deposito Rp. 1000
  
 
 
  
   
  
  
   
  
 
 
  
  Total Rp. 1000
  
  
  Total Rp. 1000
  
 
 
  
   
  
  
   
  
 


JUB masih Rp. 1000, tetapi berubah bentuk menjadi cadangan
bank. Dalam ekonomi moneter cadangan bank + uang kartal disebut sebagai uang
inti. Jadi, pengertian uang inti adalah uang logam dan kertas yang dipegang
masyarakat dan perbankan.

Dari Rp. 1.000 ini bank harus menyimpan 10% (Rp. 100)
sebagai cadangan, Rp. 900 sisanya boleh diinvestasikan dari dijadikan kredit.
Neraca bank 1 akan berubah menjadi:


 
  
  Asset
  
  
  Liabilities
  
 
 
  
  Cadangan Rp. 100
  
  
  Deposito Rp. 1000
  
 
 
  
  Kredit Rp.900
  
  
   
  
 
 
  
  Total Rp. 1000
  
  
  Total Rp. 1000
  
 
 
  
   
  
  
   
  
 


Misalnya pinjaman diberikan pada si B. Di sini JUB sudah
menjadi 1.900. Gambarannya adalah si A punya uang Rp. 1000 karena gaji; si B
punya uang 900 karena kredit. 

Tahap 3

Kita idealkan saja, si B menyimpan Rp. 900 ke di bank 2. Bank
2 akan menyimpan 10% (Rp. 90) sebagai cadangan, dan sisanya (Rp. 810) dijadikan
kredit, misalnya kepada si C. Neraca bank 2 adalah sbb:


 
  
  Asset
  
  
  Liabilities
  
 
 
  
  Cadangan Rp. 90
  
  
  Deposito Rp.900
  
 
 
  
  Investasi/Pinjaman Rp.810
  
  
   
  
 
 
  
  Total Rp. 900
  
  
  Total Rp. 900
  
 
 
  
   
  
  
   
  
 


Sekarang  JUB sudah
menjadi Rp. 2.710. Gambarannya adalah si A punya uang Rp. 1000 karena gaji; si
B punya uang Rp. 900 karena kredit, dan si C punya uang Rp. 810 karena kredit
juga.

Tahap 4

Kita idealkan saja, si C menyimpan Rp. 810 ke di bank 3.
Bank 3 akan menyimpan 10% (Rp. 81) sebagai cadangan, dan sisanya (Rp. 729)
dijadikan kredit, misalnya kepada si D. Neraca bank 3 adalah sbb:


 
  
  Asset
  
  
  Liabilities
  
 
 
  
  Cadangan Rp. 81
  
  
  Deposito Rp.810
  
 
 
  
  Investasi/Pinjaman Rp.729
  
  
   
  
 
 
  
  Total Rp. 810
  
  
  Total Rp. 810
  
 
 
  
   
  
  
   
  
 


Sekarang  JUB sudah
menjadi Rp. 3.439. Gambarannya adalah si A punya uang Rp. 1000 karena gaji; si
B punya uang Rp. 900 karena kredit, si C punya uang Rp. 810 karena kredit, dan
D punya uang Rp. 729 karena kredit.

Tahap akhir

Jika proses ideal dilakukan sampai akhir maka komposisi JUB
adalah Rp. 10.000 dengan komposisi cadangan Rp. 1.000 dan kredit Rp. 9.000. 
Neraca
perbankan secara total adalah sbb:


 
  
  Asset
  
  
  Liabilities
  
 
 
  
  Cadangan Rp. 1.000
  
  
  Deposito Rp. 10.000
  
 
 
  
  Investasi/Pinjaman Rp. 9.000
  
  
   
  
 
 
  
  Total Rp. 10.000
  
  
  Total Rp. 10.000
  
 


 

Rumus perhitungan adalah sbb: Rp. 1.000:10% = Rp. 10.000

Pembahasan

Apapun bentuk uang yang dipakai, selama perbankan berhak
menerima deposit dan berhak menciptakan kredit, maka mekanisme pelipatan uang
seperti di atas akan terjadi.  Oleh
karena itu, di dalam ekonomi moneter dikenal istilah multiplier uang inti.
Dalam realitasnya tentu saja pelipatan tidak terjadi sedemikian ideal. Banking
habit , ketentuan cadangan minimum, permintaan kredit, iklim investasi,
dll., akan sangat mempengaruhi besarnya pelipatan  dus JUB. Bahkan, faktanya 
ketidakpastian
pelipatan uang inti melahirkan masalah berkenaan dengan JUB yang optimal, yakni
JUB yang menjamin kestabilan harga (ekonomi). Itulah mengapa ,ada yang disebut
sebagai kebijakan moneter, yakni kebijakan untuk  mengoptimalkan JUB.

JUB dan Harga

Berkenaan dengan hubungan JUB dan harga saya kutipkan dari
Samuelson (1985):

“The limitation in the supply of money is the necessary
condition if money is to have value. If currency is so unlimited in amount as
to become practically a free good, people would have so much of It to spend as
to bid up all prices, wages, and incomes sky-high. For this reason, the power
to control the money supply is reserved to gorverment.”

Meskipun uang dibuat dari emas, hukum di atas juga berlaku.
Contoh ekstremnya, Anda melintasi gurun pasir dengan membawa 100 kg emas murni,
ditengah perjalanan Anda kehabisan air, dan hampir mati kehausan. Datang
seorang pedagang membawa 5 botol Aqua besar, berapa Anda berani membayarnya?
Bila si pedagang minta dibayar dengan 100 kg emas murni Anda, bagaimana? Nah,
100 kg emas murni hanya dihargai 5 botol Aqua:-)

Fenomena Fiat Standar dan Rapuhnya Nilai Rupiah

Hari ini standar moneter yang dipakai adalah Fiat Standar
(Standar Kepercayaan). Jadi uang kertas memiliki nilai karena kepercayaan.
Bagaimana kepercayaan ini terbangun?

Kalau kita amati agak lebih mendalam, Fiat Standard
sebenarnya dijamin dengan keseluruhan nilai produksi barang dan jasa yang
dihasilkan oleh suatu negara. Perhatikan, pada negara-negara yang
perekonomiannya telah maju, maka matauangnya cenderung menjadi hard currencies.
Itulah mengapa rupiah kalah dengan ringgit, 1 ringgit harus harus ditukar
dengan Rp. 3.250. Perekonomian Malaysia memang bisa lebih diandalkan dibanding
Indonesia. Stabilitas harga dalam negeri, yang sangat berhubungan erat dengan
persoalan memanage JUB secara optimal juga sangat berpengaruh terhadap
kerapuhan/kekuatan suatu mata uang terhadap mata uang lain. Kenaikan harga dalam
negeri, yang biasanya karena JUB terlalu banyak, cenderung akan menurunkan
nilai mata uang suatu negara. Konsep JUB hanyalah veil (tudung) bagi
nilai produksi barang dan jasa, barangkali bisa membantu membayangkan soal
optimalitas ini. Tudung, agar jatuhnya enak, tentu saja tidak boleh berlebih
atau kurang:-)

Jadi, persoalan kacaunya nilai rupiah, bukanlah masalah yang
bisa begitu saja diselesaikan dengan standar emas. Ada persoalan yang lebih
besar dan prinsip, yakni ketidakbecusan kita mengelola perekonomian Indonesia
secara baik.  Potensi SDAE jika jelas di
atas Malaysia, tetapi mengapa kita kalah dari Malaysia. Faktanya, SDAE kita
justru banyak dikuasai pihak asing. Takutnya, saat kita beralih ke standar
emas, eee… ternyata emas kita juga telah dikuasai oleh pihak asing, akhirnya
kita jadi susah juga, harus hutang emas untuk membuat uang emas:-)

Kalau toh kita berhasil memakai emas sebagai standar
moneter, kita toh tetap harus menjaga JUB agar berada pada tingkat optimal,
sehingga harga-harga tetap stabil!

Semoga mencerahkan!Salam hangat

B. Samparan


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke